Tips ‘Diet’ Ala Imam Al-Ghazali

Tips ‘Diet’ Ala Imam Al-Ghazali

terkadang nafsu makan mendorong seseorang untuk mengonsumsi makanan sekalipun ia tidak dalam keadaan lapar. Bagi Imam al-Ghazali (w. 505 H), hal seperti itu sama saja dengan memanjakan nafsu perut, yang mana dapat menimbulkan banyak hal negatif, termasuk membuat seseorang menjadi kesulitan mengontrol nafsu ‘bawah perut’.

Tips ‘Diet’ Ala Imam Al-Ghazali

Kebutuhan energi setiap orang berbeda-beda, hal tersebut bisa disebabkan oleh perbedaan metabolisme tubuh, kepadatan aktivitas, dan sebagainya. karena itu, porsi makanan yang mereka konsumsi setiap harinya berbeda-beda pula.

Hanya saja, seringkali masih banyak orang yang aktivitasnya tidak terlalu padat dan energinya tidak banyak terkuras tetapi mengonsumsi makanan dengan porsi yang banyak. Dengan kata lain, dia makan melebihi jumlah porsi yang ia butuhkan.

Pada kenyataannya, terkadang nafsu makan mendorong seseorang untuk mengonsumsi makanan sekalipun ia tidak dalam keadaan lapar. Bagi Imam al-Ghazali (w. 505 H), hal seperti itu sama saja dengan memanjakan nafsu perut, yang mana dapat menimbulkan banyak hal negatif, termasuk membuat seseorang menjadi kesulitan mengontrol nafsu ‘bawah perut’.

Oleh karena itu, setiap orang hendaknya mengendalikan nafsu perutnya agar terhindar dari hal-hal negatif yang ditimbulkan darinya. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan nafsu perut adalah dengan latihan mengurangi porsi makan atau ‘diet’. Dalam Ihya` ‘Ulumuddin, al-Ghazali membagi latihan ‘diet’ menjadi empat tingkatan.

Tingkatan tertinggi, yakni ia hanya makan hanya untuk bertahan hidup. Artinya, jika ia tidak makan, maka kehidupannya akan terancam. Ini adalah kebiasaan para ahli kebenaran (shiddiqun). Bagi mereka, menjadi lemah karena berlapar-lapar lebih utama dibanding menjadi kuat karena banyak makan. (Ihya`, Jil. 3, h. 111)

Jika belum mampu mencapai tingkatan pertama, maka seseorang dapat mencoba latihan pada tingkatan kedua, yakni hanya mengonsumsi makanan sebanyak setengah mud dalam satu hari satu malam. Setengah mud di sini oleh al-Ghazali disetarakan dengan sepertiga ukuran perut, yang jika dikira-kira adalah sejumlah beberapa suapan dan tidak lebih dari sepuluh suap.

Jika masih belum mampu juga, maka seseorang dapat mencoba latihan pada tingkatan ketiga, yakni hanya mengonsumsi makanan sebanyak satu mud dalam satu hari satu malam. Ini berarti sama dengan dua kali porsi pada tingkatan yang kedua. (Ihya`, Jil. 3, h. 112)

Dan, jika masih belum mampu, maka seseorang dapat mencoba latihan pada tingkatan keempat, yakni mengonsumsi sebanyak lebih dari satu mud hingga satu mann (sekitar 4 mud atau ukuran minimal zakat fitrah). Lebih dari itu, maka seseorang dianggap telah makan secara berlebih-lebihan.

Al-Ghazali menegaskan bahwa batasan-batasan di atas adalah porsi kebanyakan orang, mengingat porsi makan setiap orang berbeda-beda sesuai dengan usia, metabolisme setiap orang, hingga kesibukan yang sedang dijalankan. Namun, beliau juga mengatakan bahwa batasan tersebut tetap perlu dibuat sebagai patokan karena perbedaan kebutuhan setiap orang yang telah disebutkan sebelumnya.

Di samping keempat tingkatan yang telah disebutkan, terdapat tingkatan lagi yang tidak ada batasan jelas, yakni makan hanya ketika lapar. Namun, karena batasan lapar itu sendiri tidak jelas, seseorang akan mudah tertipu, dengan kata lain bisa jadi dia merasa telah lapar padahal sebenarnya dia tidak lapar atau hanya kepengen. Karena, menurut al-Ghazali ada yang disebut al-Ju’us Shadiq (lapar beneran) dan al-Ju’ul Kadzib (lapar bohongan).

Untuk membedakannya, al-Ghazali menyebutkan dua tanda yang menunjukkan bahwa seseorang benar-benar lapar. Pertama, ketika seseorang melihat makanan pokok tanpa makanan tambahan (lauk), ia sangat bernafsu untuk memakannya. Misalnya, di Indonesia yang makanan pokoknya adalah nasi, ketika seseorang hanya menemukan nasi untuk dimakan, ia akan memakannya dengan lahap meski tidak ada lauk pelengkap.

Kedua, ketika seseorang meludah, tidak ada lalat yang hinggap di ludahnya, disebabkan tidak ada kandungan sisa zat-zat makanan yang terdapat pada ludah tersebut. Karena dua batasan ini dapat dikatakan cukup ‘esktrem’, al-Ghazali mencukupkan dengan batasan selama seseorang tersebut mampu beribadah, dan jika sudah tidak ada lagi energi untuk beribadah, maka saat itulah seseorang sedang lapar beneran, dan hendaknya dia makan untuk mengisi energinya agar dapat beribadah.

Meski batasan dalam setiap tingkatan di atas tidaklah mutlak, namun dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mengendalikan nafsu perut, mengurangi porsi makan dilakukan secara bertahap, hingga akhirnya dia benar-benar mampu mengendalikan nafsu perutnya. Wallahu a’lam.