Ahli Hadis Al-Azhar, Syeikh Usamah Azhari luruskan satu hadis yang sering salah dipahami banyak oknum. Sebab, dari hadis inilah yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok (firaq) ekstrem.
Pernyataan diungkapkan ketika mengisi Kajian Ijazah Sanad Arbain an-Nawawi di Zawiyah ar-Raudhah, Tebet, Jakarta Selatan (17/11/22).
Hadis yang disebutkan merupakan hadis ke-8 dari Kitab Arbain an-Nawawi yang berbunyi;
عَنِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أٌمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا اِله الَّا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ. فَاِذَا فَعَلُوا ذلك, عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ اِلَّا بِحَقِّ الاِسْلَامِ, وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku diperintahkan agar memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari No. 50 dan Muslim No. 22)
Menurutnya, banyak orang salah dalam memahami hadis ini. Seolah-olah Islam mewajibkan berperang dan menumpahkan darah agar terealisasinya syahadat. Akhirnya, mereka terjebak dalam tindakan ekstrimis dan radikalis.
“Dari hadis ini, banyak orang terjebak dalam kesalahpahaman seperti yang terjadi di kalangan Wahabi, Ikhwani, dan Khawarij. Mereka beranggapan bahwa hadis ini sebagai taklif (kewajiban) berperang yang Allah perintahkan kepada mereka,” ungkap Syeikh Usamah.
Akar misinterpretasi tersebut disebabkan kelompok-kelompok itu menelan begitu saja hadis tersebut secara tekstual tanpa memerhatikan hadis-hadis lain yang memiliki masalah serupa. Mereka beranggapan demikian karena Rasulullah berwasiat untuk berpegang teguh pada dua perkara, yakni Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana yang telah masyhur. Padahal bagi Syeikh Usamah tidaklah demikian.
“Ketika ditanya apa yang Rasul tinggalkan bagi kita pasti akan dijawab dua, Al-Qur’an dan sunnah. Sebenarnya, Al-Qur’an dan sunnah masih satu kesatuan. Karena yang kedua yaitu manhaj (metodologi) dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis,” terangnya.
Metodologi dalam memahami nash inilah yang kemudian dikenal dengan ushul fikih. Sedangkan, Wahabi dan Ikhwani mereka menutupi diri dan tidak menerima adanya ushul fikih sebagai manhaj (metode) untuk memahami nash. Padahal sebuah ayat tak dapat dipahami hanya melihat makna literal teks saja. Perlu mengkompromikan (al-jam’u) ayat tersebut dengan ayat-ayat lain sehingga maknanya menjadi jelas dan sempurna.
“Mulailah para ulama ushul fikih membuat kaidah “Mengkompromikan seluruh dalil dari Al-Qur’an dan hadis yang terkait dengan permasalahan tersebut” kemudian mengetahui ‘amm dan khash, mutlaq dan muqayyad, dilalalah lafaz, maqasid syariah,” tegas ulama yang juga penasihat Presiden Mesir ini.
Lebih lanjut, penasihat presiden Mesir ini kemudian memaparkan maksud sebenarnya dari hadis tersebut. Ia mengutip penjelasan dari perkataan Imam Taqiyuddin as-Subki yang menyebut hadis lain yang pernah Nabi sampaikan kepada Ali bin Abi Talib.
يَا عَلِيُّ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ عَلَى يَدَيْكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah Swt menunjuki hidayah seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya).”
Syeikh Usamah pun menyebutkan setelah dikumpulkan dengan hadis ini dapat dipahami bahwa maksud dari qital secara hakikat adalah hidayah bukanlah berarti perang atau mengangkat senjata.
“Ketika hidayah tersebut bisa capai melalui ilmu dan diskusi maka tak perlu adanya peperangan,” jelasnya.
Di akhir penjelasannya, ia menuturkan bahwa yang disebutkan dalam hadis tersebut adalah ilmu, hidayah, hujjah, dalil. Semua itu tak akan lengkap jika tanpa dibarengi dengan akhlak yang mulia. (AN)