Untuk Apa Berdoa Jika Semua Sudah Ditetapkan Allah SWT?

Untuk Apa Berdoa Jika Semua Sudah Ditetapkan Allah SWT?

Untuk apa berdoa? Bukankah Allah sudah menetapkan semua kehendak-Nya untuk kita?

Untuk Apa Berdoa Jika Semua Sudah Ditetapkan Allah SWT?

Kenapa kita mesti berdoa? Bukankah Allah memiliki kehendak sendiri terhadap apa pun yang terjadi pada hamba-Nya? Apakah hal ini menandakan Allah tidak punya kuasa dalam hal mengabulkan doa? Tanpa kita berdoa pun, Allah jelas sudah punya rencana, kan? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah, yang berkeliaran dalam benak saya ketika berpikir tentang “doa”.

Seperti biasa, ketika hati sudah mulai terasa kosong dari asupan ruhani, secara sadar saya akan membuka kanal Youtube Ngaji Filsafat, MJS Channel, Sinau Filsafat, atau sejenisnya, yang membahas berbagai topik, utamanya soal filsafat kehidupan yang amat saya butuhkan.

Pada salah satu episode di kanal Youtube MJS Channel, Fahruddin Faiz—yang memang salah seorang figur favorit saya sejak zaman kuliah—membahas tentang “Doa”. Isi kuliahnya padat, kaya makna, dan mudah dipahami. Membuat saya menganggukkan kepala berkali-kali karena teramat banyak hal yang baru disadari.

Seketika, muncullah pikiran-pikiran agak polos nan liar dalam isi kepala saya semacam ini, Allah sudah menggariskan hidup si A begini, B begini. Kita hanya sebagai pemeran dalam skenario mahadasyat kepunyaan Dzat yang tak tertandingi. Bila kita seorang pendosa, bukankah sudah jelas bahwa berdoa pun percuma? Wong tiap hari maksiat tanpa melakukan ketaatan apa pun pada-Nya.

Lalu, bagi hamba yang merasa paling taat, bukankah dia juga tidak perlu berdoa, karena Allah sudah pasti akan memberikan jalan hidup yang baik baginya? Ketika tersadar kembali, saya pun membalikkan logika sendiri. Ini jelas blunder. Bisa berbahaya kalau keyakinan semacam ini mengakar dalam sanubari, apalagi disebarluaskan sekehendak hati.

“Prayer does not change God, but it changes him who prays.” —Soren Kierkegaard

Allah mempunyai sifat Qudrat dan Iradat, punya kuasa dan kehendak yang tidak bisa diintervensi hamba-Nya. Qudrat dan Iradat Allah yang bersifat transenden itu, jelas tak terjangkau oleh manusia. Kata Soren Kierkegaard, berdoa bukan berarti mengubah pendirian Allah. Doa justru mengubah orang yang berdoa. Menyadarkan seorang hamba bahwa dia lemah ketika berhadapan dengan Sang Pencipta.

Menurut Fahruddin Faiz, pada hakikatnya, semua yang terjadi adalah skenario Allah. Kita berdoa meminta sesuatu, Allah-lah yang menggerakkan hati kita untuk meminta sesuatu itu. Allah memberi kita berbagai pilihan dengan konsekuensi masing-masing. Pengetahuan Allah itu tentu berbeda dengan pengetahuan manusia.

Sebelum manusia diciptakan, hal-hal substansial jelas sudah Allah tentukan ketika Dia meniupkan ruh. Sebagaimana dalam salah satu hadis:

Dari Abdullah bin Mas‘ud r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya proses penciptaan setiap orang dari kalian dalam perut ibunya selama 40 hari, berupa segumpal air mani. Selanjutnya, ia berubah menjadi segumpal darah dalam masa yang sama. Kemudian, ia berubah menjadi segumpal daging dalam masa yang sama pula. Lalu, Allah mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya, di samping diperintahkan untuk menuliskan empat perkara, yakni  rezeki, ajal, perilaku, dan celaka atau bahagianya.” (HR Bukhari-Muslim)

Mungkin inilah yang menyebabkan masih ada di antara kita yang menyangsikan kekuatan doa. Merasa yakin bahwa segala sesuatunya telah ditentukan Allah, membuat sebagian dari kita abai dan menjalani hidup serba-apa adanya. Hiduplah seperti air yang mengalir. Mengikuti arus. Tanpa doa, apalagi usaha. Mungkin seperti itulah jalan ninjanya.

Hal ini tentunya perlu kita renungkan bersama, terlebih, perintah berdoa sudah ditegaskan jauh-jauh hari dalam kalam-Nya:

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghaafir [40]: 60)

Menolak naif, kita sebagai manusia biasa, tentunya selalu tak bisa lepas dari pengharapan. Selalu saja merasa butuh dan tidak pernah merasa cukup dengan yang dimiliki. Lantas, apa yang hendak kita sombongkan jika hidup saja masih penuh pengharapan, entah pada Dia atau pada semesta, yang barangkali sudah kita yakini bahwa energi-Nya mampu mengubah banyak hal.

Prayer is not asking. It is a longing of the soul. It is daily admission of one’s weakness. It is better in prayer to have a heart without word than words without heart.“—M. K. Gandhi.

Fahruddin Faiz juga mengingatkan sebuah ungkapan dari Gandhi, bahwa hakikat berdoa bukanlah semata-mata meminta. Ia adalah sebuah kerinduan jiwa dan pengakuan setiap hari akan kelemahan si pendoa. Lebih baik berdoa dengan menghadirkan hati meski tanpa kata, dibandingkan dengan berkata-kata tapi tanpa menghadirkan hati, alias menjadikan doa sebagai ritual formalitas belaka.

Doa juga sebenarnya memperjelas kedudukan kita sebagai hamba dan Allah sebagai Pencipta. Imam Ibnu Atha’illah berkata, “Hendaknya permintanmu semata-mata untuk menunjukkan kehambaanmu dan menunaikan kewajiban terhadap kemuliaan Tuhanmu.”

Segala sesuatu yang terjadi, baik dengan perantara doa atau tidak, adalah skenario Allah Swt. Allah memberikan manusia berbagai alternatif untuk menuju kesempurnaan diri, tetapi perihal perspektif, mana yang terbaik untuk diri kita, Allah sudah lebih tahu dan Maha Menentukan. Dengan doa pula, Allah membuka pengetahuan kita tentang itu.

Bagi saya pribadi, mengawali sesuatu dengan doa dan tidak dengan doa, tentu berbeda rasanya. Doa mampu memperkuat iman, yang muaranya akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bersandar. Doa juga sebagai bentuk kedekatan dan perhatian Allah, sebab manusia akan merasa Allah tahu kebutuhannya dan diperhatikan oleh-Nya.

Doa merupakan wujud eksistensi seorang Muslim sebagai hamba yang selalu merasa bergantung pada Allah. Merasa amat membutuhkan Allah. Sebagaimana sutradara, Allah harus dan selalu terlibat dalam menentukan peran kehidupan pemerannya.

Jangan sampai kita angkuh dan seakan tak butuh. Pun jangan pula acuh tak acuh dengan menganggap bahwa Allah akan memberikan kebaikan dan kebahagiaan tanpa diminta, selama hamba-Nya patuh pada segala perintah dan larangan-Nya. Jangan. Kita butuh doa. Butuh Allah.

Mari jadikan doa sebagai penyemangat dalam menjalani rutinitas kita –yang cukup melelahkan ini. Langitkan jutaan harapan hanya pada Dia yang Maha Mengabulkan. Karena tanpa doa, hidup seakan tak bernyawa. Tanpa Allah, kita bukan siapa-siapa. (AN)

Wallaahu a‘lam bish-shawaab