Tragedi di Mako Brimob yang merenggut lima nyawa polisi membetot perhatian publik. Bagaimanapun kerusuhan itu adalah kekejian luar biasa yang sebetulnya sukar diterima akal sehat. Menyimpan kebencian boleh jadi adalah hal manusiawi, namun meluapkan kebencian dengan membunuh sesama manusia patut dipertanyakan kewarasannya. Lalu, bagaimana media islam yang cenderung konservatif seperti Hidayatullah, Eramuslim dan lain-lain memberitakan teror ini?
Sebelum ke sana. Kita seyogyanya mengakui, sebagai penegak hukum, pihak kepolisian tidak lepas kekurangan dan kesalahan. Kerja mereka tidak sempurna. Hanya saja, membunuh lima orang polisi dan menyandera salah seorang dari mereka (meski akhirnya dibebaskan) memantik banyak pertanyaan. Misalnya, apakah polisi dianggap simbol thogut yang boleh dibunuh begitu saja?
Sukar menebak nalar yang digunakan para pembunuh polisi itu. Apakah mereka memandang polisi adalah seburuk-buruk manusia dan sesesat-sesatnya pekerjaan? Para pembunuh itu seperti tak peduli jika salah satu dari polisi yang mereka bunuh adalah seorang ustad. Atau, lebih mendasar, mereka seperti tak peduli jika polisi-polisi yang mereka bunuh itu punya anak-istri yang mesti dihidupi dan punya keluarga yang menunggu di rumah.
Selepas gegeran itu, kiranya penting bagi kita menyimak bagaimana sejumlah portal berlabel Islam memberitakan kerusuhan di mako brimob.
Eramuslim membuat “tulisan alternatif” dengan sudut pandang dari narapidana.
Diwakili Tim Pengacara Muslim, mereka menyatakan bahwa kerusuhan itu adalah akumulasi dari sikap tidak menyenangkan pihak kepolisian. Mereka menyoal makanan yang jauh dari layak, kesulitan menjenguk napi dan lain-lain. Baiklah, suara-suara itu, andaikan memang terbukti benar, perlu juga kita dengar. Tapi, tanpa keberimbangan tulisan, Eramuslim seakan memaklumi kerusuhan itu terjadi.
Sepanjang pengamatan, tidak ditemukan di laman mereka berita dari perspektif polisi. Seakan lima polisi yang meninggal tidak mengusik mereka dan tidak berarti apa-apa. Jika mereka mendaku diri melakukan kerja jurnalistik, semestinya jurnalisme harus memihak. Memihak kebenaran dan kemanusiaan. Rasa-rasanya hal itu tak mereka lakukan
Mereka justru menurunkan tulisan “tidak berfaedah” yang mempertanyakan keselamatan Ahok di mako brimob. Seperti tak ada tulisan yang lebih penting dari itu. Tidak jelas juga apa maksud kalimat pernyataan yang dijadikan sebagai judul. Apakah mereka berharap Ahok tidak selamat dan menjadi korban kerusuhan? Semoga dugaan saya salah.
Judul Mako Brimob Rusuh, Ahok Selamat? Adalah judul bertipe clickbait. Judul serupa itu biasanya hanya lahir dari media medioker penghamba klik. Berharap pembaca penasaran dan membukanya. Namun setelah dibaca yang ada hanya kekecewaan.
Membelokkan kasus mako brimob ke kasus Ahok rasanya melebar terlalu jauh. Ada nyawa lima polisi yang hilang yang tak mendapat empati. Justru suara dari TPM yang mendapat porsi besar. Nuansa serupa dapat kita temukan pada laman Islampos dan Hidayatullah. Senada dengan Eramuslim, Islampos mengunggah tulisan: TPM Menilai Buntut Kericuhan Mako Brimob, Prosedur Penanganan Napi Terorisme. Mereka juga memilih Fadli Zon sebagai tokoh yang mereka kutip pendapatnya untuk kasus mako brimob. Fadli Zon menganggap Polri kurang transparan mengenai kerusuhan. Bukan kutipan tentang empati terhadap polisi yang meninggal.
Sementara Hidayatullah, menulis dari perspektif napi. Seperti pada tulisan: Pengamat: Kerusuhan Mako Brimob Bisa Jadi Karena Napi Sakit Hati pada Polisi. Napi adalah pihak yang seakan-akan mereka “bela”. Terlebih, kutipan dari pengamat yang mereka tampilkan adalah soal kasus polisi yang diduga melempar Alquran.
Lebih dari itu, yang miris, Hidayatullah tega mewacanakan tragedi mako brimob sebagai “settingan”. Celakanya, narasumber berita mereka adalah penjual/penjaga warung makan dekat mako brimob. Narasumber kedua Hidayatullah adalah seorang tukang ojek online. Sumber yang amat sangat kredibel. Tak bisa dibayangkan jika keluarga polisi yang wafat membaca berita tersebut.
Sebagai muslim, tak salah jika kita berharap portal-portal berlabel Islam itu bisa meningkatkan mutu mereka. Tidak lagi asal-asalan dalam memproduksi tulisan. Sebab, semakin banyak tulisan “tak berfaedah” dan nyaris tanpa empati mereka sodorkan, bukannya menjadi tampil sebagai “pembela Islam”, mereka justru “mencoreng wajah” Islam.