Media sosial kini bak “agama baru” yang masuk ke sendi kehidupan masyarakat dengan sangat cepat dan mudah mempengaruhi watak berpikir dan kepribadiannya. Medsos seolah menjadi tempat mengadu dan mencurahkan segala kemauan dan problem hidup. Bahkan hampir setiap hari kita tak menemukan orang-orang yang tak sibuk dengan media sosial, ada yang sekedar mengganti profil, nge-cek jumlah like statusnya, ngedit foto atau sekedar selfie ria.
Fenomena ini diistilahkan juga dengan “nomophobia”, yang menggambarkan suasana batin dan perasaan tak nyaman jika tak bermedia sosial (memakai gadget), walaupun itu bukan sesuatu yang begitu penting. Bisa jadi orang lebih cemas dan gelisah jika dalam perjalanan dia ketinggalan gadgetnya di rumah ketimbang dompetnya.
Pertanyaanya, semakin terbiasa dan intens ber-media sosial apakah punya peran yang baik guna pembangunan mental manusia atau justru mendegradasi moralnya? Cak Nun menyedurkan satu pesan bahwa perkembangan digital itu sangat baik dan bagus, tapi hakikatnya secara mental pembangunan manusia kurang baik. Karena itu, bermedia sosial ada ruang-pojok yang harus diisi dengan nilai dan mental kemanusiaan. Sayangnya, pojok dan ruang kemanusiaan dan moral di media sosial agaknya mulai tak terlihat disebabkan pada tiga hal:
Pertama, meredupnya sensitifitas sosial. Secara pelan tapi pasti hubungan emosional kini sudah bergeser, silaturahmi-pun kini tergantikan dengan kirim pesan atau video call. Bukan sebuah masalah, akan tetapi tak akan sama emosional dan hubungan persaudaraan yang terbangun jika tangan sering berjebat setiap kali bertemu, duduk bercengkrama sambil ngopi darat. Padahal semakin kuat hubungan emosional pada setiap orang, maka ia akan mudah untuk saling memahami, makin terbuka ruang untuk berdialog dan makin terhindar dari kesalah pahaman.
Bukti lain sentifitas sosial kian redup adalah mengabadikan setiap moment atau peristiwa itu lebih cepat ketimbang menyelamatkan nyawa manusia, padahal itu jauh lebih penting. Ada sekian banyak peristiwa kecelakaan atau musibah yang terjadi kita saksikan di media sosial diunggah, ia lebih memilih selfie dan dishare ketimbang lebih awal menolong korban. Singkatnya, kedekatannya dengan gadget/media sosial memupus solidaritas kemanusiaannya.
Kedua, matinya nalar kemanusiaan. Hadirnya media sosial pertanda terbukanya belenggu kebebasan bagi setiap orang untuk berbicara atau membuat status. Sayangnya, kebebasan itu justru tak bisa dibebaskan sepenuhnya, kebebasan itu justru mengkhianati nurani dan akal sehatnya, betapa banyak netizen yang seenaknya dan semaunya meluapkan amarah dan emosinya dengan kata kasar dan kotor di media sosial.
Tak sedikit orang yang dengan sengaja membuat berita bohong untuk membully dan menjatuhkan nama baik seseorang, anehnya banyak yang tak menyadari bahwa itu kebohongan untuk mempengaruhi pikirannya. Tak berpikir panjang dampak buruk yang ia dapatkan ataupun orang lain sebab luapan emosinya. Ia tak sadar agama hadir dalam lubuk hati manusia untuk mengontrol dirinya tak menjadi pemarah dan tukang maki maki.
Dari semua itu, tak ada yang paling disesalkan karena dilakukan oleh orang yang pernah belajar tentang moral Nabi Muhammad, mereka yang mengasah intelektualitasnya digedung perguruan tinggi, tapi nalar kemanusiaannya tergadaikan dengan media sosial.
Ketiga, buramnya kebenaran. Media sosial menjebak kita untuk rabun melihat kebenaran dan melumpuhkan nalar sehat. Hal yang paling pilu, kebenaran itu tak lagi ditentukan oleh nilai agama, akal sehat dan kebudayaan, tapi berdasarkan rasa senang atau benci, sebab pilihan politik atau ormas keagamaannya sama. Akibatnya, setiap berita yang muncul di media sosial selalu akan benar jika sejalan dengan pilihan dan kedekatan politiknya, sebaliknya akan dianggap salah jika ia tak punya kedekatan dengan ormas dan pilihan politiknya.
Hal ini makin menguat dengan minimnya sikap kritis pada setiap berita yang muncul di media sosial, karena suburnya budaya copas atau salin ia hanya mudah menyebarkan sebuah link berita tapi tak mampu mengendalikan akal sehatnya untuk menyeleksi dan mengkritisinya. Konsekuensinya, ia terjebak dalam lorong gelap yang tak membuka cahaya terang, karena kebenaran menutupi emosi dan perasaannya. Buktinya? Betapa banyak berita hoax yang selama ini merusak dan menghantam privasi seseorang dan dibenarkan oleh netizen, betapa banyak ulama dan umara yang menjadi bulan-bulanan caci makian karena matinya kebenaran di akal sehat dengan berita hoax.
Oleh karena itu, berhasil tidaknya pembangunan mental kemanusiaan yang beradab di era digital salah satunya dipengaruhi oleh kesiapan dan kemampuan masyarakat menggunakan akalnya untuk menyeleksi setiap berita, menggunakan nalar kebudayaannya untuk mengedepankan nilai kemanusiaan dan nurani sosialnya untuk menumbuhkan sensitifitas sosial.