Beberapa hari yang lalu, seorang pendakwah dari kalangan “ashabul yamin” kembali mempersoalkan tentang kebid’ahan qunut pada salat subuh. Dia berpendapat bahwa amalan tersebut tidak didasari oleh dalil yang kuat alias dhaif. Sehingga orang yang melakukannya dianggap sebagai pelaku bid’ah yang keliru dan tidak pantas untuk diikuti.
Lagi-lagi persoalan yang ia permasalahkan adalah hal-hal sepele yang sejak dahulu sudah selesai dibahas oleh para ulama. Imam Ibn Rusyd dalam Bidayahnya dan Imam Nawawi dalam Majmu’nya telah menjabarkan secara detail khilafiyah ulama terkait hal itu lengkap dengan dalil dan sebab perbedaan mereka. Namun entah kenapa pendapat bid’ah yang dipilih oleh sang penda’i.
Saya tidak akan mengulangi khilafiyah ulama tersebut dalam tulisan ini karena beberapa tulisan lain serta media-media kajian online juga sudah banyak yang mempublishnya. Namun yang ingin saya sampaikan dalam tulisan pendek ini adalah tentang sebuah kaedah fikih yang mungkin terlupakan oleh sang da’i ketika menyampaikan petuah bid’ahnya.
Kaedah yang dimaksud adalah kaedah “لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه” yang artinya “hal-hal yang diperselisihkan (khilafiyyah) tidak dapat diingkari, (akan tetapi) yang harus diingkari itu adalah hal-hal sudah disepakati (oleh para ulama)”. Kaedah ini, menurut kami, mengandung spirit kemaslahatan yang begitu besar karena dapat meredam perpecahan antar golongan yang berbeda pendapat.
Kita tidak perlu mengingkari (menyalahkan) pendapat ulama yang berbeda pendapat dengan kita, karena selama hal tersebut tergolong sebagai masalah ijtihadiyah, maka perbedaan pendapat merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan jangankan dalam persoalan ijtihadiyah, dalam persoalan yang sudah diijmak oleh ulama pun, menurut sebagian pendapat, masih terbuka untuk diinterpretasikan ulang.
Selain itu, hasil ijtihad selagi itu bersumber dari hasil penelitian seorang ulama yang mumpuni dibidangnya serta menggunakan metode-metode istimbat hukum yang sesuai dengan cabang keilmuannya, maka harus dihargai dan ditempatkan sebagai sebuah varian pendapat. Bukannya direndahkan apalagi ditolak mentah-mentah seperti tidak ada artinya sama sekali.
Di sinilah letak kearifan Imam Abdul Wahhab Sya’rani dalam kitab Mizan al-Kubranya. Sekalipun dalam bidang fikih beliau bermazhab Syafi’i, namun tidak satupun pendapat di luar Mazhab Syafi’i yang beliau tolak dan abaikan begitu saja. Tapi malahan beliau inventarisir sebagai sebuah dinamika berpikir dan difatwakan untuk mereka yang cocok secara kondisi dan situasi untuk mengamalkannya.
Selain itu, kita bersama juga harus memperbanyak kajian terkait fikih khilafiyah serta fikih dakwah. Karena dengan menguasai fikih khilafiyyah seseorang bisa arif dalam memahami perbedaan pendapat dan begitu juga dengan memahami fikih dakwah seseorang bisa santun dalam mengeluarkan pendapat sehingga dia tidak meresahkan ataupun memecah belah umat. Kun shalihan wa muslihan.!!