Akhir pekan lalu, saya memutuskan menenggelamkan diri pada dingin dan asrinya Kota Wonosobo. Sementara waktu rasanya memang perlu menjauh dari riuhnya Kota Jogja yang makin sesak ditumbuhi pohon-pohon beton bertingkat penyerap air bersih warga. Atau mengganti pemandangan sejenak dari bunga-bunga baliho yang rajin mengajak kita untuk makin konsumtif.
Di salah satu sudut Wonosobo yang jauh dari perkotaan, saya bertandang ke rumah seorang kawan. Di sana, kami mengobrolkan banyak hal, mulai dari tempat-tempat rekomendasi kuliner hingga nasib hutan dan pepohonan di kota itu sepuluh tahun ke depan.
Cerita kami berlanjut sampai ke jatuh bangun pabrik-pabrik kayu di sana, nasib buruh pabrik yang tetap bekerja pada hari Sabtu dan Minggu, jam kerja lembur untuk mengejar target ekspor, hingga pengalamannya melihat air sungai meluap berwarna hitam pekat akibat limbah pabrik di samping kosnya dulu.
Pada titik itu, kami semakin menyadari bahwa di era industrialisasi ini tidak semua berjalan dengan baik-baik saja. Di balik produk dan fasilitas yang kita pakai saat ini, ada ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan kesewenang-wenangan yang mengalir deras. Suara protes dari buruh yang dieksploitasi, warga yang dirugikan karena pencemaran lingkungan, atau penegak hukum yang mencoba memperingati bisa dengan mudah dibungkam dengan uang atau ancaman.
Senin (09/03) kemarin, tepat sepulang dari Wonosobo, perkara-perkara yang sempat membuat kami gelisah akhirnya menemukan momentumnya. Di Jogja, sekelompok massa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak menggelar aksi (lagi) di pertigaan Jalan Gejayan untuk menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
Lebih dari seribu massa aksi yang terdiri dari mahasiswa, buruh, petani, dosen, aktivis, dan seniman itu menggelar protes yang bertajuk “Rapat Rakyat: Parlemen Jalanan”. Rapat ini bisa dibilang sebagai respon dari hasil rapat-rapat para penentu kebijakan di gedung mewah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, termasuk Omnibus Law itu sendiri.
Saya datang dan bergabung ke simpang tiga yang kini bernama Jalan Affandi itu sejak siang. Orasi demi orasi berlangsung sampai pertigaan Gejayan benar-benar penuh oleh para mahasiswa dari berbagai kampus yang datang dari tiga penjuru arah. Meski sempat diguyur hujan, tapi suara-suara protes dan kritik terhadap Omnibus Law dan pemerintah tidak ikut surut. Pun dengan massa aksi yang tidak beranjak pergi meski harus menanggung basah. Bahkan, pertunjukan musik yang dihelat di sela-sela orasi semakin menguatkan barisan lautan massa.
Dalam terik, kita memekik. Dalam hujan, kita berkawan. #GejayanMemanggilLagi pic.twitter.com/UiYIaIaLeH
— Puthut EA (@Puthutea) March 9, 2020
Lantas, apa itu Omnibus Law? Dan seberapa bermasalah draf undang-undang ini sampai harus mendapat reaksi keras dan masif di mana-mana? Siapa yang diuntungkan dan dirugikan sampai kaum rebahan ikut turun ke jalan sambil menggaungkan tagar #GejayanMemanggilLagi dan #GagalkanOmnibusLaw di jagat maya?
Omnibus Law adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan isu. Undang-undang ini dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang sebelumnya. Karena cakupannya yang luas, Omnibus Law juga biasa disebut dengan Undang-Undang Sapu Jagat. UU ini pertama kali muncul pada pidato Presiden Jokowi saat pelantikannya pada 20 Oktober 2019.
Masalahnya, pembuatan draf UU ini tidaklah transparan. Pemerintah tidak melibatkan buruh secara substantif, padahal ada kepentingan kelas pekerja yang mendasar di sana. Masalahnya lagi, setelah akhirnya UU ini muncul di publik karena desakan sana-sini, ternyata banyak pasal-pasal di dalamnya yang problematis dan inkonstitusional.
Ya, Omnibus Law memuat kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebut saja dalam Pasal 89 RUU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A ayat (I) huruf b dalam UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang membolehkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi. Ketentuan ini tidak sejalan dengan putusan MK 19/PUU-IX/2011 yang menetapkan efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK.
PHK secara sepihak ini hanyalah satu dari sekian banyak ancaman dalam Omnibus Law yang menghantui para pekerja. Lalu apa lagi ancaman yang lain? Banyak!!
Ada berjibun hak pekerja yang coba dihapuskan seperti dihilangkannya cuti haid, melahirkan, dan keguguran bagi pekerja perempuan; ditiadakannya pesangon dan upah minimum; diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya yang membuat pekerja rentan diputus kontrak begitu saja, serta perpanjangan jam kerja dan lembur yang pada akhirnya membatasi aktivitas mereka dalam berserikat.
Melihat calon undang-undang yang memuat hasil seperti ini rasanya sesak sekali di dada. Bagaimana tidak, hak-hak pekerja yang selama ini dilindungi payung hukum saja banyak sekali yang dilanggar. Ketika para pekerja melakukan aksi protes karena menuntut keadilan, aparat yang seharusnya melindungi mereka malah merapat kepada elit-elit perusahaan dan tidak segan melakukan kekerasan atas nama “ketertiban”. Akhirnya, para pekerja tidak lain hanya dipandang sebagai mesin produksi alih-alih seorang manusia yang perlu dimuliakan.
Momok kebijakan Omnibus Law lain yang tak kalah menakutkan adalah terkait isu lingkungan hidup. Lewat rencana ini, pemerintah ingin mereduksi substansi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dari syarat suatu proyek. Padahal AMDAL merupakan salah satu instrumen penting yang memperkirakan dampak lingkungan akibat pembangunan.
Selama ini, pelanggaran dalam pengelolaan limbah saja, katakanlah, telah banyak dilakukan oleh industri-industri kecil hingga besar. Dengan tameng AMDAL saja kita masih lemah dari praktik suap yang berujung pencemaran lingkungan, apalagi tanpa administrasi yang melindungi lingkungan sama sekali.
Atas nama investasi, barangkali aturan ini dianggap menguntungkan perekonomian negara hari ini. Tapi di atas itu semua, ada faktor-faktor penting dan esensial yang diabaikan dalam kebijakan ini, yaitu persoalan pemenuhan hak asasi manusia dan perlindungan ruang hidup bersama. Dua hal yang tak bisa dibeli dengan gaji sebesar apa pun, apalagi sekadar janji dan kata manis yang kaku dari perumus kebijakan.
Pada akhirnya, Omnibus Law Cipta Kerja memang benar memberi pekerjaan berlimpah, tapi hanya untuk investor dan pemodal saja. Sedang masyarakat kecil yang juga pekerja seperti kita ujung-ujungnya hanya dapat jatah “dikerjain”. Karena itulah, apa yang kemarin disuarakan oleh massa aksi di #GejayanMemanggilLagi atau di mana pun masyarakat merasa dirugikan adalah bagian dari upaya-upaya untuk memperjuangkan kepentingan bersama, bukan hanya segelintir orang kaya dan berkuasa. Begitu.