Xenophobia Terselubung di Balik Aturan Hijab Tajikistan?

Xenophobia Terselubung di Balik Aturan Hijab Tajikistan?

Berkaca dari kisah Hitler dan Mussolini, delegitimasi hingga eliminasi kebudayaan lain adalah anak kandung dari glorifikasi berlebihan atas budaya sendiri.

Xenophobia Terselubung di Balik Aturan Hijab Tajikistan?

Nasionalisme bisa melahirkan adanya rasa memiliki karena merasa sebagai sebuah bagian dari suatu bangsa. Rasa ini menjadi kapital penting memperkokoh persatuan di dalam suatu negara. Tak dinyana, nasionalisme juga berdampak besar terhadap perkembangan kesenian, olahraga, literatur, bahasa, dan aspek-aspek lainnya dalam lanskap kebudayaan.

Aspek-aspek tersebut merupakan cerminan dari identitas yang dimiliki oleh suatu bangsa berkat kesadaran warganya untuk mengembangkan identitas yang dia miliki. Tetapi, apakah wajar jika rasa nasionalisme itu dipupuk secara berlebihan?

Kasus terbaru adalah kebijakan presiden Tajikistan Emamoli Rahmon yang pekan lalu resmi melarang penggunaan hijab di ruang publik. Keputusan yang memantik pro-kontra ini disahkan oleh Majelis Tinggi Parlemen, Majlis Milli. UU ini dinamakan “larangan pakaian asing” yang di dalamnya melarang hijab dan penutup kepala lainnya.

Terang saja, banyak kecaman muncul mengingat 90% penduduk Tajikistan beragama Islam. Pemerintah Tajikistan berdalih, larangan ini untuk menguatkan identitas nasional dan mencegah ekstremisme. Tak dijelaskan memang jenis hijab apa yang dilarang pemerintah setempat. Intinya, Pemerintah mewajibkan perempuan mengenakan pakaian nasional.

Tulisan ini tidak hendak menghakimi situasi sosial-politik di Tajikistan. Saya tidak menahu national interest apa yang sedang diperjuangkan oleh kelompok elit di sana. Saya hanya melihat, ada indikasi tak wajar yang harusnya tidak terjadi di era negara bangsa. Nuansa xenophobia, chauvinisme, dan islamophobia sangat berasa dalam UU yang katanya demi melindungi identitas nasional Tajikistan itu.

Benarkah demikian? Atau hanya perasaan saya aja?

Nasionalisme itu “Baik”

Sebelum menyelami lebih dalam, baiknya kita bedah tipis-tipis dulu sejarah nasionalisme dan bagaimana cara kerjanya. Nasionalisme muncul pertama kalinya di Eropa pada abad ke- 18 M. Lahirnya paham ini berkelindan dengan terbentuknya negara-negara bangsa (nation-states).

Sedangkan formulasi negara bangsa dilatarbelakangi oleh faktor-faktor seperti persamaan keturunan, bahasa, adat-istiadat, tradisi, agama, bahkan nasib sepenanggungan (seperti negara-negara dunia ketiga). Negara bangsa yang dibentuk atas dasar paham nasionalisme lebih menekankan kemauan untuk hidup bersama dalam mendiami teritori tertentu dan memiliki hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan tujuan.

Di Indonesia, nasionalisme lahir dari adanya kesadaran yang terus berkembang, yaitu kesadaran terhadap situasi ketertindasan yang melahirkan keinginan untuk bebas dan merdeka. Kesadaran ini, salah satunya, melahirkan Boedi Oetomo, pergerakan organisasi modern yang mempunyai cita-cita membebaskan Indonesia dari belenggu kolonialisme.

Nasionalisme di Indonesia diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut negara ini. Selanjutnya istilah “Indonesia” dipandang sebagai identitas nasional dan simbol perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan.

Sampai sini, nasionalisme memiliki citra yang positif. Nasionalisme melahirkan konsepsi tentang keadilan, anti-kolonialisme, kesetaraan, dan semangat memerangi imperialisme.

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana jika seseorang memiliki rasa nasionalisme yang berlebihan. Apa dampaknya kepada negara dan diri sendiri jika saya, misalnya, memiliki jiwa nasionalis yang melampaui batas. Gimana dengan kasus Tajikistan yang mendorong penguatan identitas lokal, tetapi sembari mengeliminir kebudayaan lain?

Dari Xenophobia hingga Chauvinism

Agak samar meraba demarkasi antara nasionalisme berlebihan (excessive nationalism), xenophobia, dan chauvinism. Tetapi yang lazim menjadi toxic bagi negara-negara yang “mengaku” sekuler adalah xenophobia.

Xenophobia adalah kecenderungan suatu pihak untuk membenci kebudayaan bangsa lain. Sedangkan chauvinisme adalah paham yang mengagungkan bangsa atau negaranya sendiri dan memandang rendah bangsa atau negara lainnya.

Xenophobia paling dekat yang bisa diidentifikasi adalah ketika Cina “diboikot” oleh beberapa negara di dunia karena dituduh menyebarkan wabah Covid-19. Tagar #ChineseDon’tComeToJapan yang viral di Jepang pernah trending di Twitter (sekarang X) di awal-awal pandemi tahun 2020-an.

Beberapa warga Indonesia juga pernah menjadi korban gejala xenophobia di Amerika Serikat. Pada Maret 2021 lalu, dua remaja WNI mendapat serangan di stasiun kereta di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Seperti yang dilansir oleh Detik, Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk Amerika mengatakan bahwa serangan itu disinyalir merupakan salah satu gejala kebencian terhadap satu etnis tertentu yang melekat pada remaja di Amerika.

Chauvinisme tak jauh berbeda. Paham ini sangat berpeluang melahirkan diskriminasi etnis. Meski tak jauh beda, kedua paham ekstrem itu berangkat dari dua motif yang berbeda. Xenophobia dilatarbelakangi kebencian atau ketakutan terhadap bangsa lain, sedangkan chauvinisme berangkat dari glorifikasi yang berlebihan terhadap bangsa sendiri dengan menganggap bangsa yang lain lemah.

Misalnya dalam tragedi pembantaian Yahudi oleh Nazi, Adolf Hitler sebagai pemimpin diktator, massa yang fanatik, dan doktrin yang mengunggulkan ras Arya sembari merendahkan ras-ras lainnya. Implementasi paham chauvinisme versi Hitler melahirkan perilaku semena-mena terhadap kaum Yahudi, anak-anak cacat dan orang kembar. Adolf Hitler dengan bangga mengatakan bangsa Jerman merupakan ras utama atau ras unggul.

Chauvinisme pernah juga terjadi di Italia saat rezim Bennito Mussolini berkuasa. Mussolini adalah seorang diktator fasis yang menganggap bahwa negara lain adalah peniru dan tidak kreatif. Ideologi fasisme selalu membayangkan adanya musuh sehingga pemimpin dan militer harus tangguh agar dapat menjaga pertahanan serta keamanan negara.

Di Jepang, gejala serupa juga muncul di era kekuasaan Kaisar Hirohito. Sejarah penjajahan Jepang terhadap bangsa lain, salah satunya didasari atas paham chauvinisme. Propaganda politik yang mereka gunakan pada masa itu berusaha untuk menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang cemerlang.

Mempertanyakan Sekulerisme ala Tajikistan

Nawacita sekulerisme sebetulnya sudah terlihat sejak Emomali Rahmon (berkuasa sejak 1994). UU Parental Responsibility misalnya dimaksudkan untuk menghukum orang tua yang mengirim anak-anak mereka belajar pendidikan agama di luar negeri. Menurut undang-undang yang mulai berlaku pada tahun 2011, mereka yang berusia di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.

Tidak hanya atribut keagamaan, Pemerintah Tajikistan juga melarang tradisi idul adha lokal. Dalam tradisi idul adhan khas Tajikistan biasanya anak-anak datang ke rumah untuk meminta uang hari raya.

Selanjutnya, Pernyataan Komite Urusan Agama Tajikistan pada tahun 2017 menyatakan bahwa 1.938 masjid ditutup hanya dalam satu tahun, dan tempat ibadah diubah menjadi kedai teh dan pusat medis untuk memperkuat kontrol dan pengawasan negara dari kemungkinan paham ekstremisme yang masuk melalui masjid.

Sebenarnya, pertanyaan boleh tidaknya “melampaui batas” sangatlah klise. Kita semua tahu bahwa segala hal yang berlebihan itu tidak baik. Dalil nash dan akal sudah mengonfirmasi hal itu secara konkret. Namun, pembicaraan tentang hal ini tetap perlu diselenggarakan untuk mengukur potensi kerusakan dari sebuah paham yang salah.

Sekilas dari motif yang dikeluarkan Pemerintah Tajikistan, aroma xenophobia jauh lebih kental daripada chauvinism. Tetapi kok rasa-rasanya chauvinism hanyalah bom waktu dari xenophobia. Berkaca dari kisah Hitler dan Mussolini, delegitimasi kebudayaan lain adalah anak kandung dari glorifikasi berlebihan atas budaya sendiri.

Secara garis besar, Chauvinism bisa diidentifikasi melalui tiga hal; adanya fanatisme, dimobilisasi oleh pemimpin yang diktator, dan sikap memandang rendah terhadap bangsa lain. Terkait fanatisme, sang presiden “sepanjang masa” tampaknya sedang mengarusutamakan kepentingan kebudayaan nasional. Cukup sadis memang untuk langsung menghakimi sebagai fanatisme, tetapi kebijakan yang diawali dengan diktum “mewajibkan” selalu bernuansa represif.

Indikasi kedua, pemimpin diktator, tentu sudah tak perlu diperdebatkan. Emomali Rahmon sangat dekat dengan kultur komunisme Uni Soviet. Ia sudah memimpin Tajikistan selama 28 tahun dan berencana untuk menjadi pemimpin Tajikistan sampai akhir hidupnya.

Ihwal memandang rendah bangsa lain memang belum terlihat kentara. Kita lihat saja, apakah UU larangan pakaian asing ini akan berujung diskriminasi atau tidak. Soal islamophobia tampaknya tidak begitu kentara. Tajikistan kabarnya juga mencekal intervensi kebudayaan Barat ke negaranya.

Label xenophobia dan chauvinisme mungkin terlalu terburu-buru dan belum tepat menggambarkan secara konkret situasi sosial-politik di Tajikistan. Walakin, hal itu bukan berarti keduanya tidak bisa terjadi. Nasionalisme yang berlebihan merupakan trigger utama dari lahirnya kedua paham nasionalisme ekstrem tersebut.