Sering Terjadi Gempa, Pertanda Allah Murka pada Jogja?

Sering Terjadi Gempa, Pertanda Allah Murka pada Jogja?

Seorang ustaz berkata bahwa Jogja kerap dilanda gempa. Katanya, itu karena dosa-dosa yg dinormalisasi oleh warganya.

Sering Terjadi Gempa, Pertanda Allah Murka pada Jogja?

Seorang ustaz kondang di Indonesia pernah berujar, Jogja adalah daerah langganan gempa bumi. Gempanya bahkan meluluhlantakkan satu kecamatan.

“Apa sebabnya? Ada dosa apa antum di sini?” ujarnya.

Beberapa tokoh agama lain ikut nimbrung. Kata mereka, di Jogja itu banyak pelanggaran agama yang mungkin orang sudah anggap biasa. Banyak misalnya, satu rumah bapaknya Kristen, ibunya Muslimah, anaknya Buddha. Dan itu dianggap sebagai hal biasa di Jogja.

“Ga boleh orang biarin anaknya murtad, ibunya Muslimah, suaminya kafir. Hukum syariah ga boleh,”

Tokoh agama itu sempat mengutip sebuah riset internasional. Katanya, setelah kota-kota di Amerika, kota dengan praktik seks bebas terbesar se-Asia,  bahkan mengalahkan Thailand, itu kota Jogja.

Ia melanjutkan bahwa gempa Jogja itu sering diikuti oleh gempa-gempa kecil (lindu). Ringkasnya, satu perbuatan dosa saja bisa mendatangkan musibah, apalagi banyak ragam dosa yang bisa ditemukan, dan “dianggap lumrah”, di Jogja.

Pertanyaannya, apakah moralitas benar-benar berkorelasi dengan intensitas bencana yang melanda sebuah daerah?

Jogja Rawan Gempa; Begini Kata Riset

Gempa bumi yang terjadi pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 silam menjadi bencana paling mematikan dalam sejarah modern Yogyakarta. Gempa berkekuatan hampir serupa terjadi minggu lalu (30/6/23). Kabar baiknya, gempa berkekuatan 6,4 SR itu tidak menghancurkan Jogja seperti tahun 2006 lalu. BMKG mencatat pusat gempa berada 86 kilometer barat daya Kabupaten Bantul dengan kedalaman 25 kilometer. Cukup jauh dari kehidupan warga Jogja.

Berdasar data sejarah kegempaan, Yogyakarta sudah 13 kali mengalami bencana gempa bumi dengan skala kerusakan besar dan kecil. Data gempa pertama yang ditemukan terjadi pada 1840, disusul kemudian 1859, 1867, 1875, 1937, 1943, 1957, 1981, 1992, 2001, 2004, 2006 dan tahun ini 2023.

Perlu diketahui, Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang berada di wilayah tektonik aktif di Indonesia, yang dikenal sebagai Cincin Api Pasifik (Ring of Fire). Cincin Api Pasifik merupakan teritori yang mempertemukan tiga lempeng tektonik dunia, yakni Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik.

Mengutip geodesigeodinamik.ft.ugm.ac.id, zona ini memberikan kontribusi sebesar hampir 90 persen dari kejadian gempa di bumi dan hampir semuanya merupakan gempa besar di dunia. Yogyakarta terletak di antara Lempeng Indo-Australia di selatan dan Lempeng Eurasia di utara.

Lempeng benua dan lempeng samudera itu kadang saling mengunci sehingga menyebabkan pengumpulan energi yang berlangsung terus. Suatu saat, batuan pada lempeng tektonik tersebut tidak lagi kuat menahan gerakan tersebut sehingga terjadi pelepasan energi mendadak yang kita kenal sebagai gempa bumi.

Karena wilayahnya terletak di antara dua lempeng ini, Yogyakarta sering mengalami aktivitas seismik (energi patahan kerak bumi) yang signifikan.

Bencana Alam dalam Kaca Mata Al-Qur’an

Sebenarnya, dawuh ustaz di awal tulisan ini sangat berdasar. QS. Asy-Syura: 30 menyebutkan bahwa apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Lagipula, Al-Qur’an merekam banyak tragedi bencana yang menimpa orang-orang terdahulu, misalnya banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh, hujan batu pada kaum Nabi Luth, dan gempa bumi pada umat Nabi Musa.

Namun, Al-Qur’an sendiri menggunakan banyak diksi dalam menyinggung bencana. Misalnya musibah (terulang 10 kali), bala’ (6 kali), dan fitnah (30 kali) dengan pengertian dan konteks penggunaan yang berbeda.

At-Taghabun: 11 dan al-Hadid: 22-23 menggunakan kata “musibah” untuk menjelaskan bahwa segala bencana itu turun atas izin Allah dan sudah tertulis di lauhul mahfudz. Di sisi lain, QS. al-Mulk: 2 menggunakan kata bala’ untuk menjelaskan bahwa bencana itu adalah ujian bagi orang beriman.

Dalam arti lain, bala’ ditimpakan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk meningkatkan derajat seseorang tersebut dihadapan Allah. Dari sini pula dapat dilihat perbedaan antara musibah dan bala’, karena musibah pada dasarnya dijatuhkan Allah akibat ulah atau kesalahan manusia, sedangkan bala’ tidak harus demikian, dan bahwa tujuan dari bala’ adalah peningkatan derajat seseorang di hadapan Allah.

Al-Qur’an juga membincang bencana dengan diksi fitnah. Kata fitnah dalam Al-Qur’an mengandung banyak arti, perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan kekacauan, masuk dalam neraka, siksaan, kesesatan, ujian dan cobaan (nikmat atau kesulitan).

Dalam konteks bencana, salah satu ayat yang menyinggungnya adalah QS. al-Anfal: 25,

وَٱتَّقُوا۟ فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمْ خَآصَّةً ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”

Melalui ayat tersebut, Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa cobaan (fitnah) yang diturunkan Allah tidak hanya ditujukan pada orang zalim saja, namun juga bisa menimpa orang yang tidak bersalah.

Karena itu, gempa yang sering melanda Jogja itu, dengan istilah Al-Qur’an secara umum, lebih tepat disebut sebagai fitnah (ujian atau cobaan). Hal ini dikarenakan gempa yang terjadi tidak hanya menimpa orang-orang yang berdosa saja melainkan juga mereka yang tidak berdosa.

Teologi Bencana dan Kesadaran Kebencanaan

Sekali lagi, dalam sudut pandang teologis, dawuh ustaz di atas tidak salah, namun hanya saja kurang lengkap. Gempa Jogja menjadi hukuman bagi pelaku dosa, teguran bagi mereka yang zalim, namun juga cobaan bagi mereka yang beriman untuk menguji kualitas keimanannya.

Menurut teologi bencana dalam Al-Qur’an, bencana menyimpan reminder bahwa manusia sebenarnya sedang diingatkan agar tak lupa kembali ke jalan yang lurus. Sebagai makhluk yang rentan dosa, gempa Jogja bisa menjadi lahan instropeksi agar warganya menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanyalah fana.

Karena itu, secara teologis, Jogja patut “bersyukur” karena intensitas gempa yang tinggi bisa menjadi trigger agar warganya menjadi umat yang semakin baik dan taat pada agamanya.

Namun, konsep teologi bencana tidak bisa dijadikan landasan perspektif tunggal. Warga Jogja mesti sadar bahwa tanah yang diinjaknya masuk dalam salah satu daratan tektonik paling aktif di dunia.

Apalagi, banyak sesar (jalur gempa) baru yang muncul di Jogja. Fakultas Geografi UGM menyebutkan, di DIY tercatat ada beberapa sesar seperti Opak, Subduksi, Progo, Dengkeng, dan Oya.

Sesar Opak bahkan sudah aktif sejak 2006 dan secara konsisten memproduksi gempa meski kecil. Sesar ini membentuk zona yang cukup lebar dari arah Parangtritis hingga ke Prambanan dan melewati Pleret serta Piyungan.

Kesadaran ini perlu sebagai upaya mitigasi personal jika terjadi gempa lagi. Artinya, gempa tidak hanya menjadi instrumen penguatan ketakwaan secara individu, namun juga kepekaan kebencanaan yang dampaknya bisa dirasakan secara kolektif.

Soal gempa dan dosa-dosa di Jogja, terlepas dari KTP saya yang kebetulan Jogja, tidak elok rasanya menghakimi sebuah kota sebagai “surga” bagi para pendosa, apalagi langsung mengaitkannya dengan bencana alam yang datang.

Sejatinya, tidak ada satupun manusia yang lepas dari dosa. Namun, jika kemudian menghakimi Jogja sebagai negeri yang “dimurkai” Tuhan berdasar survey statistik kemaksiatan belaka tanpa melihat aspek-aspek lain, itu tentu sebuah nir-kebijaksanaan.

 

Wallahu a’lam.