Salah kaprah dalam masyarakat kita tentang Ahmadiyah memang sudah mendarah daging. Padahal itu cuma kesalahpahaman dan prasangka belaka. Hal itu diutarakan secara tegas oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Ahmad Najib Burhani dalam sidang uji materi UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya sudah membaca buku-buku Ahmadiyah, tidak ada yang menyebutkan kitab sucinya adalah Tazkirah. Saya datang ke rumah-rumah dan masjid-masjid Ahmadiyah, yang saya temukan adalah Al Quran, bukan Tazkirah,” tutur Najib Burhani sebagaimana dikutip dari Kompas.
Najib yang memang sudah bertahun-tahun riset tentang varian gerakan islam di Indonesia, salah satunya adalah Ahmadiyah sebagai objek, mengatakan bahwa kesalahan dari mayoritas ini menimbulkan banyak prasangka. Apalagi ia meneliti hal ini selama bertahun-tahun.
Kekeliruan-kekeliruan itu antara lain tentang kitab suci mereka yang dianggap berbeda dengan mayoritas muslim, kenabian dan yang krusial tentu perkara Mirza Ghulam Ahmad. Bahkan, ada kekeliruan dalam masyarakat kita yang menyatakan bahwa haji yang dilakukan jemaah Ahmadiyah berbeda dengan mayoritas muslim.
Apakah benar seperti itu?
Bagi Najib, hal ini tentu saja kekeliruan. Faktanya, sanjungan terhadap Mirza Ghulam Ahmad dalam ajaran Ahmadiyah tidak lebih tinggi daripada Nabi Muhammad. Sama seperti yang dilakukan oleh muslim lainnya.
Terkait ziarah, misalnya, apa yang dilakukan oleh jemaah Ahmadiyah ini bisa serupa dengan ziarah yang dilakukan oleh mayoritas. Bahkan tak jauh beda dengan ziarah yang dilakukan Nahdliyin kepada tokoh-tokoh mereka seperti Gus Dur.
Lebih lanjut, Najib juga bercerita bahwa ia datang ke kamar tempat Ghulam dilahirkan, kamar tempatnya berdoa. Bahkan sholat di masjid Mubarak dan Al Aqsa, dua masjid keramat bagi jemaah Ahmadiyah.
“Saya mengamati, apakah orang Ahmadiyah telah menempatkan Ghulam Ahmad lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Apakah Ghulam Ahmad disanjung lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Setahu saya, itu tidak terjadi. Sanjungan dan pujian yang dilakukan di tempat-tempat itu adalah kepada Nabi Muhammad,” tambahnya.
Untuk itulah, ia menilai, apa yang terjadi selama ini hanyalah penafsiran saja. Tentu penafsiran tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Apa yang dijalankan jemaah Ahmadiyah selama ini merupakan bentuk lain dari ajaran agama islam. Dan islam tidaklah monolitik.
Hal ini ia sampaikan saat memberi keterangan ahli dalam sidang uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini dilakukan oleh 9 anggota jemaah Ahmadiuah Indonesia terhadap UU Penodaan agama. Perundangan-undangan ini dinilai diskriminatif oleh banyak pihak sebab mendiskreditkan agama ataupun komunitas tertentu yang berbeda dengan mayoritas.
“Perbedaan penafsiran tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Terus terang, jika ternyata Ahmadiyah itu sesat, maka tidak usah dilarang pun mereka akan hancur sendiri. Tanpa SKB atau regulasi lain, Ahmadiyah pasti ditinggalkan orang jika ternyata kelompok ini memang sesat,” tuturnya.
Ahmadiyah sendiri sudah lama ada di Indonesia. Bahkan, salah satunya anggotanya merupakan orang yang berjasa terhadap pendirian negara ini (Baca: Dua Tokoh Sumpah Pemuda yang Organisasinya Difatwa “Sesat dan Terlarang”) . Untuk itulah, sungguh tidak elok kiranya jika mayoritas muslim justru memusuhi maupun mengolok-olok mereka hanya karena berbeda menafsirkan ajaran islam.