The Trial of the Chicago 7 dan Realitas Politik di Indonesia

The Trial of the Chicago 7 dan Realitas Politik di Indonesia

The Trial of The Chicago mendedahkan realitas politik yang tidak jauh dengan kondisi kita saat ini; demo yang tiada henti-henti dan politik hukum yang aneh

The Trial of the Chicago 7 dan Realitas Politik di Indonesia

The Trial of The Chicago baru tayang di Netflix beberapa hari lalu, menjadi menarik menontonnya karena ceritanya seperti nyambung dengan keadaan beberapa negara, termasuk Indonesia belakangan ini.

Film garapan sutradara Aaron Sorkin, yang berlatar tahun 1968 ini menceritakan kisah nyata peradilan para aktivis yang menentang invasi perang Amerika ke Vietnam, dan demonstrasi dirancang bersamaan dengan berlangsungnya konvensi nasional partai Demokrat Amerika saat itu.

Chicago 7 adalah nama yang merujuk kepada ketujuh aktivis, Abbie Hoffman, Jerry Rubin, Tom Hayden, Rennie Davis, David Dellinger, Lee Winer, dan John Froines. Mereka berlatar belakang campuran dari mulai “akademis” sampai “hippies”.

Sebenarnya masih ada satu tokoh lagi, dan berdelapan dengan Bobby Seale, pentolan Black Panther, yang dipaksa pengadilan menjadi satu kelompok, namun kemudian namanya dipisahkan.

Sebelum menonton, saya menyangka film ini akan menjadi suguhan yang depresif, namun ternyata hal tersebut tidak seluruhnya benar. Apalagi dengan peran nyleneh dari Abbie Hoffman, Jerry Rubin di persidangan yang beberapa kali meledek hakim.

Bahkan alur film ini salah satu bagiannya adalah menjadi cerita tersendiri Abbie Hoffman yang disimbolkan dengan adegan dirinya ber-stand up comedy.

Proses peradilan yang menjadi inti cerita film ini, dalam kisah nyatanya memakan waktu berbulan-bulan, durasi April 1969 hingga Februari 1970, yang kemudian diperas oleh Aaron Sorkin menjadi potongan-potongan yang ciamik.

Dari tiap potongan adegan tersebut, kemudian digambarkan bersamaan dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk beberapa footage asli yang disisipkan, dan terasa semakin emosional.

Jika kalian belum pernah ikut demonstrasi, film ini menyuguhkan realitas dan intrik dari proses penyampaian pendapat ini. Bahwa demonstrasi yang awalnya damai bisa menjadi kerusuhan tidak semata karena urusan spontanitas.

Dalam sidang tersebut, intel dan polisi yang bergabung menyamar menjadi salah satu peserta demonstran juga dihadirkan untuk menjadi saksi.

Namun, kejadiannya tidak seperti demonstrasi UU Ciptaker kemarin yang videonya viral, di mana konon ada polisi menyamar jadi demonstran dan malah digebuki polisi juga. Sungguh amsyong sekali pemirsa.

Balik lagi ke film, muatan tentang perbedaan prinsip dari sesama demonstran juga disorot menjadi sesuatu yang terasa genuine.

Mendekati akhir film, eskalasi emosi semakin meninggi. Dari mulai perdebatan siapa yang harus bersaksi, dan penemuan bukti rekaman yang bisa melemahkan.

Dan pada akhirnya, segala teknis dan intrik tadi menjadi buyar, tersisa dua kutub substansi antara mereka yang memprotes perang sebagai bencana kemanusiaan, dan mereka yang mencari pembenaran.

Saat Tom Hayden membacakan sekian banyak mereka yang tewas dalam perang Vietnam satu persatu, dan diikuti sikap berdiri dari peserta sidang yang bersimpati sambil bertepuk tangan, hakim yang berulang kali mengetok palu seperti menjadi representasi penguasa yang bebal.

Tom Hayden, seperti versi lain dalam mengucapkan, “kita sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya..”

Film  The Trial of The Chicago berakhir dengan rasa haru, kepalan tangan, riuh tepuk tangan, dan juga ketokan palu hakim yang terus berulang menyuruh diam.

Ketokan palu hakim tadi seolah seperti menyalak:

“kalau menurut pemerintah salah, ya kalian salah..!!”