Saya baru sadar bahwa 1 Februari dirayakan sebagai Hari Hijab Sedunia atau World Hijab Day. Perayaan ini dirayakan di banyak kota di seluruh dunia. Awal dan pusatnya ada di New York, Amerika Serikat.
Menurut penggagasnya, Nazma Khan, selebrasi ini dilakukan untuk mencegah berkembangnya diskriminasi dan intoleransi terhadap para pengguna hijab. Tahun ini, tema yang digunakan adalan “PROGRESSION NOT OPRESSION” atau terjemahannya adalah “Kemajuan, bukan Penindasan”.
Seperti yang telah dibincang, Hari Hihab pertama kali dideklarasikan oleh seorang wanita Muslim asal Bangladesh yang tumbuh besar di New York bernama Nazma Khan. Sejak kecil, Nazma sering dibully karena berjilbab.
Perundungan ini terjadi terutama setelah insiden teror di Twin Towers New York pada 11 September 2001, aksi yang dianggap sebagai ulah para teroris beragama Islam yang menewaskan hampir 3000 orang.
Serangan itu melahirkan sentimen kebencian yang berkepanjangan bagi warga Amerika terhadap orang-orang Islam. Muslim berhijab menjadi sasaran utama karena hijab dianggap sebagai simbol keislaman seseorang.
Nazma yang berhijab berulangkali dicurigai, dimaki sebagai teroris, bahkan mendapat perlakuan kekerasan fisik. Oleh karena itu, ia berusaha merekonstruksi pemahaman tentang Islam agar kaum Muslim tidak lagi dipandang sebagai agen teror dengan, salah satunya, membangun persepsi positif tentang hijab.
Pada 1 Februari 2013, Nazma mendeklarasikan Hari Hijab Sedunia untuk pertama kalinya. Seperti yang ditulis dalam website resminya, ia berharap apa yang dilakukannya dapat mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan Muslimah berhijab.
Sejak saat itu, perayaan dilakukan dan kemudian menyebar ke negara-negara lain. Pada 2017, negara bagian New York secara resmi menetapkan World Hijab Day. Di Filipina, sejak 2021, 1 Februari ditetapkan sebagai hari hijab nasional untuk mempromosikan pemahaman atas tradisi Islam.
Misi mulia Nazma itu bukan tanpa kontroversi. Banyak pihak yang mempertanyakan alasan pemilihan tanggal 1 Februari sebagai Hari Hijab. Sebenarnya tidak ada penjelasan mengapa Nazma menetapkan tanggal itu sebagai hari hijab, namun banyak pihak yang mengaitkannya dengan tanggal kembalinya Ayatullah Khomeini ke Iran dari pengasingan di Prancis pada 1979. Ini menjadi bermasalah karena Khomeini merupakan representasi Islam Kanan yang menerapkan hukum Islam yang sangat tegas dan ketat di Iran setelah menumbangkan rezim korup sekuler Reza Pahlevi.
Rezim Khomeini mengubah wajah Iran menjadi Republik Islam. Di Iran, berjilbab adalah kewajiban yang kalau dilanggar akan diancam pidana.
Insiden-insiden kemanusiaan yang sampai saat ini masih terjadi di Iran seringkali bermula dari isu pemaksaan jilbab bagi kaum perempuan di Iran. Dengan demikian, jika memang 1 Februari dipilih berdasarkan semangat relijius yang “represif” ala Khomeini untuk mengislamkan Iran, maka itu tampak akan problematis. Namun, sekali lagi, itu hanyalah spekulasi dan asumsi yang tidak berdasar.
Kembali sejenak ke tema perayaan Hari Hijab tahun ini, “Progression not Oppresion”. Diktum ini merupakan sanggahan terhadap persepsi Barat tentang perempuan sebagai warga kelas dua dalam Islam.
Mereka menganggap bahwa hijab merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan tidak boleh memimpin, berprestasi, tidak boleh aktif di ruang publik. Perempuan tidak boleh menampilkan kecantikannya dan harus menutup tubuhnya karena mereka adalah properti yang dimiliki kaum laki-laki.
Oleh karena itu, kewajiban berhijab merupakan bagian dari penindasan terhadap perempuan. Demikian stereotipe yang melekat kepada perempuan berhijab.
Tetapi lewat slogan tersebut, World Hijab Day hendak mengatakan bahwa hijab justru merupakan pembebasan. Dengan hijab, perempuan tidak lagi menjadi objek tatapan nafsu para kaum laki-laki. Dengan berhijab, perempuan dianggap akan dihormati sebagai manusia seutuhnya, bukan karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
Terakhir, Nazma ingin menegaskan bahwa hijab merupakan bentuk kemajuan, bukan penindasan. Dengan demikian, pada dasarnya, Nazma sedang mengkampanyekan hari hijab untuk melawan diskriminasi terhadap perempuan berhijab.
Nazma hakikatnya sedang memperjuangkan hak asasi perempuan untuk berpakaian sesuai dengan apa yang yang diyakininya sebagai perintah agama. Oleh karena itu, perjuangan Nazma ini sangat relevan bagi umat Islam yang hidup di negara-negara yang masyarakatnya masih skeptis dan curiga berlebihan dengan kehadiran umat Islam, seperti Amerika Serikat dan semacamnya.
Lalu muncul pertanyaan, apakah selebrasi itu juga relevan jika diterapkan di Indonesia? Saya bisa menjawab dengan cepat, tidak. Pertanyaan sebaliknya, untuk apa?
Justru di Indonesia, fenomenanya terbalik. Yang banyak terjadi adalah penindasan dan diskriminasi terhadap para perempuan yang memilih tidak berhijab. Mungkin tidak sampai kepada kekerasan fisik, namun tekanan sosial terhadap perempuan Muslim yang tidak berhijab untuk berhijab sangat banyak ditemui, khususnya dalam ranah dunia maya.
Human Right Watch Indonesia secara aktif mencatat perjalanan perempuan di Indonesia yang mengalami perundungan akibat menolak menggunakan hijab. Tekanan itu bukan datang dari golongan lain, namun dari pihak internal seperti sesama teman, guru, pemegang otoritas kebijakan di institusi pendidikan, bahkan dalam lingkup keluarga sendiri.
Di lingkungan pendidikan saja, banyak keluhan yang muncul dari wali murid dan murid itu sendiri tentang pemaksaan aturan hijab bagi perempuan. Belum lagi di wilayah entertainment, di mana warganet cenderung melabeli artis yang tidak berhijab dengan persepsi “negatif”, dan memuji setinggi langit artis-artis yang memutuskan untuk berhijab denga istilah hijrah.
Jikapun hendak meniru agenda Nazma Khan, maka yang bisa diduplikasi bukan perayaannya, melainkan semangat perjuangannya. Justru jika Hijab World Day itu dihadirkan di Indonesia, hal itu rawan memberikan dalil untuk lebih represif lagi menyuruh perempuan untuk berhijab.
Nafas perjuangan Nazma di Amerika Serikat adalah soal kebebasan perempuan mengenakan atribut apapun yang membuatnya nyaman, baik secara jasmani maupun rohani. Atau, kita bisa membantu perjuangan Nazma dengan menjadi Muslim yang baik agar Islam dan perempuan Muslim tidak lagi dipandang sebelah mata oleh dunia internasional.