Pesta demokrasi terbesar di negeri ini sudah semakin dekat. Tahun depan, tepatnya di tahun 2019, kita akan menentukan siapa orang nomor satu yang akan memimpin negeri kita tercinta. Persaingan politik pun semakin ketat, namun mirisnya, ada usaha-usaha tak sehat yang berdampak meresahkan, meskipun tak terindikasi menyebar kebencian. Kita ambil contoh sebaran tagar #2019gantipresiden. Sesuaikah frasa ini dengan etika politik yang baik?
Ujaran itu diungkapkan oleh segolongan orang yang cemas dan risau, sehingga memiliki dampak yang memicu kerisauan pada penerima pesan. Dampaknya bukan kebencian, tapi sekali lagi penulis tekankan: kecemasan, kerisauan.
Pencetusnya, sedang cemas dan risau pada ihwal kekuasaan yang tak kunjung diraih golongannya. Sementara lawannya, cemas dan risau karena keterancaman posisi mereka disebabkan ujaran yang terus menerus didengungkan golongan sebelah. Sedangkan masyarakat umum cemas dan risau karena terganggu perselisihan kasar yang semakin menjadi-jadi dan semakin kotor tanpa adanya filter.
Penulis bukan ingin mendiskreditkan tokoh-tokoh dibalik tagar #2019gantipresiden. Yang dikhawatirkan adalah, terciptanya aura ketidaknyamanan dan kegelisahan, yang dampaknya berupa stres yang semakin meluas, ketertekanan akibat ujaran kerisauan yang tidak berujung.
Lalu, apa masalahnya? Mari kita ambil contoh serupa. Tak usah jauh-jauh untuk presiden, kita coba tujukan pada lurah di kampung kita yang saat itu secara hukum telah resmi menjadi pemimpin di kelurahan tersebut. Jika kita serukan kalimat “ganti lurah” misalkan, apakah frasa tersebut terasa netral? Apakah ujaran tersebut aman dampaknya bagi kondisi psikologi masyarakat? Yang jelas, ujaran tersebut pasti menyakiti perasaan dan mampu mematikan karakteristik seseorang.
Bayangkan, pak lurah yang sudah banyak memberikan banyak kontribusi yang baik untuk kelurahan –meskipun mungkin ada yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan segelintir masyarakatnya– dan tidak tersandung kasus hukum apapun, tiba-tiba diseru oleh beberapa warga untuk diganti, atau bahasa lainnya dicopot dari jabatan yang sah.
Elokkah jika karena kekecewaan subyektif dari segelintir orang yang “kurang” sepaham, kemudian diseru dengan kalimat menyakitkan hati semisal “ganti lurah”? Bagaimanakah perasaan lurah kala itu? Bagaimana perasaan warga yang tak punya masalah dengan pak lurah jika terus-terusan didengungkan ucapan atau ujaran senada? Kecemasan, keresahan dan kerisauan pasti akan semakin dirasakan oleh banyak pihak. Bahkan, bisa jadi tetangga desa sebelah menyorot fenomena tersebut, dan ketidaknyamanan pun semakin menyebar luas.
Kesimpulannya, gerakan dengan tagar seperti itu berpotensi memompa kegelisahan dan memicu perbuatan saling curiga di antara masyarakat, pejabat publik, bahkan pemerintah.
Lalu dimana etika saling menghargai pilihan masing-masing? Jika memang pilihan yang satu memang tak sesuai dengan keinginan kita, bukankah masih ada pilihan lain yang mungkin madhorotnya lebih sedikit dibanding pilihan satunya? Jika tak setuju dengan pemerintah yang sah karena beberapa aspek, jangan pula butakan mata kita atas kontribusi baiknya selama menjabat. Bersikap adillah semenjak dalam pikiran.
Secara logika, mana mungkin ada pemimpin yang sempurna tanpa cacat dhohiron dan bathinan setelah kepemimpinan rasulullah? Ingat, setiap dari kita adalah manusia, bukan malaikat. Maka, tepislah fanatisme buta kepada pimpinan kelompok tertentu, karena bisa jadi kelompok tersebut juga akan mengecewakan beberapa pihak. Bersikaplah objektif bahwa ia yang saat ini menjadi pemimpin juga telah banyak memberikan sumbangsihnya untuk negeri kita tercinta.
Mari kita dengungkan etika berpolitik yang fair, yang jauh dari kesan saling menjatuhkan. Misalnya dengan menggunakan tagar #2019dukungpaijo atau #2019dukungpaimin. Frasa tersebut lebih elegan dan nyaman karena menunjukkan persaingan yang sehat tanpa merendahkan kubu sebelah. Etika berpolitik harus tetap dijaga agar tercipta kerukunan dan ketentraman di negeri ini. Mari kita sebarkan aura positif dalam politik yang tidak berdampak meresahkan.