Beberapa waktu belakangan media sosial dihebohkan dengan gambar spanduk bertemakan wayang kulit. “Wayang kulit bukanlah ajaran syariat Islam”, begitu salah satu tulisan di sepanduk tersebut. Entah apa maksud pembuat sepanduk, yang jelas hal ini memancing reaksi banyak orang untuk berkomentar.
Ungkapan ini bisa jadi merupakan ungkapan sederhana seperti ‘gethuk bukanlah ketela’. Semua orang tahu bahwa gethuk bukanlah ketela, tetapi gethuk adalah salah satu jenis makanan tradisional yang terbuat dari ketela. Ia bukan lagi sebagai ketela karena telah mengalami dialektika. Sebelum menjadi gethuk yang enak dimakan itu, ketela terlebih dahulu bertemu dengan berbagai proses dan waktu: diparut, diadon, diberi pewarna dan lain sebagainya. Namun apakah gethuk bukanlah ketela secara mutlak? Tidak juga. Sebab bahan baku pembuatan gethuk itu adalah ketela.
Sejak dulu, banyak orang meributkan soal kemasan dalam beragama. Sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rasulullah dianggap sebagai bid’ah dan haram dilakukan. Menyoal wayang jelas saja Rasul tidak mengajarkannya. Lha wong di Arab tidak mengenal tradisi wayang. Sama juga dengan kain batik dan sarung. Tapi apakah menggunakan wayang, batik dan sarung sebagai media penyampaian dakwah tidak diperbolehkan?
Jika alasan wayang adalah tradisi orang Hindu, mari kita jawab dengan ilustrasi yang super atau bahkan hiper sederhana. Di platform media sosial banyak akun-akun yang mengatasnamakan media dakwah. Pertanyaannya: apakah website, facebook, twitter, youtube dll adalah ajaran syariat Islam? Apakah semua platform tersebut merupakan produk kaum muslimin? Jika facebook yang cetho welo-welo dibuat penganut Yahudi saja bisa disebut media dakwah, mengapa wayang kulit tidak?
Ketela yang direbus memang berbeda dengan gethuk. Tetapi keduanya sama-sama mendorong sebuah proses agar ketela yang awalnya berada di dalam tanah bisa sampai diperut dengan berbagai tahapan-tahapan, mulai dicabut, dibersihkan, diolah dan seterusnya. Gethuk, ketela rebus, hingga kripik hanyalah variasi penyajian yang tidak perlu diperdebatkan mana yang lebih ketela.
Si pembuat sepanduk mungkin akan kebingungan ketika ditanya, bagaimana Islam mengajarkan umatnya: apakah anjing itu najis? Dalam literatur fikih, empat imam mazhab tidak bersependapat menyoal najisnya anjing. Imam Syafii berfatwa bahwa anjing dan sesuatu yang keluar darinya itu najis. Jika seseorang terkena air liur atau bahkan hanya menyentuh bagian dari anjing harus dicuci tujuh kali dan salah satunya menggunakan debu. Sementara Imam Malik berfatwa bahwa anjing itu tidak najis. Oleh karenanya, di kampus Islam Al-Azhar Kairo banyak dijumpai ulama bermazhab Maliki atau Hanafi yang memelihara anjing.
Lalu mana yang bisa disebut ajaran Islam? Fatwa Imam Malik atau Syafii? Lalu fatwa mana yang harus dikawal dan dibentuk gerakan pengawal fatwa? Apakah tidak sependapat dengan salah satu pendapat ulama tersebut berarti menista atau menghina bahkan ingkar terhadap ulama?
Memang terdengar lucu ketika ada segelintir orang menyuarakan fanatisme tanpa ilmu melalui media sosial dengan lantang. Apalagi jika pendapatnya ngelantur: tidak bisa membedakan mana ibadah dan mana muamalah. Mana yang asas fundamental (ushul) dan mana yang perilaku praktis (far’u). Mana yang nilai dan mana yang strategi.
Padahal terdapat kaidah fikih yang sangat masyhur, bahwa segala bentuk ibadah pada dasarnya haram dilakukan kecuali ada dalil yang memperbolehkan. Sementara muamalah pada dasarnya boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarang.
Wallahua’lam bi as-shawab.
NB: Artikel ini bisa dimuat di islami.co dan INFID