Tidak Istikamah dalam Beribadah, Lelaki Ini Ditegur Rasulullah dalam Mimpi

Tidak Istikamah dalam Beribadah, Lelaki Ini Ditegur Rasulullah dalam Mimpi

Tidak Istikamah dalam Beribadah, Lelaki Ini Ditegur Rasulullah dalam Mimpi

Seorang laki-laki, sebut saja Saifullah, beribadah kepada Allah SWT dalam waktu yang lama. Seratus tahun. Ia melakukan ibadah ini bersama dengan banyak orang di suatu tempat khusus (pertapaan).

Suatu ketika, setan menggodanya. Akibatnya, ia merasa perlu untuk “turun gunung” dan keluar dari tempat ibadahnya itu. Dengan niatan bersilaturrahim kepada teman-temannya yang lain. Yang tidak termasuk anggota tempat pertapaan itu.

Ia meninggalkan tempat pertapaan. Keistikamahan ibadah yang selama ini telah dikerjakan ia lepas begitu saja. Ia temui teman-temannya. Setelah bertemu mereka di suatu lokasi, ternyata ada seorang teman (anggap saja Fulan) mengajak Saifullah untuk bermain ke rumahnya. Saifullah menyanggupi.

Saifullah dibujuk oleh Fulan untuk tetap tinggal di sana dalam waktu tujuh bulan. Tujuanya untuk membantu suatu pekerjaan yang sedang dilakukan Fulan. Saifullah tak bisa menolak. Ia hanya bisa mengiyakan ajakan dan permintaan tersebut.

Pada satu dini hari, Saifullah tiba-tiba menjerit. Sangat kencang. Sontak kejadian itu membuat geger seisi rumah Fulan. Fulan pun segera menemuinya.

“Ada apa?,” tanya Fulan kepada Saifullah.

“Aku merasa ada sebuah lampu yang dinyalakan kepaku,” jawab Fulan.

Saifullah kemudian bercerita. Ia mengatakan, seseorang menemuinya dalam mimpi. Orang tersebut sangat tampan. Pakaiannya pun bersih sekali. Orang itu mengaku dirinya Nabi Muhammad SAW. Saifullah tentu percaya seratus persen. Pasalnya, setan tak bisa menyerupai Nabi.

Saifullah menuturkan, Nabi bertanya kepadanya, “Kecacatan/kekurangan apa yang ada pada Allah SWT dan rasul-Nya, sehingga membuatmu meningalkan ibadah yang selama ini kamu kerjakan?. Cepatlah kembali ke tempat ibadahmu semula. Sebelum ajal menjemputmu!”.

Setelah menceritakan apa yang dialami dalam mimpi, Saifullah pun memutuskan untuk kembali ke tempat ibadahnya. Ia pergi seorang diri. Tanpa bekal yang cukup. Ia menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Melewati sebuah padang Sahara yang luas.

Untuk mencukupi kebutuhannya, ia harus rela memakan daun-daunan seadanya. Dan hanya minum bila air hujan turun. Dalam satu kesempatan dalam perjalanannya, ia berdoa, “Ya Allah, tubuhku penuh kecacatan. Hatiku begitu sedih. Lisanku selalu basah oleh dosa. Aku memohon kepadaMu, ampunilah aku. Wahai Zat yang maha pengampun!”

Perjalanan yang ia tempuh pun selesai. Ia sampai ke tempat ibadahnya yang dulu. Selain melihat teman-temannya yang sedang berkumpul di suatu ruangan, ia juga melihat ada sebuah tulisan (yang menempel di tembok). Tulisan itu cukup membuatnya terhenyak dan merenungi isinya. Tulisan itu berbungi:

“Jika engkau bertawakkal kepadaKu, maka Aku akan mencukupimu”

“Jika engkau lebih memilih yang lain daripada Aku, maka Aku akan meninggalkanmu”

“Jika engkau menghadap kepadaKu, maka Aku akan menerimamu”

“Jika engkau memohon ampun, maka Aku akan mengampunimu”

“Jika engkau menginginkan apa yang Aku miliki, maka Aku akan memberimu”

Kisah ini terdapat dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin al-Qalyubi. Lewat kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa hendaknya jangan pernah meninggalkan keistikamahan yang selama ini kita kerjakan.

Istikamah memang mudah diucapkan, namun dalam melakukannya diperlukan perjuangan yang tidak ringan. Bisa jadi, yang kita kerjakan hanya dua rakaat shalat malam. Namun bila itu dikerjakan secara konsisten (istikamah), maka nilainya akan lebih tinggi dari pada belasan atau puluhan rakaat yang hanya dilakukan sekali saja.

Kisah di atas juga menyebutkan bahwa godaan istikamah bisa datang darimana saja. Bahkan dari sesuatu yang kita anggap baik. Setan membuat kita merasa kebaikan baru yang akan kita kerjakan itu lebih baik daripada istikamah kita selama ini.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Amal (kebaikan) yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu meski sedikit” (HR. Muslim)

 

Sumber:

Al-Naisaburi, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj bin al-Qusyairi. Shahih Muslim. Vol. 2. Beirut: Dar al-Jail, 1334 H.

al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, t.th.