Artikel ini adalah tulisan serial bertema Maqasid Syariah yang diulas oleh kontributor kami, Nur Hasan. Baca juga tulisan sebelumnya: Mengenal Maqasid Syariah: Untuk Apa dan Mengapa Syariat Islam Ditetapkan?
Kemaslahatan sebagai inti tujuan syariat Islam atau Maqasid Syariah memiliki berbagai macam tingkatan dan pembagian. Pertama, dilihat dari segi tujuan atau kehendak yang ada dalam Maqasid Syariah. Kemudian, dari segi kebutuhan dan pengaruhnya terhadap hukum. Selanjutnya, cakupan atau jangkauan yang ada dalam Maqasid Syariah itu sendiri, serta dari segi kekuatannya.
Jika dilihat dari segi tujuannya, al-Syatibi dalam karyanya al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari’ah membaginya menjadi dua bagian. Pertama, Maqasid Syari’ dan yang kedua adalah Maqasid al-Mukallaf. Apa definisi dari kedua pembagian tersebut? Ulasannya sebagai berikut:
Pertama, Maqasid Syari’. Definisi istilah ini adalah maksud-maksud yang dikehendaki oleh sang pembuat hukum (Syari’) yaitu Allah SWT, dengan ditetapkannya suatu aturan hukum. Definisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Nuruddin al-Khadimi dalam karyanya Ijtihad al-Maqasidi, Hujjiyatuhu Dawabituhu Majallatuhu.
Maqasid al-Syari’ ini terbagi menjadi empat macam. Pertama, Setiap aturan hukum yang ditetapkan kepada subjek hukum (manusia atau mukallaf) adalah untuk kemaslahatan mereka sendiri. Baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat, tanpa ada perbedaan di antara keduanya. Kedua, suatu aturan hukum yang ditetapkan mesti dapat dipahami oleh subjek hukum (mukallaf). Ketiga, suatu aturan hukum tersebut mesti pula dilaksanakan oleh subjek hukum (mukallaf) karena aturan hukum tersebut merupakan taklif (kewajiban) bagi manusia. Keempat, Semua itu tidak lain agar subjek hukum (manusia) berada di bawah naungan hukum Allah SWT.
Keempat tujuan tersebut pun saling berhubungan, dan semuanya berhubungan dengan Allah SWT selaku pembuat hukum. Sehingga bisa dipastikan bahwa Allah SWT menetapkan hukum adalah untuk kepentingan manusia atau kemaslahatan manusia. Oleh karena itu tidak mungkin jika hukum-hukum Allah SWT bertujuan untuk mempersulit atau memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Kedua, Maqasid Mukallaf. Istilah ini mempunyai makna maksud-maksud yang diinginkan oleh pelaku hukum, atau manusia dalam setiap hal di kehidupannya baik terkait i’tikad, perkataan atau perbuatan. Dari semua hal itu, dapat dibedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, antara ibadah dengan sosialnya, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam bernegara, yang semuanya dilihat apakah bersesuaian atau bertentangan dengan Maqasid Syariah.
Adapun Maqasid Syariah jika dilihat dari kebutuhan dan pengaruh hukumnya, terbagi menjadi tiga: al-Dharuriyah, al-Hajjiyah, al-Tahsiniyah. Atau yang dikenal dengan teori kebutuhan publik yang diperkenalkan pertama kali oleh Imam al-Juwaini melalui karyanya al-Burhan fi Ushul Fiqh sebelum istilah Maqasid Syariah dipopulerkan oleh al-Syatibi.
Abdul Qadir Hirzillah dalam karyanya Madkhal ila Ilm Maqasid al-Syari’ah memberikan definisi mengenai al-Dharuriyah, al-Hajjiyah dan al-Tahsiniyah sebagaimana berikut;
Pertama, al-Dharuriyah, yang berarti kepentingan esensial dan merupakan kebutuhan pokok, utama atau paling mendasar dalam kehidupan manusia (kebutuhan primer). Baik menyangkut pemeliharaan kemaslahatan yang berorientasi akhirat ataupun kemaslahatan duniawi. Apabila kemaslahatan tersebut tidak terpenuhi, maka mengakibatkan mafsadah (kerusakan atau bahaya) sehingga dari hal ini dapat menyebabkan kehidupan manusia menjadi cedera, cacat bahkan sampai kematian. Oleh karena itu lima hal penting tentang memelihara agama, jiwa, keturunan, harta dan akal merupakan kebutuhan primer yang dipelihara. Kelima hal pokok tersebut selalu ada di setiap tingkatan Maqasid Syariah.
Kedua, al-Hajiyah, yang artinya adalah kebutuhan pendukung (sekunder), atau diperlakukannya kemaslahatan tersebut untuk menghindari kesulitan. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak sampai merusak kehidupan manusia, tetapi hanya berakibat kepada kesulitan manusia dalam menjalani kehidupannya.
Ketiga, al-Tahsiniyyah yang mempunyai makna kebutuhan penunjang (tersier), atau di dalamnya terdapat kemaslahatan pelengkap dan sebagai penyempurnaan dari dua kemaslahatan sebelumnya. Apabila kemaslahatan ini tidak terpenuhi, tidak akan mempersulit apalagi sampai merusak kehidupan manusia. Namun berimplikasi pada tidak lengkap atau tidak sempurnanya kemaslahatan yang diperoleh manusia.
Sedangkan Maqasid Syariah dilihat dari cakupan atau jangkauannya terbagi juga menjadi tiga, yaitu Maqasid al-Ammah, Maqasid al-Khassah, dan Maqasid al-Juz’iyah.
Maqasid al-Ammah (Umum) adalah yang berkaitan dengan seluruh kumpulan hukum Islam, atau yang lebih dominan di mana terdapat di dalamnya sifat-sifat hukum dan tujuan tujuan besar (ghayah kubra) yang meliputi berbagai hal seperti keadilan, kemudahan, kesetaraan dan sebagainya.
Adapun Maqasid al-Khassah (khusus) adalah tujuan tujuan yang wujudnya dapat ditemukan dalam bab-bab atau cabang-cabang tertentu dalam hukum Islam. Seperti aturan-aturan yang berkaitan dengan perlindungan dan kemaslahatan anak dalam keluarga, menjaga stabilitas keluarga dan lingkungan dari tindakan kriminal, larangan melakukan monopoli perdagangan dalam dunia bisnis dan sebagainya.
Maqasid al-Juz’iyah (parsial) adalah tujuan atau maksud yang ada di balik sebuah hukum, atau maksud dibalik sebuah peraturan. Hal ini berkaitan dengan berbagai sebab (‘illah), hikmah dan rahasia suatu hukum. Contohnya tujuan hukum dari dibolehkannya orang yang sakit tidak menjalankan ibadah puasa atau tujuan dari larangan menyimpan daging hewan kurban dan lainnya. Definisi ini sebagaimana dikemukakan oleh Jaser Auda dalam karyanya Maqashid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: a System Approach. Ketiga kategori Maqasid ini, harus dilihat secara holistik, tidak terpisah-pisah dan bukan hierarkis.
Adapun Maqasid Syariah jika dilihat dari kekuatannya, terbagi menjadi tiga. Yaitu Maqasid Qat’iyah, Maqasid Zanniyah, dan Maqasid Wahmiyah. Dimana definisi-definisi tentang Maqasid bagian ini dikemukakan oleh Abdul Majid Najjar dalam karyanya Maqasid al-Shariah bi Ab’ad Jadid sebagaimana berikut:
Maqasid Qat’iyah adalah maksud-maksud hukum yang kekuatannya sudah pasti karena eksistensinya didukung secara berturut-turut oleh dalil dan teks yang pasti. Contohnya: kemudahan, menghilangkan kesulitan, keamanan, terjaganya kehormatan, kepemilikan harta dan hak-hak untuk mendapatkan keadilan.
Maqasid Zanniyah adalah maksud-maksud yang tidak mencapai tingkat pasti, karena maksud-maksud ini diperoleh melalui penelitian dan pengkajian sehingga terjadinya perbedaan pandangan, dan pendapat terhadap kedudukan Maqasid Zanniyah. Contoh; salah satu syarat akad nikah adalah persetujuan kedua mempelai untuk menjadi suami istri. Syarat ini diperoleh melalui dalil zanni tentang tujuan nikah yaitu terjaganya kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Maqasid Wahmiyah adalah maksud-maksud yang diperoleh hanya melalui sangkaan, atau dugaan atau maksud-maksud yang tidak diperoleh melalui penelitian. Maqasid ini terjadi ketika tidak ada dukungan dari nash atau teks-teks yang pasti.
Mengapa pembagian dan tingkatan dalam Maqasid Syariah tersebut menjadi penting? Tidak lain adalah agar manusia tidak asal-asalan dalam merumuskan sebuah hukum, atau menyelesaikan sebuah permasalahan. Manusia harus mampu melihat mana yang harus diprioritaskan, kenapa sebuah permasalahan dihukumi seperti ini, sementara permasalahan lain dihukumi secara berbeda. Kita sebagai hamba Allah yang dikaruniai akal pikiran, harus mampu bersikap kritis dan tidak asal-asalan dalam memandang segala sesuatu. Apalagi dalam menentukan sebuah hukum. Tidak boleh serampangan dan asal berfatwa, seperti yang sering kita saksikan bersama di dunia maya.