Akhir-akhir ini umat Islam Indonesia begitu hiruk-pikuk membicarakan tentang surga. Mereka bahkan mengklaim sebagai satu-satunya penghuni surga, sementara umat lain (baik umat agama maupun bukan) diyakini nyungsep ke neraka.
Padahal, umat Islam itu tidak memiliki “surga”. Bagaimana mereka bisa memasuki surga yang bukan miliknya? Mereka mengambil “kunci” dari mana? Nyolong kunci atau tiket milik tetangga sebelah?
Konsep “surga” yang populer di Indonesia dan diklaim sebagai “properti umat Islam” itu sesungguhnya berasal dari tradisi agama-agama India, khususnya Hinduisme, Buddhisme, Jainisme, dan Sikhisme. Dari keempat agama ini, Hinduisme (kemudian disusul Buddhisme) yang paling kuat pemahaman tentang konsep surga ini.
Kata “surga” ini jelas sekali berasal atau diambil dari kata Sanskrit “svarga” atau “swarga” yang kemudian menjadi “svarg” dalam Bahasa Hindi (bahasa nasional India), yaitu “bahasa creole” dari Sanskrit dan Pali yang merupakan bagian dari “Bahasa Hindustan” yang menjadi lingua franca masyarakat di India utara dan Pakistan.
Dalam tradisi atau kosmologi Hindu (dan juga Buddha), konsep tentang “swarga/svarga” ini (disebut sebagai “Svarga Loka”) digambarkan sebagai “alam transisi” di atas Gunung Meru, tempat roh-roh baik bersemayam tetapi belum siap untuk “dibebaskan” atau “dimerdekakan”, reinkarnasi atau mencapai moksha dan menuju Vaikunta.
Dalam filosofi Hindu, svarga ini dijaga oleh Airavata. Dalam kosmologi Hindu, alam (loka) dibagi menjadi 8 dari yang terendah (Bhu Loka) sampai yang tertinggi (Goloka). Svarga (yang beribukota Amaravati) merupakan alam yang ketiga. Sementara itu umat Jainisme, menggunakan kata “Deva Loka” sebagai gambaran tentang “surga” dan “Narka Loka” untuk menyebut “alam neraka”.
Buddhisme juga menganggap “alam surga” sebagai “tempat temporer” dan bagian dari “samsara”. “Surga” bukanlah tujuan utama. Tujuan utamanya adalah “pencerahan” (nirwana).
Jadi jelaslah bahwa secara konseptual, surga itu properti milik Hindu dan juga Buddha, bukan umat Islam. Umat Islam tidak mengenal konsep “surga” dan karena itu kaum Muslim Arab juga tidak mengerti dan tidak mengenal “mahluk” yang bernama “surga”. Kaum Muslim Arab tentu saja tahunya “jannah” yang disebut dalam Al-Qur’an yang secara harfiyah bisa bermakna taman.
Nah, kata “surga” yang dipakai oleh umat Islam Indonesia ini adalah terjemahan dari “jannah” itu tadi yang sebetulnya secara konseptual dan filosofis sangat berbeda dengan konsep “svarga / swarga” dalam tradisi Hindu maupun Buddha, dan karena itu tidak tepat untuk dipakai sebagai terjemahan kata “jannah”. Karena dianggap berbeda secara filosofis dan konseptual itulah, maka umat Islam di Pakistan dan India tidak memakai kata “svarga/swarga”, melainkan “jannat” (Bahasa Urdu) sebagai terjemahan dari kata “jannah” dalam Al-Qur’an. Nah ini menarik, umat Islam India dan Pakistan saja tidak memakai kata “svarga/swarga”, umat Islam Indonesia kok malah heppiii memakainya? he he
Perlu juga diketahui bahwa konsep tentang “dunia paska kematian” ini (baik dalam bentuk semacam surga, neraka dan lainnya) bukan hanya dikenal dalam Islam (atau agama Semit lain) maupun agama-agama India saja.
Hampir semua tradisi agama dan masyarakat di dunia ini (masyarakat Mesopotamia kuno, Mesir kuno, Yunani kuno, China kuno dan seterusnya, termasuk berbagai agama di jagat raya ini) memiliki konsep, pandangan dan filosofi tentang “alam setelah kematian”, meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu kita tidak perlu saling mengklaim dan saling mengkapling “surga-neraka”.
Lalu, pandangan, ide, konsep, dan filosofi milik agama atau masyarakat mana yang benar benar benar tentang “dunia paska kematian” ini? Ya saya tidak tahu karena saya belum pernah melakukan penelitian dengan arwah-arwah, mewawancarai mayat-mayat hidup, atau melakukan riset etnografi dan ngobrol dengan rombongan pocong, untuk memberi kesaksian tentang “alam paska kematian” itu.
Yang penting selama hidup di dunia ini, kita tidak perlu memonopoli sebagai umat yang paling berhak masuk “svarga” atau “jannah” atau lainnya, sekaligus menghakimi umat lain sebagai penghuni naraka, nar, atau nama lainnya. Biarlah Tuhan kelak yang memutuskannya.
Demikian khotbah singkat ini. Semoga bermanfaat.
Jabal Dahran, Arabia.