Belum lama ini video Ustadz Abdussomad tentang suap “syar’i” kembali ramai diperbincangkan di dunia maya. Tak berselang lama dari video yang diunggah di laman seperti youtube ini menuai banyak tanggapan. Bahkan Febri Hendri dari Indonesian Coruption Watch (ICW) pun bersuara. “Pandangan seperti itu sangat keliru. Uang yang dibayarkan dalam bentuk apa pun, dalam kondisi apa pun untuk bisa diterima dalam satu institusi meraih posisi tertentu, tetap haram dan itu termasuk bagian dari korupsi,” kata Febri seperti dikutip dari Media Indonesia (9/10).
Dalam tulisan ini saya akan menanggapi dari sisi lain yang mungkin belum banyak dikemukakan orang lain. Bagi saya ada beberapa kata kunci dan penting yang menjadi pertanyaan mendasar dari logika yang dikemukakan UAS.
Pertama, pembagian suap konvensional dan suap “syar’i”.
Dalam kamus al-Misbah, risywah (suap) adalah harta atau sesuatu yang diberikan seseroang kepada hakim atau selainnya dengan tujuan memberikan keputusan yang menguntungkannya, atau mendorongnya agar memutuskan hukum sesuai keinginannya.
Dari definisi ini jelas bahwa risywah ya tetap risywah. Tidak ada pembagian konvensional dan syar’i.
وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطاؤها كذلك لأنه إعانة على معصية أما لو رشي ليحكم بالحق جاز الدفع وإن كان يحرم على القاضي الأخذ على الحكم مطلقا أي سواء أعطي من بيت المال أم لا ويجوز للقاضي أخذ الأجرة على الحكم لأنه شغله عن القيام بحقه
Menerima suap hukumnya haram. Yaitu, sesuatu yang diberikan kepada seorang hakim dengan tujuan agar hakim memberikan putusan hukum yang tidak sesuai atau mencegah hakim memutuskan kebenaran. Dalam hal demikian memberikan suap kepada hakim adalah haram. Sebab termasuk menolong (atau membuka) jalan kemaksiatan. Sedangkan apabila ia menyuap dengan tujuan agar hakim memutuskan hukum yang benar, maka dibolehkan memberikan sesuatu kepada mereka. Meski demikian, hakim secara mutlak diharamkan mengambilnya, baik uang tersebut diambilkan dari baitul mal ataupun bukan (pribadi).
Teks yang dikutip dari kitab Nihayah az-Zain karya Syekh Nawawi Banten di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya, hukum memberi risywah sebagaimana menerimanya. Hanya saja, memberi risywah dibolehkan dalam kasus agar seorang hakim menjatukan putusan hukum yang benar. Meskipun dibolehkan memberi risywah dalam keadaan ini, menerimanya –bagi hakim- tetap diharamkan.
Yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa Syekh Nawawi dan juga sumber-sumber lain tidak membuat pembagian risywah konvensional dan risywah syar’i(ah). Di sisi lain Ulama Banten Abad 19 ini juga mencontohkan kasus tentang memberi risywah yang dibolehkan adalah yang ditujukan agar tercapainya keadilan dalam putusannya. Bukan terkait dengan risywah yang melenggangkan jabatan seseorang. Jadi, titik tekannya adalah keadilan.
Kedua, menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau ASN (Aparatur Sipil Negara) adalah hak bagi seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu. Mengutip UAS, orang yang IP(K)-nya tiga koma sekian, pernah mengabdi (menjadi honorer selama sekian tahun, maka berhak menjabat menjadi PNS yang sah dilakukan dengan cara menyuap).
(و)منها (أخذ الرشوة) ولوبحق (واعطاؤها) بباطل -الى ان قال- فمن اعطى قاضيا أوحاكما رشوة أو أهدى اليه هدية فان كان ليحكم له بباطل أو ليتوصل بها لنيل مالا يستحقه أو لأذية مسلم فسق الراشى والمهدى بالإعطاء والمرتشى والمهدى اليه بالاخذ والرائش بالسعى , وان لم يقع حكم منه بعد ذلك أو ليحكم له بحق أو لدفع ظلم أو لينال ما يستحقه فسق الآخذ فقط ولم يأثم المعطى لاضطراره للتوصل لحق بأى طريق كانقضاءه إنما نفذ للضرورة ولا كذلك المال اه بجيرمي
Abdulllah bin Husain dalam Is’ad ar-Rafiq menggambarkan bahwa seseorang yang memberikan sesuatu kepada seorang qadhi atau hakim atau memberikan hadiah kepada mereka dengan tujuan untuk memberikan keputusan yang tidak adil atau untuk memperoleh sesuatu yang bukan haknya atau melukai orang lain, maka si pemberinya termasuk fasik dan penerimanya termasuk kategori penerima suap. Sebaliknya, bila tidak bertujuan seperti itu atau agar si hakim memberikan putusan hukum yang adil, melawan kezaliman, atau memperoleh apa yang menjadi haknya, maka penerima pemberiannya termasuk fasiq dan pemberinya tidak berdosa sebab kondisi yang memaksanya untuk mendapatkan haknya dengan cara demikian sebagaimana memperoleh sesuatu dikarenakan kondisi darurat .
Husain Sakatah dalam artikelnya berjudul ar-Risywah fi Mizan as-Syariah al-Islamiyyah, mengungkapkan modus-modus perkembangan risywah di era modern ini yang salah satunya adalah persoalan menyuap agar menduduki jabatan tertentu. Ia mencontohkan beberapa modus penyuapan dalam berbagai pekerjaan yang salah satunya adalah penyuapan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dan hukumnya haram.
Kembali kepada logika yang digunakan UAS bahwa menjadi PNS bagi seseorang yang memiliki standar kualifikasi sebagaimana di atas adalah sebuah hak. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kualifikasi yang sama? Ada berapa ratus, berapa ribu orang yang memiliki kualifikasi tersebut tapi tidak melakukan penyuapan? Apakah yang dilakukan oleh penyuap tersebut tidak merugikan orang lain?
Satu kaidah umum yang menarik untuk melanjutkan nalar ahli fikih ini adalah:
ماحرم اخذه حرم اتخاذه
Sesuatu yang haram untuk diterima maka diharamkan pula memberinya
Dalam teks-teks kitab fikih terjadi pemilahan dalam pemberian suap untuk mencapai keadilan dalam sebuah putusan hukum. Yani, pemberinya diperbolehkan memberi suap sementara penerimanya tetap dihukumi haram menerimanya. Pertanyaannya, bagaimana dengan kaidah di atas? Apakah kasus ini masuk kaidah itu atau termasuk kekecualian? Jika masuk, maka ya percuma saja ada hukum kebolehan toh pada akhirnya juga dilarang karena ada kaidah umum ini. Jika tidak, ini juga percuma sebab meskipun pemberi suap dibolehkan, toh tetap diharamkan untuk diambil oleh si penerima?
Di sisi lain, kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi di negeri ini harus mendapatkan dukungan dari masyarakat secara luas. Di tengah kondisi buruknya sistem tata kelola pemerintahan ini, sudah seharusnya kita berjuang bersama untuk mewujudkan Negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika bukan dimulai dari diri kita, lalu siapa lagi?
Oleh karenanya, hemat saya, jawaban UAS atas pertanyaan suap bagi pejabat CPNS justru menimbulkan mafsadat yang nyata, bukan?