“Politik mengatakan: Si A adalah kawan, si B adalah lawan. Dakwah mengoreksi: Si A adalah kawan, si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah, dakwah merangkul dan mempersatukan.” (Ahmad Syafii Maarif, 2002)
Pada 26 Juli 2023, Majelis Ulama Indonesia (MUI) genap berusia 48 tahun. Terlepas dari kelahirannya yang sarat kepentingan politik kekuasaan Orde Baru, kehadiran MUI dianggap penting sebagai representasi para ahli, tokoh, dan pimpinan dari beragam organisasi massa Islam dan kampus.
Ketua Umum MUI yang pertama Prof Dr HAMKA pernah mengatakan, MUI seperti kue bika. Pemerintah menginginkan MUI mewakili kepentingannya, begitu pun masyarakat, maka jadilah MUI terjepit di tengah. Pada akhirnya HAMKA mundur karena tidak bisa mengikuti apa pun kata pemerintah.
Antara persatuan dan keragaman
Tema ulang tahun (milad) MUI kali ini: “Memperkokoh Persatuan dalam Bingkai Keragaman Menuju Indonesia yang Lebih Sejahtera dan Bermartabat.” Tema ini menarik karena mengandung beberapa kata kunci, yakni persatuan, keragaman, sejahtera dan bermartabat.
Penulis ingin membatasi dua kata kunci, persatuan dan keragaman, dua kata yang diibaratkan seperti dua sisi mata uang. Tidak akan ada persatuan tanpa menjaga keragaman, dan tidak ada keragaman tanpa persatuan. Berbeda dengan kesatuan yang bermakna homogen, persatuan bermakna heterogen. Persatuan Indonesia misalnya, tergambar dengan sempurna dalam semboyan Bineka Tunggal Ika.
Apakah MUI sudah memerankan itu? Mari kita lihat faktanya, alih-alih memperkokoh persatuan, MUI (melalui fatwa yang diterbitkannya) seringkali memicu perpecahan. Alih-alih menjaga keragaman, MUI kerap mengharamkan perbedaan.
Contoh yang paling gamblang, pada saat MUI memfatwa sesat para penganut keyakinan yang dianggap keluar dari ajaran agama, maka akan muncul kekuatan massa yang merasa berhak mengawal fatwa itu dengan menistakan kelompok yang difatwa sesat. Inikah yang dimaksud mempersatukan? Karena terdampak fatwa MUI, banyak kelompok masyarakat yang terusir dari kampungnya, dibakar rumahnya, dan dirusak tempat ibadahnya.
Alasan MUI mengeluarkan fatwa sesat antara lain untuk menjalankan fungsi himayatul umat, yakni untuk menjaga umat dari pengaruh ajaran-ajaran yang tidak benar. Kalau benar fungsi ini yang dimaksud, seharusnya MUI tidak memvonis sesat sehingga menimbulkan stigma negatif yang memicu penistaan.
Jika ada kelompok yang dianggap menyimpang, tidak sesuai dengan pendapat MUI, maka tugas MUI adalah membimbing, bukan membinasakannya. Kalau tidak mau, atau tidak bisa dibimbing, tugas MUI adalah memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa ada keragaman penafsiran/pendapat dalam agama, dan masyarakat bebas untuk memilih pendapat mana yang dianggap benar.
Ketika MUI membenarkan dua pendapat tentang penetapan awal dan akhir Ramadan dari dua organisasi mayoritas, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, ini patut diapresiasi karena MUI ikut menjaga persatuan, memelihara keragaman. Seyogianya sikap yang sama juga ditunjukkan pada saat ada perbedaan pemahaman agama dari kalangan minoritas.
Tugas dakwah
Dalam salah suatu hadis yang sangat populer disebutkan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi (al-’ulama waratsat al-anbiya). Tugas pokok para Nabi adalah menyampaikan risalah kebenaran yang datang dari Tuhan. Dalam Islam, tugas menyampaikan kebenaran itu disebut dakwah.
Ditegaskan dalam al-Quran (Ali Imran: 110) bahwa sebaik-baiknya umat adalah yang menyeru kepada kebenaran, dan mencegah dari kemungkaran. Ayat ini antara lain yang mendorong K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) mendirikan organisasi dakwah yang diberi nama Muhammadiyah pada18 November 1912.
Bagaimana cara berdakwah yang baik, disebutkan dalam al-Quran (An-Nahl: 125) dengan hikmah (bijaksana) dan nasihat yang baik, dan (jika belum mempan) berdebat dengan cara-cara yang baik.
Ketika Nabi Musa AS dan saudaranya Harun AS hendak berdakwah di hadapan Firaun yang telah melanggar semua jenis dosa besar termasuk menganggap dirinya tuhan, dalam al-Quran (Thaha: 144), Allah memerintahkan keduanya agar menyampaikan kata-kata yang lembut (qaulan layyinan) dengan harapan Firaun akan sadar dan takut (pada Tuhan).
Mengapa dakwah harus dengan bijaksana, dengan baik dan lemah lembut? Karena menurut Allah SWT (Ali Imran: 159), jika kamu bersikap keras dan kasar, (alih-alih mengikuti) mereka akan lari darimu, maka mohon ampunkan mereka, dan bermusyawarahlah dalam perkara (yang mereka persoalkan).
Inilah cara-cara berrdakwah yang seyogianya dijalankan para ulama, bukan dengan cara memvonis (sesat) dan menebar kebencian. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak pernah memaksa manusia untuk beriman kepada-Nya.
Artinya dalam soal beragama, Tuhan menghormati hak asasi manusia. Tapi, atas semua pilihan manusia, hanya Tuhanlah berhak menilai mana yang benar dan yang salah, yang benar akan diberi imbalan (surga), yang salah akan diberi hukuman (neraka). Dalam praktik, hak-hak Tuhan ini banyak direbut oleh manusia, terutama pada ulama.
Antara dakwah dan politik
Politik, kata Harold D Lasswell (1902-1978), adalah “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.” Di tahun politik, ungkapan Lasswell yang sangat populer ini dipraktikkan oleh para politisi untuk mendapatkan jabatan, pada saat Pemilu, dengan cara berkampanye menyampaikan program-program di tengah-tengah masyarakat.
Dalam bahasa agama, pada hakikatnya kampanye adalah dakwah, pelakunya adalah para politisi. Tapi, karena ada kesenjangan rasio yang sangat lebar antara ketersediaan jabatan dengan jumlah politisi yang menginginkan, maka terjadilah persaingan. Semakin lebar rasionya, semakin tinggi persaingannya.
Persaingan inilah yang kerap memicu konflik dan perpecahan, maka tepat sekali jika Buya Syafii Maarif membedakan secara diametral antara dakwah dan politik seperti dikutip di awal tulisan ini. Karena kampanye politik untuk memperebutkan kursi jabatan yang sangat terbatas, sedangkan dakwah adalah ajakan ke surga yang seluas langit dan bumi, mampu menampung manusia dalam jumlah yang tak terbatas.
Karena luas surga tak terbatas, seharusnya tidak perlu ada persaingan, tidak perlu saling klaim paling berhak masuk surga. Karena setiap orang yang berbuat baik, kata Allah, pasti akan ada imbalannya. Apakah imbalannya? Bukan manusia yang menentukan.
Dalam al-Quran (Al-Isra: 84) Allah membiarkan manusia bekerja sesuai kesibukannya masing-masing. Hanya Allah yang tahu siapa di antara mereka yang berada di jalan yang benar. Sedangkan manusia, ahli agama (ulama) sekali pun, hanya bisa menduga-duga sesuai petunjuk-Nya. Maka, seharusnya ulama tidak boleh memvonis sesat mereka yang tidak sependapat dengan dirinya.
Jika ulama yakin dirinya pewaris para Nabi maka bersikap dan bertindaklah seperti Nabi yang memberi rahmat bagi semesta. Dalam politik, tugas ulama adalah merangkul dan mempersatukan. Bersikap baik dan adil bagi siapa pun tanpa kecuali. (AN)