Ulama berbeda pendapat mengenai kenajisan anjing: ada yang mengatakan najis; ada yang mengatakan suci; dan ada pula yang memerinci hukumnya. Madzhab Syafi’i dan Hanbali menegaskan anjing najis. Madzhab Maliki malah sebaliknya, anjing tidak najis. Sementara Madzhab Hanafi memerinci hukumnya: tubuh dan kulitnya tidak najis, tapi liurnya najis.
Ibnu Hazm termasuk ulama yang berpendapat anjing suci dan tidak najis. Pendapatnya itu ditulis dalam tulisan pendek berjudul Risalah al-Kalb Thahir, risalah tentang kesucian anjing. Dalam kitab tersebut, Ibnu Hazm mengemukakan tiga argumen penting terkait kesucian anjing:
Pertama, tidak ada dalil tegas dalam al-Qur’an dan hadis yang menunjukan kenajisan anjing. Andaikan anjing najis, mengapa Allah tidak menyebut hukumnya secara jelas dan tegas dalam al-Qur’an atau melalui lisan Rasulnya.
Kedua, andaikan anjing najis, mengapa Rasulullah membolehkan memakan hewan yang ditangkap oleh anjing pemburu asalkan membaca bismillah sebelum melepasnya. Andaikan anjing najis, tentu Rasul tidak akan membolehkannya atau menyuruh membersihkannya terlebih dahulu.
Ketiga, kalau anjing dikatakan najis dengan alasan adanya hadis yang menyuruh untuk membersihkan jilatan anjing sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah, maka argumentasi itu juga tidak benar. Karena belum tentu setiap sesuatu yang diperintahkan untuk membersihkan lantas hukumnya menjadi najis. Misalnya, setiap orang yang meninggal wajib dimandikan. Hukum wajib memandikan mayat dalam hal ini tidak lantas membuat mayat menjadi najis. Buktinya, mayat tetap suci.
Kita tentu tidak harus setuju dengan pendapat Ibnu Hazm ini. Sebab ulama dari dulu sudah berbeda pendapat terkait status anjing: apakah suci atau tidak, dan bagaimana hukum memeliharanya. Tapi paling tidak dengan membaca kitab yang ditulis Ibnu Hazm ini pikiran kita menjadi lebih terbuka dan tidak mudah mengklaim saudara muslim yang memelihara anjing sebagai perusak Islam beserta tuduhan keji lainnya.