Fenomena Agamawan Pandir di Media Sosial

Fenomena Agamawan Pandir di Media Sosial

Bagaimana mungkin kita bisa memercayakan keselamatan dunia-akhirat pada sebagian agamawan yang tidak mampu mengurai kompleksitas dunia?

Fenomena Agamawan Pandir di Media Sosial

Sejak adanya media sosial, wacana keagamaan di ruang maya cenderung lebih kental dengan warna merah dibanding warna biru. Narasi yang berbentuk name-calling, emosi moral dan fantisme jauh lebih dominan dibanding kedalaman muatan konten, ketelitian dalam berbicara dan mempertimbangkan.

Di saat yang sama, arus modernitas juga sedang pada puncaknya membasahi masyarakat luas. Kekhawatiran ekonomi, kegelisahan fertilitas, kegugupan dalam menghadapi tantangan demografi, dan ketidak-pastian nasib adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh masyarakat modern. Mau tidak mau, mereka terbiasa berpapasan dengan ketimpangan, ketidak-adilan, dan ketidak-bermoral-an.

Dalam realitas yang pahit itu, ruang maya sekaligus agama yang merah menawarkan ‘kenyataan’ alternatif yang lebih nyaman. Ruang maya memberikan kesempatan bagi siapapun untuk menjadi hiper-individualistik yang impulsif, tidak perlu menggunakan topeng kepribadian, dan bebas untuk memilih kenyataan dunia yang diimpikan.

Sementara itu, agama yang berwarna merah menawarkan kepastian imbalan yang seakan bebas dari prinsip matematika materialistik kehidupan modern. Namun tawaran ini sering kali berasal dari kepentingan partisan yang tertarik mengeksploitasi kegelisahan masyarakat modern, sehingga agama kerap terkena praktik cherrypicking.

Misalnya, tentang isu ekonomi: firman tentang imbalan pahala dan pelipat-gandaan kekayaan karena sedekah mendapat garis-bawah yang lebih tebal dibanding firman tentang pentingnya ikhlas, pentingnya memutus tali keterikatan materil, dan pentingnya menjinakkan naluri ekonomi libidinal.

Contoh lainnya adalah tentang kegelisahan fertilitas: lagi-lagi firman tentang imbalan pahala/surga dan pelipat-gandaan rezeki jauh lebih diminati dibanding firman tentang pentingnya mengasah kemampuan membaca zaman (iqra), pentingnya mengenali diri sendiri (‘arofa nafsahu), dan pentingnya membangun kompetensi untuk menghadapi antinomi dalam—katakanlah misal—wacana nikah muda.

Firman-Nya tidak salah, tapi proporsi penyajiannya kurang tepat. Implikasinya, alih-alih menawarkan kepastian instan yang lepas dari prinsip matematika materialistik kehidupan modern, agama yang disajikan oleh agamawan cherrypicker justru terjebak pada prinsip matematika materialistik yang lebih tidak sopan, yakni: secara implisit, amal perbuatan dan ibadah tidak lebih sebagai upaya transaksional seorang hamba dengan Tuhannya dalam rangka menyelamatkan diri dari ketidak-nyamanan.

Ini tidak salah, tapi bingkai prinsip yang seperti itu terlalu hitam-putih untuk berpacu dengan dunia yang berwarna, dan terlalu percaya diri untuk menerka maksud Tuhan.

Akibatnya, pertama, kompas moral kita juga akan hitam-putih dan tidak inklusif; kedua, resiko termakan sikap sombong dan keras kepala juga akan semakin besar; ketiga,tendensi menggunakan agama untuk menutupi insecurity kita karena gagap menghadapi kenyataan juga akan semakin tinggi; dan keempat, penghambaan kepada Tuhan cenderung hitung-hitungan.

Tawaran cara beragama yang demikian beresonansi dengan tawaran media sosial yang telah disebutkan di awal tadi. Resonansinya menimbulkan masalah, baik di tataran pasar agamawan dan di tataran umat.

Pasar agamawan mengalami disrupsi karena tersusupi lone-wolves berjubah putih yang gemar menyebut nama Tuhan sebagai kartu AS untuk melarikan diri dari fact-checking dan dari kritik historis yang mengevaluasi klaim-klaimnya.

Di tataran umat, uniknya, tidak sedikit umat yang melegitimasi kartu AS tersebut. Faktornya adalah: 1) tidak sedikit lone-wolves dan sebagian umat yang tidak memiliki wawasan semiotika untuk mengarungi kompleksitas dunia digital; dan 2) media sosial berhasil melebur sakralitas palsu milik lone-wolves menjadi makanan bagi jiwa-jiwa impulsif yang dirundung ketidak-pastian. Jadi, pada satu sisi, afek depresif karena penggunaan media sosial yang berlebihan dan afek depresif karena kecemasan modernitas memang saling berkaitan dengan penerimaan wacana keagamaan yang berwarna merah.

Media sosial dan desakan modernitas telah mengubah wajah agama. Dulu, agama adalah penuntun yang memberdayakan umatnya untuk menggalang peradaban dan kompeten menghadapi masa depan. Sekarang, apa yang sebagian besar ditawarkan oleh media sosial adalah agama yang mematri kompas moral hitam-putih, dan memisahkan diri dari sikap-sikap terpelajar.

Sekitar 700 tahun lalu, di magnum opus berjudul Muqaddimah, Ibnu Khaldun sudah memberikan gambaran jelas: unsur terpenting dalam membangun peradaban adalah kebenaran. Artinya, orang harus berhati-hati atas prejudisnya, dan sikap investigatif terhadap reabilitas sesuatu harus dipegang teguh.

Al-jar wat ta’dil, atau sikap kritis, kata Ibnu Khaldun. Ada lima kemungkinan penyebab kesalahan prejudis: 1) keberpihakan fanatis, 2) ketidak-telitian dalam mengobservasi, 3) berasumsi tanpa dasar, 4) ignorance, atau kecuekan, dan 5) monopoli kuasa pengetahuan. Di bagian awal kitabul ‘ibar, tentang hakikat peradaban, Ibnu Khaldun menulis begini:

Jika seorang murid mengetahui hakikat peristiwa, kondisi ataupun pra-syarat yang melatar belakangi suatu fenomena, hal ini akan membantu dirinya dalam membedakan kebenaran dan ketidak-benaran dalam investigasi historis suatu informasi.

Di tahun 1985, Al-jar wat ta’dil mengalami pelunturan yang luar biasa. Dengan gaya penyajian informasi yang cepat, kaotik dan mengedepankan spectacle, era televisi memarjinalkan kemampuan penalaran, logika, ketertataan dan mematikan sensitivitas terhadap kontradiksi informasi. Di era televisi, agamawan yang tidak terpelajar, bermodal pakaian, dekat dengan lingkaran artis dan yang bermodal banyak menyebut nama Tuhan dibolehkan naik panggung.

Kultur media sosial hari ini dibangun diatas tanah warisan kultur era televisi. Ruang mediatifnya memfasilitasi fitur anonim, ketidak-bertanggung-jawaban dan perilaku paranoid: mencaci-maki untuk melukai, mencari-cari kesalahan orang lain, dan meninggikan intonasi bicara tanpa muatan yang substansial. Di media sosial, bahkan orang yang martabatnya baik pun kadang merasa tergoda untuk merespon personal attack yang kejam.

Cara kerja media sosial yang berdasar pada prinsip pasar persaingan atensi dan berdasar pada prinsip akumulasi data profiling, memberikan alasan kenapa konten bermuatan drama, sensasi dan kontroversi dapat menjaring perhatian khalayak lebih banyak dan lebih akurat tersebar ke individu-individu yang impulsif dibanding konten yang bermuatan positif. Akibatnya, agama kerap dijadikan ladang kontroversi sensasional oleh lone-wolves berjubah putih, dan kualitas kajian agama di media sosial cenderung polutif.

Di media sosial, pra-syarat olah Adobe After Effect dan Photoshop jauh lebih menyokong dibanding pra-syarat sikap terpelajar. Hal ini mengindikasikan betapa media sosial dapat menjungkir-balikkan moralitas agama. Hanya karena ia mengutip kata Allah, bukan berarti ia benar. Hanya karena berbaju putih, bukan berarti ia sakral. Hanya karena musik dan color-tone-nya syahdu, bukan berarti ia transenden.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita masih tetap bisa memercayakan keselamatan dunia-akhirat pada sebagian agamawan yang tidak mampu mengurai kompleksitas dunia? Atau, moralitas masyarakat seperti apa yang ingin dibangun diatas muatan agama yang secara terang-terangan menghardik Al-jar wat ta’dil?