Ketika masih menjadi siswa, seringkali para guru menyampaikan bahwa kita umat Islam di Indonesia merupakan kelompok beragama mayoritas dibanding umat lainnya. Hal senada pula disampaikan oleh kiai-kiai pesantren, yang tujuannya tak lebih sebatas bentuk syukur atas anugerah ilahi berupa hidayah terhadap penduduk Indonesia.
Sebagai pengejawantahan syukur tersebut, oleh para guru dan kiai kita diajak senantiasa untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial dan keutuhan negara ini. Sebab sebagaimana di dalam sejarah, perjuangan meraih kemerdekaan Bangsa ini melibatkan campur tangan umat Islam. Maka sebagai kelompok mayoritas, hendaknya memberikan tauladan untuk tidak mengusik persatuan ini.
Namun, kisaran tiga sampai lima tahun belakangan, terminologi mayoritas tidak lagi digunakan sebagai sikap syukur. Oleh oknum tertentu, term mayoritas dijadikan alat propaganda dan kepentingan politik untuk mendapatkan dukungan dan suara dalam pemilihan umum.
Bahkan, lebih dari itu, slogan “umat Islam merupakan penduduk mayoritas di Indonesia” menjadi senjata untuk mendeskriminasi kelompok minoritas. Dengan membawa-bawa label agama Islam, ajarannya, serta umat, term tersebut semakin ampuh untuk menyudutkan kelompok minoritas.
Sikap seperti itu cenderung menginginkan untuk tidak memberikan “panggung” kepada orang selain beragama Islam. Dalam hal apa pun, baik privat maupun publik, jika “yang mayoritas” merasa dirugikan –apalagi diusik, maka sikap arogansinya sebagai mayoritas akan muncul. Entah berupa ucapan, pun berupa tindakan.
Padahal, dalam diskursus pos-kolonial, kata mayoritas–minoritas merupakan terminologi yang acap kali digunakan oleh sebuah kelompok untuk “mendominasi” kelompok yang lain. Sikap ke-aku-an (atau rasisme) yang begitu akut sampai merasa berhak untuk mendominasi merupakan penyakit dasar negara-negara penjajah (kolonial) untuk menguasai negara yang hendak dijajahnya.
Oleh karena itu, penggunaan kedua kata tersebut untuk konteks NKRI lebih baik diminimalisir, apalagi ketika bersinggungan dengan politik praktis. Tentu, ini menjadi PR para tokoh dan elite untuk menghindari kesalahan interpretasi ketika kata mayoritas dan minoritas digaungkan di depan publik. Serta ketidaktepatan pengaplikasiannya dalam menyikapi problematika kebangsaan.
Selain dua term di atas yang dapat mengandung polemik, kata kafir juga termasuk di dalamnya. Akhir-akhir ini term ini pun makin ramai disematkan. Namun lagi-lagi, persoalannya adalah bukan pada kata dan objek yang disematkannya. Melainkan penggunaan kata tersebut untuk konteks NKRI.
Kanjeng Nabi ketika merumuskan Piagam Madinah, pada Pasal 1 melabeli penduduk Madinah sebagai satu umat. Artinya, beliau tidak menggunakan term kafir kepada penduduk Madinah yang tidak memeluk Islam. Sebab bagi Nabi, term tersebut sangat sensitif dan bisa menggagalkan misi beliau untuk mempersatukan penduduk Madinah pada waktu itu.
Dan term tersebut sejatinya merupakan label terhadap kelompok yang hatinya tertutup untuk menerima ajaran Islam, yang diejawantahkan melalui pembangkangan dan perlawanan terhadap baginda Nabi. Oleh karena itu, ketika awal-awal tiba di Madinah dan diterima oleh semua golongan penduduk Madinah, mereka yang tidak beragama Islam tidak disebut dan dipanggil kafir sebagaimana di dalam Piagam Madinah.
Hal ini berlaku juga untuk konteks NKRI, yang term kafir tidak lagi disematkan terhadap kelompok yang berbeda agama. Meskipun harus diakui bahwa term tersebut lebih sering digunakan oleh segelintir umat Islam terhadap penganut agama lain.
Sebab ketika sudah berada di bawah NKRI, maka label atau statusnya sudah berubah menjadi masyarakat dan/atau rakyat Indonesia. Sebagaimana diuraikan oleh Gus Muwafiq beberapa hari yang lalu ketika berpidato di istana Bogor dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw, bahwa para ulama kita terdahulu menyebut penduduk Indonesia sebagai rakyat, yang diadopsi dari bahasa Arab berupa ra’iyyah.
Begitu juga menjadi masyarakat (Indonesia) yang berasal dari kata musyarakah, yang memiliki arti bersekutu atau bergabung. Artinya, untuk menjadi sekaligus menjaga keutuhan NKRI, maka mereka yang berada di bawah naungannya lebih pas disebut dengan masyarakat. Karena hanya di tangan mereka lah keutuhan dan persatuan NKRI akan bisa terjamin.
Maka dari itu, terminologi mayoritas, minoritas, dan kafir dalam bingkai NKRI sudah tidak berlaku lagi, dan tidak layak digaungkan dan disematkan kepada sesama rakyat Indonesia. Dengan begitu, kemaslahatan bersama dan stabilitas negara akan dapat terwujud dengan baik.
Wallahu A’lam