Termasuk Larangan Rasulullah SAW: Menghubungkan Bencana Alam dengan Urusan Politik

Termasuk Larangan Rasulullah SAW: Menghubungkan Bencana Alam dengan Urusan Politik

Jika mereka mengira kalau Allah memberikan gempa di NTB hanya karena pilihan politik TGB Zainul Majdi, maka sesuai QS. an-Nahl ayat 61, Allah juga akan memberikan gempa kepada seluruh manusia.

Termasuk Larangan Rasulullah SAW: Menghubungkan Bencana Alam dengan Urusan Politik

Malam kemarin warga Lombok berduka. Gempa berkekuatan 7.2 S.R. merusak dan menewaskan puluhan orang. Sayangnya, beberapa orang tidak bisa dewasa menyikapi bencana yang terjadi. Masih ada anggapan bahwa bencana yang sedang terjadi akibat kesalahan Gubernur NTB, TGB. Dr. Zainul Majdi, MA karena mendukung presiden Jokowi untuk melanjutkan program-programnya di periode selanjutnya.

Benarkah suatu bencana bisa terjadi karena perbedaan pandangan politik?

Suatu hari, masyarakat Arab berkerumun, mereka sedang membincangkan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu gerhana matahari. Perbincangan orang Arab saat itu, jika terjadi gerhana matahari, maka hal itu sangat berkaitan dengan kematian seorang pembesar. Pasalnya, masa itu juga, putra Rasul, Ibrahim menghadap Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah yang menjadikan perbincangan di kalangan masyarakat Arab saat itu semakin mempercayai bahwa mitos tentang gerhana itu benar adanya.

Mendengar desas-desus yang terjadi di kalangan masyarakat Arab saat itu, Rasul kemudian bersabda:

 إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلَاةِ

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah, keduanya tidak gerhana karena kematian atau lahirnya seseorang, jika kalian melihatnya (gerhana) maka laksanakanlah shalat.

Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa fenomena Alam dan bencana yang terjadi, sama sekali tidak ada kaitannya dengan urusan duniawi, termasuk kematian seorang pembesar dalam kasus Rasul pada saat itu, begitu pula dengan urusan politik, khususnya yang terjadi saat ini.

Hal ini ditegaskan juga oleh Ibn Hajar al-Asyqalani dalam Fathul Bari-nya bahwa fenomena Alam, sama sekali tidak berkaitan dengan urusan apapun terkait duniawi. Fenomena alam yang terjadi adalah bentuk kebesaran Allah, yang harus diikuti dengan ketauhidan dan muhasabah diri.

Jika kasus dalam hadis tersebut diqiyaskan dengan kasus gempa di NTB, maka sama sekali tidak ada kaitannya gempa 7,2 S.R yang terjadi dengan pilihan politik TGB. Hal ini justru dilarang oleh Rasulullah SAW, mengaitkan bencana Alam dengan urusan duniawi, termasuk pilihan politik.

Memang dalam kasus nabi-nabi terdahulu, Allah memberikan azab kepada umat nabi tertentu karena menyekutukan Allah dan melanggar perintah-Nya. Hal ini termaktub dalam Surat Ali Imran ayat 56:

فَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَأُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Adapun orang-orang yang kafir, maka akan Ku-siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.”

Bahkan untuk orang kafir pun, Allah menjadikan azab atau musibah dalam ayat tersebut sebagai sarana untuk bersabar, bukan sebagai hukuman atas hal yang ia lakukan. Hal ini ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaibnya:

فإنها لا تكون عقاباً بل امتحاناً ، والدليل عليه أنه تعالى يعد الكل بالصبر عليها والرضا بها والتسليم لها وما هذا حاله لا يكون عقاباً .

“Karena sesungguhnya ayat (Ali Imran 56, untuk orang kafir) bukan menjadi hukuman, melainkan hanya ujian. Sedangkan argumentasi yang menyebutkan hal itu adalah bahwa Allah memerintahkan semua orang untuk bersabar atas semua musibah, ridha dan berpasrah. Dan hal ini tidak berkaitan dengan hukuman.”

Menurut al-Razi, jika orang kafir diberikan hukuman di dunia, maka akan bertentangan dengan Surat an-Nahl ayat 61, yang menyebutkan bahwa jika Allah menghukum seluruh manusia di Bumi, niscaya tidak akan ada sesuatu yang terlepas dari azab-Nya.

 وَلَوْ يُؤَاخِذُ الله الناس بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِن دَآبَّةٍ

“Jika Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada makhluk yang ditinggalkan-Nya.”

Bagi al-Razi, kata lau dalam ayat di atas adalah berfaidah intifaus syai’ lintifai ghairihi, yakni jika kata lau itu dihilangkan, maka artinya Allah tidak akan meemberikan hukuman (azab) kepada seseorang secara langsung di bumi. Karena jika Allah memberikan azab, maka semua orang yang ada di bumi ini akan mendapatkannya.

Surat Ali Imran: 56 di atas, menurut al-Razi juga bertentangan dengan Q.S. Ghafir: 17, yang menjelaskan bahwa semua kesalahan yang dilakukan manusia akan diberikan balasannya di akhirat kelak, bukan di dunia:

اليوم تجزى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ

“Pada hari itu (kiamat) Allah akan memberikan balasan kepada setiap jiwa atas segala hal yang telah dilakukan.”

Nah, jika orang kafir saja tidak diberikan hukuman secara langsung di dunia atas kekafirannya, bagaimana dengan orang yang jelas-jelas beriman kepada Allah.

Perbedaan pandangan politik memang bukan merupakan hal baru. Lima belas abad yang lalu, generasi Islam awal juga pernah mengalaminya, tepatnya pada masa Ali versus Muawiyah. Namun, sampai sekarang kita belum pernah mendengar atau membaca literatur keislaman yang menjelaskan bahwa kelompok Ali tertimpa bencana gempa bumi, gunung meletus, atau bencana lain, begitu pula kelompok muawiyah.

Jika orang-orang yang katanya bela Islam itu mengira kalau gempa di NTB sebagai hukuman atas sikap politik TGB, maka jika mengikuti QS. an-Nahl ayat 61 di atas, seluruh manusia, termasuk mereka yang menuduh TGB, juga akan mendapatkan azab yang sama. Karena tidak ada yang bisa menjamin dirinya terbebas dari maksiat kepada Allah, termasuk mereka yang sok bela Islam dan menuduh orang lain sebagai biang bencana.

Wallahu A’lam.

Baca juga:

Bencana Alam Bukan Azab Allah

Untuk Saudaraku di Lombok, Allah Menyayangi Kalian