Seng jenenge menungso iku seneng nek diuwongno. (yang namanya manusia itu suka kalau dimanusiakan), demikian penggalan kalimat yang saya quote dari Bapak saya.
Konteks pembicaraan yang beliau utarakan pada waktu itu adalah soal pembagian imam sholat di mushola, siapa saja yang berhak ngimami. Sebagaimana kita tingal, di mana pun berada, pasti ada saja orang-orang yang pengen tampil di depan, terlihat menonjol, alias butuh panggung. Biar tidak terjadi pertikaian maka harus diatur. Dikasih jatah ngimami. Menungso iku seneng nek diuwongke.
Saya kemudian terbayang, bagaimana negara Indonesia yang terdiri dari beragam suku, keyakinan, ras, dan agama. Di mana masing-masing manusianya itu membutuhkan panggung. Pengen menampilkan ke’aku’annya. Kelompoknya harus yang paling menonjol di depan.
Saya tiba-tiba berfikir pada masa di mana para pendiri bangsa ini dalam menetapkan pondasi negara Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial kemasyarakatan di Indonesia. Bagaimana para pendiri bangsa ini memanusiakan semua? Tanpa mengunggulkan kelompok manapun. Semua setara dan diakui keberadaannya. Yang islam diakui keislamannya, yang hindu diakui kehinduannya, yang kristen diakui kekristenannya, begitu seterusnya.
Khususnya Islam sebagai agama mayoritas, yang mendiami lebih dari 15.000 pulau, 250 lokal bahasa, dengan total penduduk 212.000.000 jiwa, dengan populasi muslim 87%, sering dihadapkan pada persoalan konseptual keagamaan. Bagaimana para pendahulu mengaturnya, hingga semua bisa mendapatkan hak-haknya.
Sebagai mayoritas, tentu para pendiri yang beragama Islam bisa saja menang-menangan. Tidak perlu mengganti redaksi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluknya”, dalam Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang lebih universal, yang bisa mengakomodir semua kepentingan. Tidak hanya Islam an sich.
Inilah uniknya para pendahulu kita. Mereka bisa bersikap legowo, nguwongke, menghargai semua elemen dan kepentingan. Tanpa harus mengunggulkan kelompoknya. Kalau mau, Indonesia sudah lebih dahulu menjadi negara Islam atau negara bersyari’atkan Islam. Namun para pendiri bangsa menyadari bahwa syariat Islam tidak perlu dibuat undang-undang. Syariat Islam dapat diterapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tanpa harus diformalkan menjadi hukum positif dan tanpa harus diayomi dalam bentuk sebuah negara yang berdasarkan Islam (Nasaruddin Umar: 2014).
Dari poin ini, saya bisa menangkap bahwa para pendiri bangsa kita ternyata unik dalam memanusiakan manusia. Mereka memberi kesempatan semua elemen untuk mengembangkan keyakinannya. Karena Indonesia tidak hanya dimiliki oleh satu golongan atau keyakinan tertentu, Indonesia milik semua.
Namun, apa yang terjadi saat ini, ketika agama justru sering menjadi alat untuk bertikai. Beda pilihan politik, rusuh. Beda golongan, marah. Beda pendapat, baper.
Kembali Menjadi Manusia Indonesia
Belakangan ini viral video yel-yel Islam-Islam Yes, Kafir-Kafir No! di SDN Timuran Yogyakarta. Sedari kecil anak-anak sudah diajari untuk membenci yang berbeda. Dari yel-yel saja anak-anak dibentuk untuk menjadi pribadi yang mengekslusi yang lain, menciptakan sekat kepada yang lain, yang berbeda dengannya.
Saya sepakat dengan pernyataan Doktor Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman dengan tema Bhinneka Tunggal Ika, beliau menyatakan bahwa dulu zaman Orde Baru, semuanya mau diseragamkan, fokusnya pada “Ika”nya. Apapun perintah atasan, harus sendiko dawuh. Kalau tidak mengikuti, akan lenyap. Setelah itu, ganti era Reformasi, dan lahirlah kebinekaan. Lahir bermacam-macam budaya, muncul banyak kelompok dan aliran. Namun, sekarang ini kita kehilangan “Ika”nya. Kebersamaannya hilang. Persatuannya tidak ada.
Menjadi manusia Indonesia, hemat saya, harus utuh memahami prinsip dan nilai dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kalau kata Gus Dur, yang sama jangan dibeda-bedakan dan yang beda jangan disama-samakan. Semuanya setara, baik dihadapan hukum maupun undang-undang. Karena di negara demokrasi tidak ada lagi istilah kafir. Bahkan, al-Qur’an sendiri menyebut orang Kristen dan Yahudi tidak dengan sebutan kafir, tetapi ahl kitab.
Menjadi manusia Indonesia, kita harus menyadari bahwa ada orang lain yang berbeda dengan kita, dan itu jumlahnya banyak, berlipat ganda. Kita hormati, kita hargai, dan jalin kerukunan kepada semuanya. Menungso iku seneng nek diuwongno. Coba kita belajar memahami itu saja, dahulu para nabi juga sama, belajar menjadi manusia dengan cara memanusiakan manusia. Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad An Nasher, penulis adalah penghuni akun twitter @autad.