Islam adalah agama yang memerintahkan pengikutnya untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW dulu pernah menegur orang yang shalat malam sampai lupa waktu istirahat. Karena bagaimanapun, tubuh manusia juga butuh istirahat agar selalu sehat.
Demikian pula dalam ibadah. Di dalamnya sebetulnya banyak terdapat keringanan dan toleransi. Tujuannya adalah untuk memudahkan manusia dan mengindarkan mereka dari kesulitan. Maka dari itu, salah satu tujuan dari syariat Islam adalah raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan).
Misalnya, dahulu ada seorang sahabat yang membatalkan shalat lantaran kudanya lari. Dia lebih mendahulukan mengejar kuda ketimbang melanjutkan shalatnya. Alasannya, kalau dia melanjutkan shalat dan tidak mengejar kuda, maka dia tidak akan bisa pulang. Kalau tidak bisa pulang, tentu ini akan merugikan dan membahayakan dirinya.
Pertimbangan semacam ini dibolehkan dalam Islam. Artinya, meskipun kewajiban shalat tidak bisa ditawar, tapi pelaksanaan shalat itu sebetulnya sangat fleksibel dan tidak menyulitkan.
Karena itu, Syekh Izzuddin bin Abdul Salam dalam Qawaidul Ahkam mengingatkan pentingnya memperhatikan mana yang lebih utama dan harus didahulukan dalam ibadah. Kalau dihadapkan pada dua kemaslahatan, usahakan untuk melakukan keduanya. Tapi kalau tidak bisa dahulukan yang paling utama di antara keduanya. Kalau tidak bisa juga, pilih salah satunya.
Penerapan dari prinsip ini adalah bolehnya membatalkan shalat dengan tujuan untuk menolong orang lain. Syekh Izzuddin mengatakan:
تقديم إنقاذ الغرقى المعصومين على أداء الصلوات لأن إنقاذ القرقى المعصومين عند الله أفضل من أداء الصلاة والجمع بين المصلحين ممكن بأن ينقذ الغريق ثم يقضى الصلاة
“Dahulukan menolong orang yang tenggelam ketimbang melaksanakan shalat. Karena menolong nyawa orang tenggelam itu di sisi Allah lebih utama ketimbang shalat. Melakukan dua kemaslahatan ini sangat mungkin dengan cara menolong orang tenggelam dulu, baru setelah itu melakukan shalat.”
Penjelasan ini mengambarkan bahwa syariat Islam sangat memahami manusia dan fleksibel. Karena itu, kalau ada bencana alam, semisal gempa bumi, dibolehkan untuk membatalkan shalat demi untuk menjaga diri dari bahaya bencana alam. Khawatirnya kalau tetap melanjutkan shalat, bangunan masjid atau rumah hancur dan mencelakai diri kita sendiri.
Bahkan, merujuk kepada pendapat Syekh Izzuddin, mendahulukan keselamatan nyawa lebih utama dibanding shalat. Ini bukan berati shalat tidak penting. Tapi, waktu shalat itu sangat panjang dan luas. Boleh dikerjakan selama waktunya belum habis. Sementara nyawa manusia itu hanya sekali seumur hidup.
Baca juga:
Termasuk Larangan Rasulullah: Mengaitkan Bencana dengan urusan politik