Islam dan budaya satu kesatuan yang utuh, sulit dipisahkan seperti dua sisi mata uang. Islam tumbuh dalam konteks budaya tertentu dalam sebuah masyarakat. Ketika Islam hadir di negeri Arab, otomatis seluruh aspek budaya lokal Arab turut mewarnai perkembangan Islam. Sehingga kadang kita susah untuk membedakan mana yang Islam dan mana yang budaya Arab. Begitu juga saat Islam berkembang di Nusantara, unsur budaya lokal pun membaur dengan Islam, sulit pula dibedakan mana yang Islam dan mana yang budaya Nusantara.
Sebagian kalangan masih suka untuk mencari dan memilih mana yang Islam dan mana yang budaya. Ini dilakukan untuk membersihkan Islam dari unsur budaya lokal, supaya kita benar-benar tahu ajaran Islam yang sesungguhnya, makanya muncul istilah bid’ah (heretic). Tuduhan bid’ah dialamatkan pada orang yang mencampur adukkan tradisi dengan agama. Mereka dianggap melakukan pembaharuan dalam Ibadah, suatu yang sangat dilarang di dalam agama.
Kullu bid’ah dhalalah, wa kullu dhalalah fin nar. Ini biasanya hadis yang dikutip untuk menyalahkan pelaku bid’ah. Nalar pembersihan Islam dari unsur lokal ini juga tak hanya digunakan kelompok wahabi atau salafi, aliran purifikasi Islam, tetapi juga menghantui pikiran beberapa akademisi. Mereka melihat budaya sebagai bagian luar yang terpisah dari agama. Mengutip Ismail Fajrie Alatas, “Islam + y”, Islam dan tradisi luar yang terpisah dari Islam. Kecenderungan akademisi yang berpikir seperti ini, melihat Islam Nusantara bukan Islam yang originil, sinkretik, dan tidak otoritatif.
Karena budaya tidak bisa dipisahkan dari agama, dan memang juga tidak perlu dipisahkan, memahami budaya Arab ketika membaca khazanah Keislaman yang berasal dari Timur-Tengah sangatlah penting, khususnya sumber-sumber utama yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW, seperti literatur hadis. Pemahaman atas budaya Arab penting ditegaskan untuk menghindari pikiran puritan yang tidak menerima aspek lokal dalam perkembangan Islam.
Almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub memberikan penjelasan menarik dalam Sarasehan Seniman dan Budaya Islam. Beliau mengatakan:
“Nabi SAW bersabda dalam hadis shahih, A’linu al-nikaha bi al-dufuf, umumkanlah pernikahan dengan menggunakan rebana. Nah, Maka saya katakan, itu adalah budaya. Maka, orang mau nikahan, mendatangkan grup rebana, itu juga boleh, tapi itu tidak wajib. Tidak menggunakan rebana, tapi menggunakan alat musik lokal, itu juga tidak apa-apa. Karena yang disampaikan Nabi, tidak berkaitan dengan agama tapi budaya.”
Dengan memahami budaya lokal Arab dalam memahami hadis Nabi SAW, kita dapat memahami bahwa tidak semua unsur yang terdapat dalam hadis Nabi itu murni ajaran Islam. Nabi juga mengadobsi tradisi lokal untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat Islam. Bagaimana pun juga Nabi Muhammad adalah orang Arab, tumbuh dalam budaya Arab, tidak mungkin beliau mengenalkan Islam tampa memperhatikan budaya lokal.
Sebab itu, para ulama menerima tradisi lokal sebagai sesuatu yang baik, tidak perlu dipertentangan dengan ajaran Islam, selama tradisi itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan, dalam fikih, tradisi lokal atau kebiasaan juga bisa menjadi sumber hukum, dikenal dengan istilah ‘urf. Maka dari itu, tidak mengherankan bila para ulama awal yang berdakwah di Nusantara, mereka menggunakan instrumen lokal sebagai media dawkah. Kesenian nusantara pun dijadikan alat dakwah, alih-alih melarangnya.
Ali Mustafa Yaqub mencontohkan Kubah Masjid. Bentuk Kubah yang kita kenal sekarang ini, sebenarnya bukan murni dari Islam, tetapi adopsi dari arsitektur Kristen ortodoks. Ini membuktikan bahwa khazanah pengatahuan, budaya, dan tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan Islam, digunakan oleh para ulama.
Karenanya, jangan asal menolak tradisi, budaya, atau kesenian. Mengajarkan Islam dengan mencerabut tradisi dari masyarakat adalah suatu yang mustahil. Kalaupun dipaksakan, pasti akan mendapat penolakan dan tidak akan bertahan lama. Sejarah membuktikan, Islam berkembang luas karena tidak anti terhadap budaya dan tradisi lokal.