Dua Tokoh Sumpah Pemuda yang Organisasinya Difatwa “Sesat dan Terlarang”

Dua Tokoh Sumpah Pemuda yang Organisasinya Difatwa “Sesat dan Terlarang”

Dari 13 tokoh Kongres Pemuda yang kita kenal, ternyata dua di antaranya merupakan pengikut organisasi atau aliran muslim “terlarang” di Indonesia.

Dua Tokoh Sumpah Pemuda yang Organisasinya Difatwa “Sesat dan Terlarang”

28 Oktober merupakan hari yang bersejarah bagi pemuda bangsa Indonesia. Tepat di tanggal itu ikrar kesetiaan pemuda dikumandangkan dengan tiga poin penting: bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa Indonesia.

Kesuksesan Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda tidak bisa terlepas dari usaha dan kontribusi para tokoh-tokohnya. Dan dari 13 tokoh Kongres Pemuda yang kita kenal, dua tokoh yang bisa dibilang sangat berjasa buat Republik merupakan pengikut organisasi atau aliran muslim yang difatwa sesat oleh MUI dan dilarang di Indonesia.

Yuk, kita lihat siapa mereka!

1. Wage Roudolf Supratman

W.R Supratman (gambar: https://ngupi.deviantart.com)

Anda mungkin tak asing mendengar namanya. Ya, pasti, namanya sering disebut-sebut saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan: WR Supratman. Dia lah pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Selain Indonesia Raya, WR Supratman yang jago bermain biola ini juga menciptakan lagu nasional lain yang berjudul Ibu Kita Kartini. 

Salah satu peran pentingnya dalam Kongres Pemuda II saat itu adalah mengiringi lagu Indonesia Raya dengan biola. Karena bait-bait Indonesia Raya dilarang untuk dinyanyikan, maka biola Supratman lah yang menjadi penggantinya.

Namun siapa sangka, ternyata W.R. Supratman merupakan pengikut Jemaah Ahmadiyah. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Amir Jamaah Ahmadiyah, Abdul Basit saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VIII DPR, Rabu (16/2/2011) sebagaimana dikutip Tribunnews.

Kabar keanggotaan WR Supratman dalam Jamaah Ahmadiyah sudah lama beredar, jauh sebelum pernyataan Amir Jamaah Ahmadiyah viral tahun 2011 yang lalu.

Dan ironisnya, Ahmadiyah sendiri oleh Majelis Ulama Indonesia difatwakan sebagai “aliran sesat”, berdasarkan Fatwa MUI Nomor 11/2005. Sedangkan berdasarkan SKB 3 Menteri Nomor 3/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan Jemaah Ahmadiyah Indonesia, jamaah Ahmadiyah dilarang menyebarluaskan ajarannya.

Ahmadiyah sebenarnya merupakan organisasi masyarakat yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan para pengikutnya ikut andil bersama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan dalam beberapa tulisan Tjokroaminoto misalnya, telah disebutkan bagaimana peran aktif Ahmadiyah. Dan Ahmadiyah telah diakui oleh negara sebagai organisasi berbadan hukum berdasarkan keputusan Kemenkumham pada tahun 1953.

2. Kartosuwirjo

Kartosuwirjo gambar: https://kumeokmemehdipacok.blogspot.co.id)

Namanya Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia merupakan tokoh penting Kongres Pemuda II. Bersama Amir Syarifuddin beserta 11 tokoh yang lain, ia turut membidani ikrar sumpah pemuda.

Ia juga merupakan salah satu anak bangsa yang beruntung mendapatkan pendidikan dari Politik Etis yang diterapkan Belanda pada 1901. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.

Sayangnya, Kartosuwirjo memiliki pandangan yang berbeda dengan tokoh-tokoh lain. Ia memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara. Karena pandangannya tersebut, ia pernah menolak ajakan Amir Syarifudin untuk menjadi menteri di kabinetnya. Ia beralasan bahwa selama dasar negara tidak diganti dengan Islam, dia tidak akan mau menerima tawaran tersebut.

Karena pandangannya yang tak kunjung terlaksana tersebut, akhirnya Kartosuwirjo kecewa dengan pemerintah. Kekecewaannya tersebut menjadikannya bertekad bulat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) atau DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang akhirnya diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Beberapa daerah dinyatakan tercatat sebagai bagian dari NII, di antaranya Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Dengan gerakannya yang mengancam keutuhan negara. Akhirnya organisasi tersebut dilarang oleh pemerintah. Dan pemerintah melakukan pengejaran terhadap Kartosuwirjo yang berakhir melalui penangkapannya di Gunung Rakutak Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Kisah dua tokoh ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Kolonialisme yang melanda Indonesia berabad-abad silam menjadikan mereka menanggalkan ego perbedaan dan bersatu menumpas penjajahan demi kemerdekaan bangsa Indonesia.