Walaupun Hadis Keutamaan Rajab Ada yang Palsu, Tapi Bukan Berati Tidak Ada Keutamaannya, Ini Penjelasannya

Walaupun Hadis Keutamaan Rajab Ada yang Palsu, Tapi Bukan Berati Tidak Ada Keutamaannya, Ini Penjelasannya

Walaupun Hadis Keutamaan Rajab Ada yang Palsu, Tapi Bukan Berati Tidak Ada Keutamaannya, Ini Penjelasannya

Saat datang bulan Rajab pro-kontra tentang keberadaan keutamaan bulan Rajab dan ibadah di dalamnya senantiasa mencuat. Masyarakat muslim yang memiliki kemampuan membaca karya-karya ulama yang berbahasa Arab, selayak tidak ikut-ikutan melakukan pro-kontra tanpa menyempatkan mempelajari karya-karya ulama yang secara khusus membahas tentang hadis-hadis keutamaan puasa Rajab.

Membaca karya ulama yang membahas hadis keutamaan bulan Rajab, setidaknya akan membuat tahu bahwa meski keseluruhan hadis yang menerangkan keutamaan bulan Rajab itu lemah dan bahkan ada yang palsu, mereka tidak memilih meninggalkan semacam puasa Rajab sama sekali. Tapi, mereka juga tidak lalai mengingatkan agar tidak memakai hadis-hadis palsu dalam menyebarkan pesan kebaikan agar meningkatkan ibadah di bulan Rajab.

Tulisan ini akan mencoba mendokumentasikan karya-karya ulama yang membahas secara khusus, baik hadis tentang keutamaan bulan Rajab maupun wirid khusus yang dapat dibaca disaat bulan Rajab.

Pertama, Tabyinul Ajab Bima Warada fi Fadli Rajab karya Abil Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani. Lahir di kisaran tahun 773 H atau 1372 M, dan wafat tahun 852 H atau 1449 M. Kitab ini mengulas sekilas tentang nama-nama bulan Rajab, tentang keutamaan bulan Rajab, tentang hadis-hadis yang menerangkan keutamaan dimana terbagi pada yang tergolong dhaif serta maudhu’, dan ulasan panjang lebar mengenai hadis larangan berpuasa di bulan Rajab.

Dalam kitab ini, Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadis tentang keutamaan bulan Rajab terdiri dari dua macam, yaitu hadis lemah dan palsu. Tapi, perihal larangan larangan puasa di bulan Rajab bagi orang yang meyakini bahwa puasa di bulan Rajab lebih utama dibanding bulan lain, Ibnu Hajar tidak bisa dengan tegas memutuskaannya dan menyatakan itu perlu kajian mendalam.

Kedua, Fadhailu Syahri Rajab karya Abi Muhammad al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hasan al-Khalal (352-439 H). Kitab ini hanya sebatas mendokumentasikan hadis-hadis tentang keutamaan bulan Rajab besertaan rentetan rawinya. Tanpa menyatakan status hadisnya maupun terkait hukum puasa atau shalat di bulan Rajab.

Ketiga, al-Adab fi Rajab karya Ali ibn Sulthan Muhammad al-Qari wafat tahun 1014 H. Kitab ini lebih beragam dalam mengulas berbagai permasalahan tentang bulan Rajab dan berbagai ibadah di dalamnya. Tidak terfokus pada hadis-hadis tentang keutamaan bulan Rajab saja.

Kitab ini mengulas antara lain keutamaan bulan Rajab, tentang salat Rajab, puasa Rajab, umrah di bulan Rajab, bid’ah di bulan Rajab, serta istighfar di bulan Rajab. Salah satu pendapat Ali ibn Sulthan dalam kitab ini adalah, meski hadis-hadis tentang keutamaan bulan Rajab itu dhaif, tapi banyaknya riwayat telah menguatkan satu sama lain.

Keempat, Tuhfatul Ikhwanfi Qiraatil Mi’ad Fi Rajab, Wa Sya’bana Wa Ramadhana karya Syihabuddin Ahmad Al-Hijazi Al-Fasyni. Kitab ini tidak terkhusus membahas soal bulan Rajab.

Kelima, Dhaus Siraj Fi Fadli Rajab Wa Qissatil Mi’raj karya Muhammad Amin Kurdi. Dalam kitab ini diungkapkan bahwa meski hadis-hadis tentang bulan Rajab itu dhaif, tapi tidak selayaknya untuk disepelekan bahkan ditinggalkan.

Keenam, Istighfar Syahru Rajab Al-Mubarak karya Habib Hasan Ibn Abdullah Al-Hadad. Kitab ini hanya berisi amalan-amalan dzikir yang dianjurkan di baca pada bulan Rajab.

Ketujuh, Adau Ma Wajab Min Bayani Wad’il Waddain Fi Rajab karya Abul Khattab Umar Ibn Hasan Atau Ibn Dahyah Al-Kalbi (546-633 H). Kitab ini secara panjang lebar mengungkap adanya hadis palsu mengenai keutamaan bulan Rajab.

Selain ketujuh kitab di atas, masih banyak lagi kitab-kitab lain yang membahas panjang lebar soal keutamaan bulan Rajab. Entah itu berupa dokumentasi hadis, atau pemahaman-pemahaman perihal keutamaan atau keabsahan ibadah di bulan Rajab. Ada sekitar 20-an karya dengan memasukkan karya-karya di atas.

Yang amat merepotkan pembaca karya-karya di atas adalah, banyak di antara pentahqiq (peneliti karya-karya tersebut sebelum kemudian dicetak) yang secara pribadi ikut berkomentar mengenai nilai hadis yang diriwayatkan meski mereka tahu bahwa itu bukan kapasitas mereka. Bahkan tak jarang menampakkan sentimen kepada kalangan muslim yang memandang bahwa hadis keutamaan bulan Rajab masih dapat diamalkan sebab sebatas berstatus dhaif.