Basuki Tjahya Purnama atau Ahok divonis dua tahun kurungan penjara karena dianggap telah menistakan agama oleh sebagian umat Islam (Detik.com, 9 Mei 2017). Hal itu terjadi ketika Ahok menyebut surah al-Maidah ayat 51 (ayat tersebut terdapat kata auliya’, plural dari wali), yang kemudian terjadi perdebatan panjang. Suasana panas pilkada dan konteks politik saat itu yang kemudian menyeret Ahok ke ruang jeruji besi. Namun, bukan Ahok yang ingin penulis bahas pada tulisan ini, akan tetapi lebih ke hal ihwal makna wali dan realitas yang terjadi saat ini.
Pembahasan tentang wali adalah persoalan yang rumit. Al-Qur’an sendiri menyebut ada sebanyak 124 kata benda dan sekitar 112 tempat yang dipakai dalam bentuk kata kerja (Quraish Shihab: 2014). Sebab itu, kata wali atau auliya’ tidak pernah henti-hentinya dikaji, baik di jurnal, buku, majalah, maupun tugas akhir—skripsi, tesis, dan disertasi.
Kata ‘wali’ banyak polarisasinya. Ada yang mengatakan akar kata wali adalah ‘al-wilayah’ yang artinya ’kekuasaan’ atau ‘daerah’. Lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia dan kita mengenalnya dengan istilah—wali kota, wali murid, wali mempelai dalam pernikahan.
Ada juga yang mengatakan kalau ‘wali’ terambil dari kata ‘al-walayah’, yang berarti pertolongan. Dari segi bahasa, wali memang maknanya bermacam-macam (kekasih, sekutu, penolong, kawan karib, follower, tetangga, dan lain-lain).
Sementara secara terminologinya, dikalangan ulama ahlussunnah sering menyebut wali ditujukan kepada orang yang beriman dan bertakwa dan mempunyai kedekatan tinggi dihadapan Allah Swt. Tidak salah jika para Walisongo yang menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara disebut sebagai waliyullah (orang yang dekat dengan Allah), karena memang kata dasar dari wali adalah ‘waliya-yawla’, yang berarti ‘dekat’.
Dalam tulisan ini, saya tertarik membahas sebuah pertanyaan; siapakah yang mempunyai otoritas atau mengklaim seseorang sebagai ‘wali’? Karena kalau ditilik dari segi kualitas ibadah atau iman dan taqwa seseorang, masih abstrak. Karenanya, walaupun derajat wali itu di bawah nabi, tetapi identitasnya jauh lebih misteri dibanding dengan nabi. Wajar jika ada sebuah kaidah mengatakan; ‘la ya’riful wali illal wali’, tidak ada yang tahu wali kecuali wali itu sendiri.
Mengenai penjagaan seorang wali, Allah Swt dalam sebuah hadis qudsi-Nya berfirman, “siapa yang memusuhi waliku, maka Aku telah menyatakan perang untuknya” (Man ‘adaa liy waliyyan faqad aadathu bi al-harbi). Di dalam QS. Yunus (10): 62 dicirikan, seorang wali adalah ia yang tidak punya rasa takut dan rasa sedih di hatinya. Dia selalu berada dalam garis pembelaan terhadap ajaran Allah, dengan cara membela makhluknya. Menistakan makhluknya, sama saja menistakan penciptanya. Tidak aneh jika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disebut sebagai seorang wali karena pembelaannya kepada nilai-nilai kemanusiaan tanpa rasa takut.
Bila melihat definisi al-Qur’an tersebut, wali tidak masuk kepada kategori orang-orang yang takut terhadap segala hal yang menimpa dirinya. Takut di penjara, takut hukum di negaranya, takut di sidang, takut jatuh miskin, takut tidak bisa menikah, takut sulit move on, dan kesedihan lainnya. Oleh karena itu, janganlah kita silau terhadap kehebohan seseorang yang kita anggap sebagai pembela agama, namun perilakunya bertentangan dengan ajaran agama.
Dalam sebuah kisah, ada seorang wali yang ia dikenal sebagai orang yang gila, pakaiannya compang-camping laiknya gelandangan. Namun ketika meninggal dunia, banyak khalayak yang berbondong-bondong mengantarkan kepergiannya. Atau, setelah 100 tahun kematiannya, makamnya baru ditemukan dan diziarahi banyak orang. Dalam hemat saya, katakanlah orang tersebut adalah gila dan hina dihadapan manusia, tetapi tidak dihadapan Allah Swt.
Poinnya adalah, walaupun dia gila, tetapi ia tidak pernah melukai hati saudaranya. Tidak pernah menghina dan mendzalimi sesama. Justru orang-orang yang seperti itu malah sering mendoakan kebaikan kepada saudara-saudaranya. Di pesantren, saya diajarkan, apabila melihat orang yang kelihatannya gila/tidak waras, para santri menyentil, “ojo dipoyoki sopo ngerti kui wali” “atine ditoto ojo dirasani sing ora-ora, iso wae dongone mandi”.
Dan saya pribadi justru menyangsikan, kalau ada orang yang kelihatannya paling depan dan berteriak paling keras soal bela agama, tetapi perilakunya malah jauh dari agama; menghina orang lain, menghujat, menghakimi sesat, kafir, dan lain sebagainya. Berat rasanya orang itu disebut sebagai waliyullah (kekasih Allah).
Imam Syafi’i dalam kitab A’lamus Sunnah Al-Manshurah hlm 193, beliau berkata, Apabila kalian melihat orang yang bisa berjalan di atas air atau terbang di atas udara, janganlah tertipu dengannya, sampai kalian mengetahui dia mengikuti amalan dan sunnah Rasulullah. Jika bertentangan dengan ajaran Rasul, maka dia adalah wali setan (temannya setan).
Saya sepakat dengan pendapat Imam Syafi’i tersebut, karena burung juga bisa terbang, katak pun bisa berjalan di atas air. Namun yang membedakan keduanya adalah amaliahnya. Banyak juga yang mengaku keturunan nabi, bahkan mengaku sebagai nabi, akan tetapi jika perilakunya melanggar syari’at agama, tentu harus di hukum. Tidak perlu dibela.
Pernyataan Imam Syafi’i di atas sangat menarik jika kita kaji kembali khususnya oleh generasi milenial, generasi yang lahir di saat banyak informasi hoax dan bermacam bentuk kepalsuan dan rekayasa (simulakra). Banyak orang yang kelihatannya hebat, bisa menggandakan uang, bisa menghilang, dan mempunyai pasukan ribuan di akun-akun media sosial. Kita tidak perlu terkejut, gumunan. Karena bisa jadi itu semua hanya tipuan mesin-mesin robot yang sengaja diciptakan untuk tampak memukau di depan mata, demi menipu orang yang melihatnya.
Di media sosial, kita tidak perlu menyanjung dan memuja seseorang sak sundul langit, jika ia melakukan kehebatan atau suatu kehebohan yang luar biasa. Dan kita juga tidak perlu menghina dan menista seseorang yang telah berbuat jahat atau dosa. Karena yang berbuat baik siapa tahu itu hanyalah kepalsuan. Dan yang berbuat buruk atau jahat, dia juga berpeluang menjadi orang yang baik.
Kita tentu pernah mendengar sebuah kisah dimana seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum kepada anjing yang kehausan, dan kita juga pernah mendengar keampuhan seorang ustadz Barseso, yang bisa terbang dan menghilang, namun diujung kematiannya, dia melakukan perbuatan yang melanggar syari’at Islam; minum khomr, berbuat zina, bahkan sampai membunuh saudaranya.
Wali (orang yang dekat dengan Allah) untuk saat ini, adalah dia yang bukan hanya duduk manis dalam ritus-ritus ibadah an sich. Sekarang juga ada wali digital (waliyuddigital). Dialah yang mengamalkan prinsip-prinsip kebaikan, tidak mudah mencemooh dan melakukan hujatan di media sosial. Sebaliknya, ada wali setan. Orang-orang yang menciptakan chaos, mengajak keburukan dengan cara menyebarkan fitnah serta ujaran kebencian, walaupun dengan topeng agama sekalipun.
Kita berhak menjadi follower dari akun yang kita anggap sebagai kekasih (baca: wali) di media sosial, karena itu hak kita secara personal. Namun perlu diingat, kita tidak pernah mendengar seorang wali, kekasih Allah, yang menyebarkan ajaran Islam dengan kekerasan dan mengumbar kebencian, serta menghujat dan memaki orang lain. Karena kekasih Allah tentu ia mendakwahkan ajaran yang sesuai dengan sifatnya yang rahman dan rahim, pengasih dan penyayang. Sementara wali setan, adalah sebaliknya.
Bisa jadi, yang kita maki-maki di media sosial adalah seorang yang mempunyai kedekatan tinggi di sisi-Nya, kita tidak tahu. Namun didalam hadis qudsi-Nya, Sang pemilik wali itu berpesan; Man ‘adaa liy waliyyan faqad aadathu bi al-harbi, “siapa yang memusuhi waliku, maka Aku telah menyatakan perang untuknya”. Membenci dan memerangi makhuknya, berarti sama halnya mengajak perang penciptanya. Lalu, bagaimana jika yang kita maki-maki di media sosial itu justru orang-orang yang selama ini dekat dengan-Nya? Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad An Nasher, penulis bisa disapa diakun twitter @autad