Azyumardi Azra dalam bukunya, “Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan antar Umat”berpendapat bahwa dalam tradisi sunni hubungan ulama dan rezim politik pada dasarnya bersifat ambivalen. Artinya di satu sisi ada keinginan untuk menjauhi atau paling tidak menjaga jarak dengan politik.
Tetapi di sisi lain, para ulama merasa perlu melibatkan diri dalam dunia politik, baik untuk kepentingan dakwah ataupun karna adanya jaringan-jaringan politik yang sulit dihindari. Dalam konteks terakhir, alasan yang kerap kali muncul ialah bahwa pada dasarnya tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Politik dianggap sebagai bagian integral dari agama, sehingga tidak perlu dihindari ataupun dijauhi.
Tulisan ini akan membahas hubungan ulama dan rezim atau penguasa pada masa abad pertama Islam hingga berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah. Masa-masa ini bisa dijadikan sampel untuk memotret bagaimana hubungan ulama dengan penguasa pada masa periode-periode awal kekhalifahan.
Hubungan ulama dan rezim atau penguasa pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah ini mengalami pasang surut, terkadang dalam satu sisi keduanya harmonis, tapi dalam sisi yang lain, keduanya bertentangan. Secara umum, hubungan ulama dengan penguasa ini bisa terjadi dalam beberapa hal, salah satunya adalah Saling Menguntungkan (mutualisme).
Hal ini terjadi pada masa Dinasti Umayyah saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkepentingan untuk membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggaji para ulama dan para penulis. Salah satunya, melalui gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), terutama pada masa khalifah Marwan.
Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron, seorang dokter dari Iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai.
Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah ibnu Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk karya Aristoteles: Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius: Isagoge.
Upaya ini kemudian dilanjutkan dan berkembang pesat pada zaman Khalifah al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah) 813 M. Melalui Baitul Hikmah, yang didirikannya, al-Ma’mun berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai manuskrip peninggalan ilmu pengetahuan tersebut dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Melalui tradisi penerjemahan ini, lahirlah para ilmuwan dari umat Islam yang mencapai prestasi yang melewati para ilmuwan sebelumnya, seperti: al-Khawarizmi dalam bidang fisika, Abd. al-Jabar dalam bidang matematika, al-Kindī, al-Farabi, Ibn Sinā, Ibn Rusyd, al-Rāzī dan al-Zahrāwī dalam bidang fisika, matematika, seni, pemerintahan, farmakologi dan kedokteran, al-Farābī dalam bidang tasawuf.
Saat al-Ma’mūn berkuasa, ia sangat mendukung penuh pengembangan ilmu pengetahuan baik dari segi politik, ekonomi, maupun fasilitas, bahkan gerakan penerjemahan ini berlangsung dari masa pemerintahannya hingga tahun 300 H. Buku-buku yang diterjemahkan pada masa al-Ma’mūn adalah buku-buku filsafat dan kedokteran.
Selain hubungan mutual yang sifatnya positif seperti di atas, sejarah juga mencatat hubungan ulama dengan penguasa yang saling menguntungkan, terlebih dalam penyebaran mazhab. Pada masa al-Ma’mūn misalnya, ketika sedang digalakkan penerjemahan filsafat Yunani, Muktazilah masuk dengan membawa faham rasionalis.
Faham Muktazilah berhasil masuk menjadi faham resmi pemerintahan pada tahun 211 H. karena al-Ma’mūn disebut oleh al-Suyūṭī (w. 911 H) dalam Tarikh al-Khulafa sebagai orang yang paling akrab dan sering bergaul dengan para rasionalis, baik dari Muktazilah dan Syiah.
Di sisi lain, al-Ma’mūn juga dibenci oleh kalangan ahli hadis. Kecenderungan al-Ma’mūn atas teologi Muktazilah ini menguatkan posisinya sebagai khalifah dan berhasil menaklukkan Romawi Timur dengan membawa kitab-kitab Filsafat di Pulau Qubrus. Pada masa inilah Yaʽqūb ibn Isḥāq al-Kindī mendapatkan proyek penerjemahan kitab-kitab tersebut. Hal ini menjadikannya sebagai pakar filsafat Yunani.
Puncaknya, pada tahun 218 H, al-Ma’mūn memaksakan ajaran Muktazilah yang berupa khalqiyāt Alquran kepada para ulama. Para ulama yang menolak doktrin ini dianggap sebagai orang sesat dan harus diadili. Beberapa korbannya adalah Muḥammad ibn Sa’ad, Yahyā ibn Maʽīn, Abū Khaytamah, dan juga beberapa ulama yang lebih muda, seperti Aḥmad ibn Ḥanbal, juga beberapa ulama yang lain.
Dalam hal lain, pada saat penyebaran mazhab Hanafi misalnya, Abu Yūsuf, seorang murid Abu Hanifah yang diangkat oleh Khalifah Harūn Al-Rasyīd (170-193 H) sebagai Hakim Agung memiliki kewenangan untuk mengangkat para hakim lokal.
Saat mengangkat hakim lokal tersebut, Abū Yūsuf lebih banyak mengangkat para ahli yang memiliki kemampuan memutuskan hukum dengan metode Imam Abū Ḥanīfah. Karena kebijakan ini, masyarakat pada akhirnya lebih mengenal pandangan-pandangan hukum Mazhab Hanafi dibanding pandangan mazhab lain. Di antara lokasi yang menjadi pusat penyebaran Mazhab Hanafi adalah Irak, Khurasan, Syam, Mesir, dan wilayah Afrika Utara lainnya.
Al-Ḥamīdī (488 H), dalam kitab Jadwah al-Muqtabis Fi Dzikri Wulāt al-Andalus, membenarkan keterlibatan kekuasaan dalam penyebaran Mazhab Hanafi. Pengaruh Mazhab Hanafi yang kuat di masyarakat Abbasiyah, ditunjukkan salah satunya ketika Khalifah Al-Qādir Billāh (381-422 H) mengganti hakim kota Baghdad dengan hakim bermazhab Syafi’i bernama Al-Barizi.
Menurut Aḥmad Tīmūr, kebijakan tersebut memicu konflik di masyarakat bawah. Khalifah al-Qādir Billāh akhirnya mengembalikan jabatan hakim kepada ulama bermazhab Hanafi untuk menghentikan keresahan. Hal ini menunjukkan bahwa ada semacam kepentingan dan keuntungan dari hubungan ulama dengan penguasa saat itu. Di satu sisi, ulama ingin menyebarkan paham mazhabnya, sedangkan penguasa berkepentingan untuk menjaga keamanan dan kondusifitas pemerintahan.
Wallahu a’lam.