“Ada 2jt kecebong. Setelah saya survei ternyata hanya lima yang goblok. Dan sisanya, semuanya dungu! Begitu saya upload, ada yang baper. Padahal kan yang saya sebut adalah kecebong. Kecebong kan binatang. Harusnya yang komplain yang marah itu binatang bukan ente”
Itu tadi, kurang lebih ceramah singkat dari Ustaz Ahmad Al-Habsyi (AAH) yang diunggah di salah satu laman media sosialnya. Terus terang saya tidak setuju. Sebelum Anda lanjut, tolong bedakan antara tidak setuju dan baper.
Ya, mula-mula tentang kecebong itu sendiri. Memang, “kecebong” secara lughowiyah adalah binatang. Tetapi secara istilahan, bil khusus konteks media sosial Indonesia pasca-Pilpres 2014, “kecebong” telah mengalami pergeseran makna.
Diakui tidak diakui, jagad perpolitikan kita hari ini sangatlah hitam-putih. Kalo tidak Prabowo ya Jokowi. Kalau tidak kampret ya cebong. Sementara, efek yang dihasilkan pun menjadi sungguh luar biasa binalnya. Cebong memaki kampret, sedang kampret memaki cebong. Beruntung, belakangan ada poros tiga yang berupaya merawat agar nalar sehat kita tetap terjaga: Paslon Nurhadi-Aldo atau disingkat Dildo.
Lalu, pada saat AAH menyebut cebong dalam videonya itu, cebong yang mana? Lughowiyah-kah? Istilahan-kah? Di titik definitif ini saja AAH sudah tidak jujur, atau tidak konsisten.
Oleh sebab itu, saya kemudian meragukan ketika dia dengan sangat heroik mengutip Sabda Nabi sebagai legitimasi atas perolok-olokan. Begini kira-kira kalimat AAH:
“Ada yang bilang Nabi SAW nggak pernah kasar. Siapa bilang? Ada Hadis lho. Nabi pernah memanggil suku khawarij dengan apa? “kilab al-nar”, anjing-anjing neraka! Ada saatnya kita boleh lembut, ada saatnya kita tegas, ada saatnya kita boleh kasar kepada orang-orang yang nggak tahu malu di hadapan Allah”
Well. Di zaman Nabi, golongan Nabi betul-betul baik, sedang golongan yang berlawanan dengan Nabi, betul-betul jahat. Di zaman sekarang, keduanya sangatlah samar. Golongan kita, antara baik-jahat. Sedangkan golongan lawan pun antara baik-jahat.
Bukankah konstelasi spiritualnya saja sudah lain? Bukankah secara material, sebagian atau bahkan kita sendiri juga terkadang telah “kafir”, walaupun formalnya tetap Muslim? Kembalikanlah pada konstelasi di zaman Nabi, baru kita berhak menggunakan ayat atau Sabda tersebut. Sekarang, kita tidak berhak.
Menyadur Ahmad Wahib dalam Catatan Hariannya, andaikata Kanjeng Nabi Muhammad datang lagi ke dunia sekarang, lalu menyaksikan bagian-bagian modern serta melihat pikiran-pikiran manusia yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara sabda-sabda beliau yang sekarang ini dipahami secara apa adanya oleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut oleh Nabi dari peredaran dan diganti dengan Hadis-hadis baru.
Sebelum ada menuduh saya liberal, PKI atau apalah itu asal jangan PKS, semoga antum berkenan menyimak penjelasan ini. Kanjeng Nabi Muhammad menerima wahyu dan mendakwahkan Islam medio abad ke-6 Masehi. Pada masa itu, peradaban Timur Tengah sedang bergejolak, menuju ambang batas kehancuran (jahili). Lalu, hadirlah Alquran melalui Nabi Muhammad berikut Sabda dan laku teladan beliau untuk membimbing manusia yang mau dibimbing menuju pencerahan.
Memang, ajaran Alquran itu salih li kulli zaman wa makan. Abadi. Saya pun meyakininya. Tetapi, bukan berati pula kita lantas melupakan konteks sosial dan kultural pewahyuan. Sebab ia sangatlah penting dipahami oleh siapapun yang ingin menerapkan aturan dan ajaran Alquran. Apalagi mengingat kita hari ini berada di 2019 atau abad ke-21. Jelas, ada jurang peradaban yang sangat jauh antara kita dengan zaman Nabi atau Sahabat.
Tentu saja, banyak tingkatan konteks pemahaman yang diperlukan untuk menarik makna dari sebuah teks, baik yang bersifat lisan maupun tulisan. Bukan saja nama tertentu, tetapi juga kata-kata yang bersifat umum perlu dipahami berdasarkan konteks historis dan kulturalnya.
Kata qawaa’id, umpamanya, digunakan bahasa Arab modern dalam pengertian “pilar” atau “dasar”. Makna ini kurang lebih dapat diterapkan pada ayat 26 surah al-Nahl. Akan tetapi, kedua makna itu kiranya kurang selaras jika diterapkan untuk ayat 60 surah al-Nur, yang kata “qawa’id” bermakna “perempuan tua”.
Perubahan makna ini akan kita ketahui, tentu saja setelah lebih dulu mendekati Alquran dengan pisau historis-linguitik atas istilah tersebut. Karenanya saya rasa, semakin kita menyelami Alquran, semakin kita tahu bahwa kitab suci itu sangatlah kompleks. Demikian halnya dengan Hadis atau Sabda Nabi.
Pendek kata, saya sangat tidak setuju dengan cara-cara orang yang menafsir Alquran atau mengutip Sabda Nabi, sedang pada saat yang sama kurang melihat semangat zaman waktu turunnya ayat atau sebab-sebab Nabi bersabda.
Sungguh betapapun itu, sangatlah naif melakukan pemerkosaan ayat-ayat Alquran atau Hadis Nabi yang sekarang ini ramai-ramai dipakai untuk kepentingan politik. Lagian, kalau ente mau konsisten, tidak ada Pemilu tuh dalam Alquran. Juga dalam teks suci agama apapun. Lalu, ngapain antum musti repot-repot kampanye gonta-ganti? Bukan begitu, Pak Ustaz?