5 Ulama Perempuan yang Melajang Hingga Akhir Hayat

5 Ulama Perempuan yang Melajang Hingga Akhir Hayat

5 Ulama Perempuan yang Melajang Hingga Akhir Hayat
Ilustrasi: Perempuan Kairo (Freeimage)

Biografi sejumlah ulama yang melajang seumur hidup dan lebih memilih mengabdikan dirinya untuk memenuhi panggilan intelektual telah dituliskan oleh beberapa akademisi muslim kenamaan. Di antaranya tertuang dalam buku Al-‘Ulamā’ al-‘Uzzāb Allaẓīna Āṡarū al-‘Ilm ‘alā al-Zawāj karya ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah. Akan tetapi, Abu Ghuddah dalam bukunya tersebut hanya menyebutkan satu perempuan saja, yakni Karimah al-Marwaziyyah. Berikut beberapa ulama perempuan terkemuka yang memilih jalan hidup tanpa pasangan hingga akhir hayatnya.

Rabi’ah Al-Adawiyah Al-Bashriyah (w. 185 H/801 M)

Seorang sufi dari golongan perempuan yang nama dan kisah hidupnya sangat terkenal di kalangan para sufi. Ia merupakan putri keempat Fariduddin Al-‘Atthar, seorang sufi dan sastrawan besar, penulis buku yang amat terkenal, Manṭiq al-Ṭair (percakapan burung). Lahir di keluarga miskin, pada malam yang gelap gulita, bahkan harta untuk membeli minyak damar pun tak ada.

Manakala Rabi’ah tumbuh menjadi kanak-kanak, sikap-sikap yang mengagetkan pun muncul darinya. Suatu saat, ketika ia sedang makan bersama seluruh keluarganya, ia hanya termenung dan tak bergegas sebagaimana lainnya. Ia pun bertanya kepada ayahnya, “Apakah makanan ini diperoleh dengan cara halal?”. Seluruh keluarganya pun tertegun, bagaimana mungkin pertanyaan yang begitu menakjubkan meluncur dari bibir perempuan yang masih belia.

Diceritakan ketika Rabi’ah pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah, ia tak hendak melihat Ka’bah, melainkan untuk melihat Sang Pemilik Ka’bah (Rabb al-Ka’bah). Salah satu puisi Rabi’ah yang sangat tenar berbunyi: “Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, bakarlah aku dengan apinya. Atau, karena menginginkan surga-Mu, tutuplah pintunya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cintamu, maka jangan Engkau halangi aku untuk memandang wajah-Mu”.  Rabiah pun melajang hingga akhir hayatnya.

 

Khadijah binti Sahnun Al-Qifthi (w. 270 H/885 M)

Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah seorang ahli fikih mazhab Maliki terkemuka dari kalangan perempuan, sekaligus putri dari seorang hakim pengadilan terkemuka. Di bawah bimbingan dan asuhan ayahnya, Khadijah tidak hanya memperoleh pengetahuan agama semata, melainkan juga kepribadian yang luhur. Hingga popularitasnya sebagai ulama perempuan pun sangat menonjol. Tak jarang ayahnya pun meminta pendapat dan pertimbangan putrinya yang cerdas itu sebelum memutuskan suatu perkara.

Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh dalam bukunya Tartīb al-Muluk wa Tartīb al-Masālik mengungkapkan bahwa: “Khadijah binti Sahnun adalah sosok ulama perempuan yang cerdas dengan perangai yang indah. Ia memiliki pengetahuan agama yang sangat luas dan mendalam, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki semasanya. Selain memberikan fatwa keagamaan, beberapa kali ia juga terlibat dalam kegiatan advokasi sosial-kemanusiaan”.

 

‘Aisyah binti Ahmad Al-Qurthubiyah (w. 400 H/1009 M)

Tokoh perempuan dari Kordoba, Spanyol ini dikenal publik sebagai seorang sastrawan brilian dan penyair terkemuka pada zamannya. Kegilaannya dalam membaca buku mengantarkannya menjadi perempuan yang cerdas dan dijuluki sebagai kutu buku (al-mu’āniṡah bi al-kutub). Kapasitas keilmuannya yang menonjol di antara ulama semasanya adalah salah satu alasan yang membuat Khalifah Andalusia, Abd al-Rahman III mengagumi sosok ‘Aisyah.

Hal ini didasarkan pada kesaksian sastrawan dan sejarawan besar, Ibn Hayyan al-Tauhidi yang menuliskan dalam bukunya yang berjudul Al-Muqtabas, bahwa: “Tiada seorang pun di Andalusia pada zamannya, yang menandingi ‘Aisyah dalam aspek pengetahuan, pemahaman, sastra, kefasihan bertutur dan keluhuran budinya”.

Rumah ‘Aisyah dipenuhi tumpukan buku-buku. Bahkan ia memiliki perpustakaan pribadi dengan berbagai koleksi buku dan manuskrip yang jarang dijumpai di tempat lain. Dengan tulisan tangannya yang indah, ia menuliskan mushaf dan buku-buku koleksinya sendiri. ‘Aisyah pun meninggal dalam keadaan gadis yang belum pernah menikah sekali pun, ia melajang sampai akhir hayatnya.

 

Karimah Al-Marwaziyah (w. 463 H/1070 M)

Karimah dikenal para ilmuwan sebagai ulama ahli hadis dari kalangan perempuan. Bahkan disebutkan bahwa dia memiliki manuskrip sangat berharga, yang di kemudian hari menjadi rujukan Ibn Hajar al-Asqalani dalam penulisan syarah hadis yang sangat fenomenal bertajuk Fatḥ al-Bārī. Biografi karimah banyak ditulis oleh ulama dunia, diantaranya: Ibn Atsir, Ibn al-Jauzi, Imam al-Dzahabi, Ibn Katsir, Ibn ‘Imad, Al-Zirikli dan lainnya.

Ia merupakan satu-satunya ulama perempuan yang disebutkan biografinya oleh ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah dalam bukunya Al-‘Ulamā’ al-‘Uzzāb. Dalam bukunya tersebut, Abu Ghuddah menjuluki Karimah dengan al-‘ālimah (perempuan ahli ilmu), al-muḥaddiṡah (perempuan ahli hadis) dan al-fāḍilah (perempuan yang utama). Para ulama Maroko pun menyematkan gelar al-ustāżah (profesor perempuan) dan al-hurrah al-zāhidah (sufi perempuan) kepadanya. Sedangkan Imam Al-Dzahabi menambahkan julukan al-mujāwir bi haramillāh (perempuan tetangga Tanah Suci).

Pantas saja jika banyak sekali ulama dunia–dari belahan Timur hingga Barat–yang berguru kepadanya. Sejumlah ulama terkemuka yang sempat memetik barakah ilmu darinya antara lain: Imam Abu Bakr Ahmad al-Khatib al-Baghdadi, Abu al-Mudzaffar al-Sam’ani dan Abu al-Ghanaim Muhammad bin Ali bin Maimun al-Nursi.

 

Khadijah binti Ahmad Al-Raziyah (w. 526 H)

Khadijah yang justru biasa dipanggil Malihah ini merupakan perempuan zuhud (al-zāhidah). Menimba ilmu kepada Ibn ‘Abd al-Wali, Ibn Dalil dan ayahnya yang merupakan seorang ahli fikih dan hadis ternama pada zamannya, mengantarkannya menjadi perempuan ahli hadis (al-muḥaddiṡah). Al-Imam al-Hafidz Abu Thahir al-Silafi menyebutkan bahwa Khadijah memang lahir dari keluarga ahli hadis. Ayah dan saudara laki-lakinya terkenal sebagai ulama ahli hadis, bahkan saudara perempuannya yang bernama ‘Aisyah pun juga perempuan ahli hadis.

Diceritakan, bahwa ia disebut sebagai al-‘ābidah (perempuan ahli ibadah) karena pernah dijumpai bahwa Khadijah manakala datang malam hari, ia senantiasa bermunajat kepada Allah dengan salat sepanjang malam dan tak terlelap kecuali dalam keadaan yang memaksanya. Khadijah wafat pada bulan Rabiul Akhir tahun 526 M dalam keadaan masih gadis, melajang, tak bersuami. Sebelum meninggal, ia berwasiat supaya disalati oleh muridnya, Abu Thahir al-Silafi manakala ajal menjemputnya.

Mengapa tokoh-tokoh perempuan tersebut memilih hidup tanpa pasangan, melajang hingga akhir hayatnya? (AN)

Wallahu a’lam.