Belum lama ini Ustadz Hanan Attaki menyita perhatian karena salah satu materi dakwah yang ia sampaikan. Ia menyatakan, ciri perempuan salehah adalah memiliki berat tidak lebih dari 55 kg. Meskipun diniatkan sebagai kelakar, tak ayal pernyataan itu bikin baper beberapa pihak. Salah satu tulisan di portal ini berjudul Ustadz Hanan Attaki dan Berat Badan Para Istri Rasul: Kritik Matan Hadis dengan baik “membantah” pernyataan Ustadz yang berdomisil di Bandung terkait hadis yang ia gunakan tersebut.
Seorang teman saya berkomentar: alangkah lebih baik kalau berdakwah tidak “main fisik” deh, kalau ada yang tersinggung kan repot. Apalagi ini menyangkut kriteria kesalehan, harusnya tidak asal dalam mengupas hadis. Lagipula, logika yang dibangun memang bengkok. Hanan Attaki seperti mengatakan: ciri perempuan cantik adalah berkulit putih. Pernyataan itu tentu sangat mungkin dan bisa didebat. Sebagaimana mungkinnya kita mendebat logika ciri perempuan salehah adalah berberat badan 55 kg.
Kesalehan dalam Islam, kita tahu, bukan urusan fisik. Mereka yang berbadan kurus, sedang atau gendut, bisa menjadi saleh. Kesalehan sejatinya mewujud dalam akhlak seseorang sehari-hari. Yang sering disoroti dari tema kesalehan adalah justru soal kesalehan personal dan kesalehan sosial. Hari ini, sejumlah orang mengeluhkan: banyak yang sibuk membangun kesalehan personal sampai lupa kesalehan sosial. Misalnya, setiap hari rajin salat di masjid dan membaca Alquran tapi mulutnya begitu ringan mencaci maki umat agama lain.
Sesungguhnya dai adalah profesi yang sangat karib dengan lisan. Sering kita mendengar nasihat: keselamatan insan ada pada kemampuan menjaga lisan. Telah banyak kita saksikan orang-orang “besar” tumbang karena lisan. Maka berhati-hati memilih pesan dakwah mutlak mesti dilakukan dai. Manusia jauh dari kesempurnaan, lidah bisa saja bisa keseleo atau terpeleset. Lepas dari itu, terus memperbarui dan menambah pengetahuan wajib dilakukan seorang dai. Sebab, kata-kata yang keluar dari mulut adalah cermin isi kepala.
Sebagaimana profesi lain, seorang dai mesti menaati kode etik yang berlaku. Dalam dakwah, Menurut Guru Besar Ilmu Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya, Profesor. Moh. Ali Aziz, terdapat sejumlah kode etik yang wajib dipatuhi: tidak memisahkan ucapan dan perbuatan, tidak menghina sesembahan non muslim, tidak melakukan diskriminasi, tidak memungut imbalan, dan tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.
Selain itu, dakwah juga memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dasar dan acuan. Di antara prinsip-prinsip itu: mencari titik temu, menggembirakan sebelum menakuti, memudahkan tidak mempersulit, memperhatikan tahapan beban dan hukum, memperhatikan psikologis mad’u, tidak mengkafirkan sesama muslim, tidak menghakimi.
Kode etik dan prinsip dakwah di atas adalah serupa rambu-rambu bagi pengguna jalan. Sederhana saja, jika ingin selamat di jalan patuhi rambu-rambu lalu lintas. Begitu juga dalam berdakwah, jika ingin selamat patuhilah kode etik dakwah dan pegang erat prinsip-prinsipnya. Sering kali, karena terlalu menggebu, para dai sering lupa kode etik dan bahkan sengaja melanggar. Hal tersebut tentu kontraproduktif dengan kerja-kerja dakwah selama ini.
Ustadz Hanan Attaki mestinya paham betul kode etik itu. Mengingat ia cukup lama bergelut di dunia dakwah dan memiliki banyak “penggemar”.
Baca juga: Mengapa Ustadz Hanan Attaki Digemari Remaja dan Pemuda Islam?
Saya ingat, ketika mengajar di kelas, saya bertanya kepada para mahasiswa siapa-ustad-yang-kalian-follow-di-media-sosial? Nama Ustadz Hanan Attaki adalah sosok yang paling banyak disebut. Ketika saya tanya alasannya, mereka menjawab, Ustadz Hanan Attaki kerap membawakan tema-tema kekinian dengan bahasa yang “gue banget nih”. Salah satu tema dakwah yang ia garap adalah soal hijrah.
Kita, tentu saja, berharap Hanan Attaki tidak mengecewakan para follower-nya dan orang-orang yang berbondong-bondong datang ke kajiannya dengan membuat blunder-blunder yang tidak perlu. Juga semoga tema hijrah yang dia usung tidak menjadi tema musiman yang sekali-berarti-sudah-itu-mati.
Saya terpantik dengan status guru saya di media sosial, penulis dari Yogyakarta bernama Hairus Salim, begini: Apakah fitness center akan jadi ramai atau obat penurun berat badan jadi laris manis karena banyak wanita panik dan takut tidak termasuk wanita yang salehah hanya karena berat badannya melebihi 55kg? Tiba-tiba seorang ustaz menjelma sebagai bagian promosi fitness center, obat pelangsing, dan jasa sedot lemak. Bercandanya ruarrrr biasa sekali!
Ah, ada-saja Ustadz muda satu ini…