Viralnya kasus pemaksaan berjilbab pada siswi non-muslim di SMK Negeri 2 Padang seharusnya menjadi teguran serius kepada pemerintah, khususnya Kemendikbud dan Dinas Pendidikan. Pemaksaan ini menunjukkan bahwa inklusivitas beragama agaknya mulai luntur di kultur pendidikan negeri ini.
Untuk diketahui, kasus ini mencuat ketika beredar video Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMK Negeri 2 Padang beradu argumen dengan orang tua siswi yang tak berjilbab di sekolah tersebut. Pihak sekolah memaksa siswi bersangkutan untuk menaati aturan pakaian yang sudah ditetapkan sekolah, termasuk urusan berbusana.
Agaknya, terlalu terburu-buru jika langsung menyalahkan pihak sekolah. Aturan berbusana ini sebenarnya sudah diatur dalam Instruksi Walikota Padang No. 451.442/BINSOS-iii/2005. Instruksi itu dikeluarkan Walikota Padang Fauzi Bahar pada 2005. Artinya, aturan ini sudah diterapkan selama 16 tahun di sekolah-sekolah negeri di Padang.
Salah satu poin instruksi itu adalah mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri di Padang. Kendati nomenklaturnya ditujukan kepada siswi muslim saja, namun di lapangan, siswi non-muslim juga dipaksa memakai jilbab. Menariknya, dalam laporan implementasi Perda tersebut, pesantren Ramadan juga berlaku bagi siswa-siswi non-muslim.
Biang kerok pemaksaan berjilbab bagi siswi2 sekolah negeri di Padang adalah aturan Walikota Padang Fauzi Bahar pada 2005. Pemerintah pusat tak pernah cabut aturan diskriminatif tsb https://t.co/sW8Foycl7P
— Andreas Harsono (@andreasharsono) January 22, 2021
Jika dilihat lebih luas, sebenarnya masalah ini ibarat gunung es di sekolah-sekolah di Indonesia. Kasus yang viral sekarang merupakan representasi dari masalah yang berlarut-larut dan mengakar kuat bertahun-tahun lampau.
Sebagai misal, pada 2014, sudah ada pemaksaan berjilbab bagi siswi non-muslim di Bali. Hal ini kembali terulang pada 2017 di Banyuwangi. Pada 2018, pemaksaan berjilbab dilakukan kepada siswi non-muslim di Riau. Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menambahkan bahwa aturan serupa juga ditemukan di Sumatera Barat dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Kini, kasusnya kembali mencuat di SMK Negeri 2 Padang.
“Kalau memang mau buat aturan wajib pakaian muslim, ya, buat saja sekolah agama. Kalau di sekolah negeri mau menerapkan seperti itu, ya, enggak bisa,” ujar Retno Listyarti, ketika diwawancarai mengenai pemaksaan jilbab pada 2016.
Pemaksaan menjalankan ajaran agama tertentu kepada pemeluk agama lain merupakan pelanggaran HAM serius. Hak beragama dan menjalankan ajaran agama adalah perkara mendasar dalam hidup manusia.
Selain itu, aturan Perda dan pemaksaan yang dilakukan sekolah ini seolah mengangkangi konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 28E, ayat 1 yang menjamin warga negara Indonesia untuk menjalankan agamanya masing-masing.
Jika dispesifikkan lagi, pemaksaan berjilbab juga melanggar UU No. 20 Th. 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 12. Pada ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa setiap siswa-siswi sekolah, khususnya sekolah negeri, berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya, serta diajar oleh pendidik yang seagama.
Lagi-lagi, UU di atas menunjukkan kondisi ideal yang seharusnya dicapai. Namun, di sejumlah satuan pendidikan, praktiknya jauh panggang dari api. Bukan hanya kewajiban berjilbab, siswa-siswi non-muslim juga dipaksa mengikuti pembelajaran agama Islam, disuruh belajar mengaji, salat, dan lain sebagainya.
Pada 2018, Setara Institute sudah menyalakan lampu kuning mengenai radikalisme di sekolah-sekolah di Indonesia. Penelitian tersebut bahkan menunjukkan bahwa intoleransi beragama ternyata lebih meningkat di sekolah negeri daripada sekolah swasta.
Sentimen beragama rupanya menajam dan kian kuat. Akibatnya, diskriminasi terhadap agama minoritas seolah-olah menjadi makanan sehari-hari peserta didik di lingkup sekolah.
Lebih miris lagi, dari survei Setara Institute itu, 8,5 persen responden menyetujui bahwa dasar negara Pancasila seharusnya diganti dengan aturan agama. Jika benar, semboyan negara: Bhinneka Tunggal Ika cuma isapan jempol belaka di hadapan kelompok-kelompok radikal ini.
Jika dilihat dari kaca mata Islam sendiri, pemaksaan berjilbab ini juga tak dibenarkan. Dalam surah Albaqarah [2] ayat 256 menyebutkan bahwa tidak ada paksaan menganut agama Islam, khususnya pada umat non-muslim. Muhammad Sayyid Tantawy, mufti besar Mesir (1986-1996) menyatakan bahwa ayat ini merupakan ayat yang menjelaskan terkait kebebasan beragama. Ketentuan menjalankan ajaran agama baru berlaku ketika sudah memasuki agama Islam. Bagi non-muslim, tidak ada keharusan memakai jilbab, apalagi sampai dipaksa-paksa pihak sekolah.