Dalam sejarah, sejak awal mula munculnya agama Islam, perempuan memiliki tokoh-tokoh berpengaruh dan kapasitas keilmuan yang luar biasa. Sayyidah Khadijah, isteri Nabi Muhammad, adalah orang pertama yang secara umum mengimani kenabian kanjeng Nabi Muhammad. Selain Siti Khadijah, ummahatul mu’minin (ibu kaum mukmin) atau isteri-isteri Nabi yang lain juga tak kalah mentereng dalam soal keilmuan. Bunda siti Aisyah, salah satunya. Dalam bidang (periwayatan) hadis,beliau menempati posisi yang tinggi baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana perempuan-perempuan selepas masa sahabat? Adakah perempuan-perempuan yang menjadi rujukan dalam bidang keislaman? Tulisan singkat ini akan mencoba mengupas sejumlah tokoh perempuan dalam bidang ilmu keislaman yang namanya “tertimbun” oleh dominasi sejarah sarjana-sarjana dari kalangan laki-laki.
Dalam buku-buku biografi ulama, terutama buku-buku biografi periwayat hadis, terdapat sejumlah ulama-ulama perempuan yang memiliki kapasitas dan kredibilitas sebagai informan hadis. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya berjudul “Taqrib at-Tahdzib” menyebutkan lebih dari tiga ratus ahli hadis perempuan dari era sahabat, tabiin, dan setelahnya yang terpencar dan tercecer dalam kitab-kitab hadis kanonik (bac: kutub sittah). Dalam karyanya yang lain seperti “ad-Dur al-Kaminah”, Ibn Hajar lebih spesifik membahas ulama-ulama perempuan di abad 8 H. Baik ahli hadis maupun ahli ilmu keislaman lainnya.
Salah satu tokoh perempuan ahli hadis (muhadditsat) di abad ke 4 Hijriyah adalah Fathimah binti Abdirrahman bin Abi Shalih al-Harani (312 H). Ia belajar hadis kepada ayahnya dan ulama hadis lainnya. Ia juga menulis dan meriwayatkan hadis-hadis (untuk menelusuri lebih jauh, selengkapnya baca dalam Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, vol 14, hlm 441)
Pada abad selanjutnya (5 H), terdapat ulama hadis perempuan ternama seperti Aisyah binti Hasan bin Ibrahim (W. 446 H). Di abad 6 H muncul muhaddis perempuan bernama Ummu Habibah Dhawnah binti Abdul Aziz bin Musa (W.506 H).
Selain ulama perempuan ahli hadis yang disebutkan di atas. Ada sejumlah ulama kalangan perempuan ahli fikih. Syeikh Abdul Qadir Abdul Wafa al-Qurashi (W. 796-775 H) dalam kitabnya berjudul, “al-Jawahir al-Mudhiyyah fi Tarajum al-Hanafiyyah” (sebuah kitab biografi ulama-ulama madzhab hanafi), menuturkan biografi seorang perempuan ahli fikih (sekaligus mufti) bernama lengkap Fathimah binti Muhammad bin Ahmad as-Samarqandi. Beliau adalah isteri dari Syeikh Alauddin al-Kasani, seorang ulama terkemuka madzhab hanafi sekaligus penulis kitab Bada’i as-Shana’i’ (kitab fikih rujukan dalam madzhab Hanafi).
Fathimah belajar fikih langsung kepada ayahnya, Syeikh Muhammad bin Ahmad as-Samarqandi. Konon, sebelum ia menikah, sejumlah fatwa (dalam madzhab hanafi), diputuskan dan dikeluarkan dari rumahnya dengan “tandatangan” dari ayahnya dan fathimah. Setelah ia menikah, disamping tandatangan atas nama dirinya dan ayahnya, juga ada tanda tangan suaminya yang juga seorang ulama ahli fikih. Terkadang dalam fatwa pendapatnya bertentangan dengan pendapat suaminya. Bahkan suaminya kerap menganulir fatwanya sendiri dan kemudian mengambil ijtihad isterinya.
Tokoh-tokoh perempuan yang menjadi sarjana di bidang ilmu keislaman di atas adalah sebagian contoh ulama perempuan dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni. Ada yang menggeluti bidang hadis sampai menjadi periwayat, ada yang menjadi ulama ahli fikih sekaligus ahli fatwa (mufti).
Meski demikian, jarang sekali—untuk idak mengatakan tidak sama sekali—ditemukan penjelasan-penjelasan khusus seputar ulama-ulama perempuan dalam buku-buku yang kita baca. Dalam jejaring sanad yang diperoleh di pesantren-pesantren sekalipun, ulama perempuan sependek pengalaman saya sangat sedikit ditemukan. Bagaimana menurut Anda? []
Idris Masudi, intelektual muda, aktif di PSPP