Beberapa hari terakhir ini, lini masa media sosial saya dihiasi berbagai berita yang menyita perhatian. Salah satunya, berita tentang Bima, pemuda asal Lampung yang mengkritik pemerintah daerahnya sendiri tapi malah mendapatkan ancaman dan intimidasi. Melalui akun tiktoknya Awbimax Reborn, Bima menyebutkan berbagai alasan kenapa Lampung belum menjadi daerah yang maju.
Terdapat lima poin yang disebutkan Bima dalam kritiknya itu. Pertama, infrastruktur jalan yang rusak dan tak kunjung diperbaiki. Kedua, banyak pembangunan yang mangkrak. Ketiga, sistem pendidikan lemah. Keempat, sektor pertanian yang tak stabil. Kelima, tata kelola yang lemah.
Sontak, video Bima itu pun viral. Unggahan tersebut mengundang reaksi warganet yang mayoritas malah mendukungnya. Warganet lalu ramai-ramai mengunggah konten berisikan kondisi jalan di Lampung yang rusak parah. Di sisi lain, kritikan Bima itu malah ditanggapi dengan tidak bijaksana oleh pemerintah daerah Lampung.
Kata Bima, yang kini kuliah di Australia, mengaku mendapatkan ancaman yang mengarah pada keluarganya di Lampung. Bima mendapatkan kabar dari keluarga di Indonesia bahwa ibunya sepat dikunjungi oleh polisi, sedangkan sang ayah yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di panggil serta menghadap ke Bupati Lampung Timur. Busyet, dah! Tidak hanya itu, Bima juga mengakui bahwa ayahnya dimaki-maki oleh Gubernur Lampung via telepon.
Reaksi atau sikap yang diperlihatkan pimpinan di daerah Lampung ini, menurut saya, anti kritik. Pandangan ini ‘diamini’ oleh netizen. Alih-alih menjawab kritik, kolom komentar akun instagram Bupati Lampung Timur, Wakil Gubernur Lampung, dan Gubernur Lampung kini sudah dibatasi. Hal ini semakin menegaskan bahwa mereka pemimpin yang anti kritik. Dikritik bukannya introspeksi, malah bawa perasaan hingga mematikan kolom komentar.
Mereka yang dikritik seharusnya merespon kritikan itu dengan bijak. Tangkap aspirasinya, bukan orangnya. Ada orang mengkritik kebijakan, pembangunan atau kinerja pemerintah, menurut saya, itu hal yang wajar, dan perlu disampaikan. Artinya, orang itu berarti ingin daerahnya menjadi lebih bagus, maju dan baik dari sebelumnya. Apalagi di negara demokrasi, kita bebas berpendapat. Bukannya pemimpin yang baik adalah yang mau mendengarkan masukan dari warganya?
Pemimpin yang Baik Menurut Islam
Kriteria pemimpin yang baik dalam Islam adalah pemimpin yang memiliki akhlak mulia. Ini artinya, pemimpin harus memiliki sifat-sifat seperti jujur, adil, tegas, sabar, dan konsisten dalam menjalankan kewajibannya.
Al-Qur’an menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain, amanah, adil, syura (musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar. Dalam Kamus Kontemporer (al-‘Ashr), amanah diartikan dengan kejujuran, kepercayaan (hal dapat dipercaya). Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi Rasul. Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah”.
Seorang pemimpin harus amanah ketika diberikan jabatan. Tugas pemimpin adalah mengayomi masyarakat, bukan malah mencaci maki mereka, atau yang lebih buruk “memakan” harta rakyat-nya. Rakyat berhak menuntut janji-janji pemimpin jika di kemudian hari si pemimpin tidak becus dalam bekerja, dan hal inilah yang dilakukan Bima, mengkritisi kinerja pemerintah terkait pembangunan daerah Lampung, yang menurutnya, jauh dari kata mensejahterakan.
Sementara itu Umar Sidiq (2014) menjelaskan bahwa Etika yang paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab. Semua manusia yang hidup di dunia ini bisa disebut pemimpin. Oleh karena itu, sebagai pemimpin manusia memegang tanggungjawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang majikan bertanggung jawab kepada pekerjanya. Seorang pimpinan bertanggungjawab kepada bawahannya. Seorang presiden, gubernur, dan bupati bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya.
Bentuk tanggungjawab seorang kepala daerah, menurut saya, adalah harus menerima masukan dan kritikan dari rakyat dengan lapang dada, dengan bijaksana, dan dengan sikap yang santun. Respon seorang pemimpin terhadap masukan dan kritikan dari rakyatnya akan mencerminkan sifat dan karakter seorang pemimpin itu sendiri.
Rakyat adalah amanat yang berada di tangan pemimpin yang harus ia jaga, harus ia layani, dan harus pula ia berdayakan demi kemaslahatan mereka. Clear!
Siapapun orang yang diberi tanggung jawab oleh Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia, maka ia harus menjaga mereka dengan kebijakannya, serta dengan hati yang tulus mengatur mereka, sehingga semua kepentingan mereka tetap terjaga seperti halnya kepentingan dirinya sendiri. Prinsipnya, antara pemimpin dan yang dipimpinnya harus saling menguntungkan.
Maka dari itu, pemimpin-pemimpin di negeri ini, tidak hanya di Lampung, sangat perlu bahkan wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya. Jangan sampai, misalnya, sudah dapat dana anggaran untuk pembangunan infrastruktur malah dananya dibawa kabur entah kemana, atau sudah dikasih amanah rakyat buat memimpin daerah, malah kerjanya malas-malasan.
Setiap daerah butuh sosok pemimpin yang mau kerja. Butuh orang yang ia tidak saja ingin dipuji saat kinerjanya berhasil, tapi juga ia yang rela dengan senang hati dikritisi saat kinerjanya buruk.
Ancaman Bagi Pemimpin Yang Zalim
Lantas bagaimana jika terdapat pemimpin yang tidak amanah, tidak bertanggungjawab dan sukanya menyengsarakan rakyatnya?
Saya memahami, tugas seorang pemimpin memang sangat berat. Sebab, pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia yang fana ini, melainkan juga akhirat kelak. Tetapi, seberat-beratnya tugas pemimpin, ia harus melaksanakan tanggungjawab dan amanah dengan bersungguh-sungguh.
Oleh karena itu, sifat amanah harus melekat pada diri seorang pemimpin, entah itu presiden, gubernur, bupati bahkan kepala desa. Allah SWT menebar ancaman kepada para pemimpin yang berbuat zalim kepada rakyat atau orang yang dipimpinnya. Di antara bentuk ancaman tersebut adalah seperti yang diterangkan dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Muslim:
ما مِن عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَومَ يَمُوتُ وَهو غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عليه الجَنَّةَ.
“Siapa pun hamba yang diberi tanggung jawab Allah untuk memimpin raakyatnya, namun saat meninggal ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka”.
Wallahualam bisshowab.
(AN)