Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah mengutip sebuah cerita. Kata beliau, pernah ditanyakan pada Nabi Isa AS, terkait siapa yang mengajarinya tata krama (adab), padahal—penjelasan Kiai Nawawi Banten—ia dilahirkan tanpa ayah.
Nabi Isa menjawab, tak ada seorang pun yang mengajarinya tata krama. Namun, ketika beliau melihat orang-orang bodoh berbuat hal bodoh, beliau menjauhi perbuatan bodoh itu.
Jawaban Nabi Isa—lanjut Imam al-Ghazali dalam kitabnya—bersesuaian dengan Nabi Muhammad SAW. Karena jika manusia menjauhi apa-apa (baik berupa perkataan maupun perbuatan) yang ia benci saat dilakukan orang lain, niscaya sempurna tata krama mereka, dan mereka sudah tak butuh lagi orang-orang yang mengajari tata krama.
Sebelum mengetengahkan kisah di atas, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam melihat tingkah laku orang yang tidak baik (orang yang tak membawa ketenteraman dan manfaat, yang diibaratkan seperti penyakit bagi yang lain) bagi mereka yang beri petunjuk oleh Allah, ada faedah yang besar. Dengan melihat perbuatan dan tingkah laku mereka yang tak baik, membuat kita mengerti bahwa apa yang dilakukan mereka adalah hal buruk. Lalu kita terdorong menjauhinya. Kata Imam al-Ghazali, orang yang beruntung, adalah yang bisa mengambil pelajaran dari yang lain. Orang mukmin ibarat cermin bagi mukmin lainnya.
Dalam konteks ini, Maulana Rumi dalam Fihi Ma Fihi pernah bercerita tentang sekumpulan gajah yang mendekat ke danau. Saat gajah-gajah melihat diri mereka di air, mereka lari dari danau, mengira gambaran di air adalah hewan lain. Menurut Maulana Rumi, begitu pula manusia, ia kadang bisa melihat suatu jelek saat ia lihat itu dari orang lain, bukan saat ia melakukannya. Bagi mereka yang sadar, tentu akan berbuat sebagaimana Nabi Isa di atas.
Penjelasan dan kutipan kisah Nabi Isa di atas termasuk bagian dari penjelasan Imam al-Ghazali tentang tiga macam manusia dalam bab etika persahabatan. Menurutnya, manusia ada yang seperti makanan (dalam bahasa arab disebut ghidza’, yang menurut Kiai Nawawi, sifatnya seperti makanan dan minuman) yang selalu dibutuhkan. Mereka adalah para ulama.
Ada pula yang seperti obat, yang dibutuhkan pada suatu waktu. Ada lagi yang seperti penyakit, yang sebenarnya tak dibutuhkan sama sekali. Golongan yang terakhir ini tidak membawa ketenteraman dan manfaat. Kiai Nawawi Banten dalam kitabnya, Maraqil Ubudiyah (kitab penjelasan atau syarah atas kitab Bidayatul Hidayah), memasukkan orang fasik, pembuat bid’ah, pembohong, dan pengecut dalam kategori manusia yang diibaratkan seperti penyakit.
Walaupun golongan manusia ketiga ini—yang diibaratkan seperti penyakit—tak dibutuhkan, namun kadang seseorang diberi cobaan berkumpul bersama mereka. Namun, Imam al-Ghazali justru menghimbau kita, agar santun dalam berinteraksi dengan mereka—bukan menghardik mereka—supaya terhindar dari mereka, yang dalam penjelasan Kiai Nawawi Banten, untuk menolak kejelekan mereka.
Kalau kita perhatikan keterangan di atas, maka sikap kita kepada golongan ke tiga ini bukan menghardik atau pun melarikan diri, namun menolak kejelekan mereka secara halus. Atau dalam bahasa kita, mungkin lebih dekat dengan merangkul ke jalan kebaikan.
Tampaknya ini sesuai dengan apa yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam bab awal, bahwa dalam menasihati baiknya dengan melihat kondisi kontekstual, dengan melihat kemungkinan diterimanya nasehat. Sehingga nasehat tidak sia-sia, dan tidak berbalik jadi musuh.
Tentang bersikap santun atau menolak secara halus, Kiai Nawawi Banten mengutip hadits, yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, al-Tabrani dan al-Baihaqi dari Jabir bin Abdillah. Rasulullah pernah bersabda, “bersikap lembut kepada manusia adalah sedekah”. Menurut Kiai Nawawi, hal itu tak terbatas pada perkataan, namun juga perbuatan.
Kontekstualisasi Sikap Nabi Isa
Sikap Nabi Isa di atas, dalam memahami dan mengambil mutiara dari lautan realitas yang ia arungi, relevan dipraktikkan di era sekarang.
Kita sekarang sedang memasuki era informasi, atau lebih tepatnya era media sosial, yang memungkinkan sering berinteraksi dengan orang yang diibaratkan Imam al-Ghazali sebagai penyakit. Banyak orang di media sosial yang pekerjaannya mencaci maki, menebar kebencian, dan berita palsu—dengan tidak menganggap sedikit orang-orang baik yang juga berinteraksi melalui media sosial.
Bagi kita yang hidup di era, di mana teknologi informasi begitu mengagumkan, tentu akan sangat sulit jika harus memilih untuk tidak berinteraksi melalui media sosial. Namun dengan aktif di media sosial, berinteraksi dengan orang-orang yang masuk dalam kategori penyakit sulit terhindarkan. Maka, sikap Nabi Isa dalam membaca realitas, sebagaimana riwayat di atas, perlu diteladani. Menjauhi kebodohan, caci maki, dan mengumbar fitnah. Sikap Nabi Isa tersebut merupakan sikap cerdas dalam memandang realitas. Jika kita mampu meneladani, bukan hal yang tak mungkin kita akan bisa menyaring dan bersikap secara bijak dalam berinteraksi di media sosial. Dengan begitu, mungkin kita akan mampu menemukan mutiara dalam lautan realitas maya (lautan media sosial), yang tak jelas tepiannya. Wallahhu a’lam.
Zaim Ahya, penulis adalah alumni UIN Walsongo Semarang.