Tuan Guru Bajang dan Akal Sehat: Propaganda Arrahmah.com dan Media Sejenis Terhadapnya

Tuan Guru Bajang dan Akal Sehat: Propaganda Arrahmah.com dan Media Sejenis Terhadapnya

Tuan Guru Bajang menjadi pesakitan dalam bingkai media-media islam seperti arrahmah.com dan sejenisnya

Tuan Guru Bajang dan Akal Sehat: Propaganda Arrahmah.com dan Media Sejenis Terhadapnya
Arrahmah.com tampak membingkai Tuan Guru Bajang dalam sebuah narasi yang berbed: delegitimasi TGB, politik?

Tuan Guru Bajang yang dulu dipuja kini justru diolok-olok oleh sebagian muslim kita hanya karena ia secara terbuka mendukung Jokowi. Apa karena ini faktor politik semata hingga menisbikan sosoknya sebagai ulama—yang sekali lagi, sempat diagung-agungkan oleh kelompok ini—apalagi doktor studi Islam Alumnus dari Universitas Al Azhar ini pun sempat turut serta dalam aksi 212 dan lain sebagainya hingga dianggap representasi islam?

Tentunya, seringkali kita dengar dai/ustaz berbicara tentang keadilan dengan menyeru: jangan sampai kebencian kita terhadap suatu kaum membuat kita berlaku tidak adil. Sering pula kita dapati kutipan “adil sejak dalam pikiran” beredar di sosial media. Tapi berlaku adil tidak semudah mecuitkan kutipan tentang keadilan di Twitter atau berteriak soal keadilan dari atas mimbar. Keadilan itu mudah diucapkan, sukar diamalkan. Termasuk adil mendudukkan persoalan dukungan Tuan Guru Bajang kepada Jokowi.

Jamak diketahui, Tuan Guru Bajang (TGB) telah menyatakan dukungannya kepada Jokowi, melanjutkan periode kedua pemerintahan. TGB juga mengimbau tidak menggunakan ayat-ayat perang untuk kepentingan politik. Namun rupanya, kelompok-kelompok yang merasa gerah dengan pernyataan TGB itu menyerang TGB habis-habisan. Salah satu “serangan” misalnya dari Irfan S Awwas di arrahmah.com berjudul Spekulasi TGB dan Manipulasi Ayat Perang.

Sayangnya, tulisan Irfan S Awwas di arrahmah.com terlihat menyedihkan dan terkesan kekanak-kanakan. Ia misalnya menulis: spekulasi TGB ini merupakan produk akal sesat, karena bertentangan dengan fakta sejarah. Bahwa lamanya berkuasa bukan jaminan keberhasilan rezim penguasa menciptakan negara yang adil makmur, sejahtera rakyatnya maju negaranya. Fakta sejarah membuktikan sebaliknya. Presiden Soekarno berkuasa selama 20 tahun (1945-1965). Hasilnya ideologi nasakom, dukungan pada PKI, sehingga banyak ulama dipenjara.

Lebih lanjut, Irfan berupaya membangdingan dengan tokoh Masyumi: Bandingkan dengan PM M. Natsir, beliau menjabat hanya 6 bulan mampu mengintegrasikan NKRI. Begitu juga dengan Burhanudin Harahap, keduanya dari Masyumi, berkuasa hanya 8 bulan, mampu memperbaiki ekonomi dan keuangan bangsa Indonesia. Dan sukses melaksanakan pemilu pertama dengan jurdil dan paling bersih sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia.

Tak berhenti di situ, ia tak lupa membelokkan serangan ke Jokowi: Lalu, prestasi apa yang diraih secara fair selama kekuasaan Jokowi? Hutang negara hampir 5000T, harga bahan pokok terus naik, pekerja cina kian mendominasi, fondasi ekonomi-hukum parah. Kekayaan bangsa Indonesia dilego ke asing. Politik belah bambu ala PKI terjadi dengan mengorbankan para kyai, ustadz, aktivis.

Baca juga: Tuan Guru Bajang dalam Pusaran Politik Islam

Saya tidak bermaksud menyoal data-data sejarah yang disodorkan Irfan S Awwas, saya ingin menyoal propaganda dengan teknik labeling. Label komunis diberikan kepada Soekarno dan Jokowi. Lengkap dengan tuduhan  “banyak ulama dipenjara” dan “mengorbankan para kyai, ustadz, aktivis”. Seolah Soekarno dan Jokowi sangat anti terhadap Islam. Bahkan di akhir tulisan, Irfan menandaskan: Seorang TGB tidak perlulah mendukung kejahatan dan kezaliman dengan cara manipulasi larangan bawa-bawa ayat perang. Logika sesat komunis tidak fair bila digunakan oleh seorang ulama TGB.

Saya membaca tulisan Irfan di arrahmah.com dengan senyum miris sambil geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa rasa tidak suka terhadap seseorang diwujudkan dengan memberi label komunis?

Padahal dulu di laman yang sama TGB dipuji-puji sedemikian rupa. Pola-pola pelabelan seperti itu terus berulang dan mudah ditemukan belakangan ini. Memberi label komunis, syiah, kafir, Cina dan lain-lain. Cara-cara yang tidak elok dan jauh dari beradab.

Terkait pelabelan, saya teringat tulisan Fajar Riza Ul Haq di Kompas yang bertajuk Jokowi dan Anti-Tionghoa. Fajar mencatat: sejumlah elite anti pemerintah, baik yang bergerak di partai atau perkumpulan menikmati warisan propaganda Orde Baru yang diawetkan dan direproduksi, yakni diskursus antikomunis, anti Tionghoa, anti-Islam.

Baca juga: Propaganda Islam Radikal Menjual yang Sensasional dan Hoax

Kita tentu masih ingat bagaimana Obor Rakyat dengan cara-cara yang barbar menghabisi Jokowi dengan tuduhan-tuduhan ngawur. Tampaknya, hari ini Obor Rakyat gaya baru muncul kembali. Sedihnya, yang mengambil peran adalah laman-laman yang berbau Islam, seperti arrahmah.com.

Jalan yang ditempuh oleh arrahmah.com sekali lagi meneguhkan posisinya sebagai media yang tidak kredibel. Nahasnya, media yang serupa arrahmah.com tidak hanya satu dua. Anda bisa dengan gampang sekali mencari di beberapa media islam terkait hal ini, khususnya media-media yang dalam narasinya banyak ditemukan atau bisa jadi berafiliasi dengan gerakan-gerakan islam politik yang santer belakangan ini mengusung agenda supremasi dan identitas islam.

Entah sampai kapan media-media semacam itu, yang bagi saya, justru merusak citra Islam. Riset media yang saya lakukan tempo hari dengan studi arrahmah.com dengan jihadnya membuktikan itu. Sudah saatnya umat Islam menghentikan membaca media-media yang gemar menistakan akal sehat. Yang kerap bicara soal keadilan tapi dirinya sendiri tidak adil melihat suatu permasalahan.