Di tengah hiruk pikuk kecemasan publik terhadap semakin melambungnya statistik pasien positif virus Corona (Covid-19), kepiluan kita semakin meluap-luap dengan adanya sekian tenaga medis yang gugur di tengah perang melawan pandemi ini.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan bahwa tidak sedikit dokter yang meninggal karena terpapar Corona. Dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan juga melaporkan ada satu perawat di Jakarta yang meninggal sebab terpapar Corona dari pasien.
Kepiluan kita atas gugurnya pahlawan medis tersebut ditambah dengan berbagai cerita sedih dari para tenaga medis bahwa fasilitas kesehatan kita amat seadanya dalam upaya perang besar melawan pandemi ini. Di sana-sini banyak tenaga medis mengalami kekurangan alat perlindungan diri (APD), sehingga mereka menjadi rawan tertular Corona dari pasien.
Di tengah hantaman pandemi Corona ini, tenaga medis menjadi bagian vital dan garda depan dalam upaya perang melawan Corona. Di saat masyarakat awam dianjurkan untuk melakukan jaga jarak dan di rumah saja (physical distancing) untuk menjauhkan diri dari Corona, tenaga medis (dokter maupun perawat) justru tak punya pilihan lain kecuali basah-kuyup berjibaku dengan para pasien positif Corona.
Sangat mungkin jika mereka turut terpapar pandemik ini, mengingat bejibun keterbatasan akomodasi operasional yang ada. Tenaga medis harus hadir di sana, bersama pasien, yang sekaligus bersama dengan pandemi. Mereka hadir di sana untuk menemani pasien dan berupaya untuk menyembuhkannya dari pandemi ini.
Di media sosial tersebar banyak foto dan video yang menceritakan bahwa para tenaga medis dengan memakai alat perlindungan diri (APD), dalam seharian penuh harus bekerja untuk menangani pasien Corona yang kian hari semakin membludak. Bahkan ada foto yang menampakkan bahwa para tenaga medis harus tidur di Rumah Sakit, sebab tak bisa pulang ke rumah karena dikhawatirkan akan menulari keluarga.
Ada foto yang sangat menyulut empati dari banyak netizen tentang salah satu dokter yang gugur. Si dokter yang relatif cukup muda tersebut sebelum meninggal sempat mengunjungi anak dan istrinya dari luar pagar rumah. Si dokter tidak bisa bercengkrama dengan keluarga sebab ia telah terinfeksi virus Corona.
Dan, ya, dokter itu akhirnya mangkat. Ia meninggalkan istri dan dua puteri kecilnya. Kisah kepahlawanan si dokter tersebut tentu saja amat menyita empati kita, di luar sana, di berbagai rumah sakit, para tenaga medis berjibaku melawan pandemi Corona dengan resiko besar kehilangan nyawa.
Kisah perjuangan para tenaga medis ini mengingatkan saya kepada sosok dokter Bernard Rieux dalam novel Sampar (La Peste) besutan filusuf Albert Camus. Novel Sampar mengisahkan perihal pandemi Sampar/Pes yang menghantam kota Oran di Aljazair tahun 1940-an.
Suasana merebaknya pandemi Sampar di kota Oran mirip-mirip dengan situasi yang kini sedang kita alami. Di awal kemunculan Sampar, para penguasa dan penduduk kebanyakan tak begitu yakin dengan kedatangan tamu yang tak diundang tersebut. Mereka tetap beraktivitas sebagaimana normalnya, tetap berkantor dan liburan di akhir pekan.
Namun, berbeda dengan kebanyakan sikap penduduk yang pura-pura tidak menyadari kehadiran pandemi tersebut, dokter Bernard Rieux, tokoh utama dalam novel Albert Camus tersebut memiliki kepekaan akan datangnya bencana besar non alam tersebut.
Nampaknya profesinya Rieux sebagai dokter memiliki kepekaan yang lebih baik dibandingkan kebanyakan penduduk. Rieux risau dengan munculnya beberapa pasiennya yang memiliki gejala penyakit yang tak biasa; selangkangan, leher dan ketiak bengkak-bengkak.
Sejak awal kemunculan gejala-gejala Sampar tersebut, Rieux sudah gelisah dan terus bekerja menyelamatkan pasien-paseiennya. Ia sejak dari pagi sudah berkeliling ke satu rumah menuju ke rumah pasien lainnya. Kemudian, setelah itu Rieux harus ke rumah sakit hingga larut malam. Semuanya ia kerjakan semata-mata karena merasakan betul bagaimana kesengsaraan yang dialami pasien dalam berjibaku melawan pandemi itu.
Situasi yang sama agaknya dialami oleh tenaga medis kita dalam menangani pasien pandemi Corona saat ini. Bayangkan saja, mereka berhari-hari terus bekerja di rumah sakit, sedangkan jumlah pasien terus mengalami peningkatan, bahkan hingga kapasitas rumah sakit mulai sesak dan tak mencukupi.
Mereka sadar pekerjaan ini laksana menantang maut, bahkan garis antara hidup dan mati adalah sangat tipis, semuanya tergantung bagaimana ketahanan tubuh dan kelengkapan peralatan medis yang bisa menyelamatkannya dari virus yang menginfeksi pasiennya. Dan sialnya, fasilitas kesehatan yang tersedia ternyata tak memadai untuk menjamin nyawa mereka.
Tapi mau bagaimana lagi! Mereka mengerti pekerjaannya sangat dekat dengan maut. Namun, nalurinya sebagai petugas medis yang setiap hari dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana pasien merasa kesakitan dalam berjibaku melawan virus, nurani mereka tak bisa meninggalkan pasien. Mereka harus tetap terus bekerja, berperang menantang maut.
Dalam sebuah ibarat, situasi mereka untuk tetap menempuh jalan terjal bersama pasien tergambar dalam apa yang dikatakan Rieux ketika ditanyakan oleh temannya “Siapa yang mengajarkan itu semua kepada Anda dokter?”
“Kesengsaraan.” Jawab Rieux.
Ya, tentu saja, kesengsaraan pasien dalam menghadapai maut setiap harinya adalah alasan paling masuk akal buat memantik naluri dokteriyah ini. Maka dari itu, sebagaimana dokter Rieux, para petugas medis kita juga mengalami situasi serupa. Kesengsaraan pasien-lah yang menggerakkan perjuangan mereka.
Akhir kalam, teruntuk para pejuang kemanusiaan yang sedang bergelut dengan maut, marilah kita langitkkan dan haturkan hormat yang setinggi-tingginya atas jasa dan sikap-sikap patriotik mereka, baik yang telah gugur maupun yang kini sedang berjuang di rumah sakit.
BACA JUGA Status Korban Meninggal Corona ATAU Artikel-artikel tentang virus Corona lainnya