Benarkah Isra’ Mi’raj Terjadi 27 Rajab?

Benarkah Isra’ Mi’raj Terjadi 27 Rajab?

Jika penetapan waktu Isra’ Mi’raj tanggal 27 Rajab itu merujuk pada pendapat bahwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad terjadi pada tanggal 27 bulan Rajab tahun ke-10 Kenabian, maka sebenarnya penetapan itu debatebel. Bahkan, problematik.

Benarkah Isra’ Mi’raj Terjadi 27 Rajab?
Ilustrasi Peristiwa isra’ Mi’raj

Di kalender kita, tanggal 27 Rajab dijadikan tanggal merah untuk memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Tahun 2023 ini, 27 Rajab bertepatan dengan tanggal 18 Februari.  Jika penetapan waktu Isra’ Mi’raj tanggal 27 Rajab itu merujuk pada pendapat bahwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad terjadi pada tanggal 27 bulan Rajab tahun ke-10 Kenabian, maka sebenarnya penetapan itu debatebel. Bahkan, problematik.

Sama kayak masih debatebel, apakah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad itu pengalaman tubuh atau pengalaman ruh; terjadi secara lahiriah di alam nyata atau secara batiniah di alam mimpi. Soal klasik. Kita ulang untuk melestarikan ingatan khazanah keislaman.

Peristiwa Isra’ Mi’raj

Isra’ adalah perjalanan horizontal, yaitu ketika Nabi Muhammad melesat menaiki Buraq dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis. “Al-aqsha” artinya “paling jauh”. Disebut Masjidl Aqsha sebab lokasinya yang sangat jauh dari Masjidil Haram pada masa itu.

Di sana, Nabi melaksanakan shalat dua rakaat.

Selesai urusan di Masjidil Aqsha, Nabi Muhammad kemudian melakukan Mi’raj.

Mi’raj adalah perjalanan vertikal, yaitu ketika Nabi terbang ke lapisan-lapisan langit bersama malaikat Jibril. Menemui para nabi.

Di langit pertama, Nabi ketemu Nabi Adam.

Di langit kedua, ketemu Nabi Isa dan Nabi Yahya.

Di langit ketiga, ketemu Nabi Yusuf.

Di langit keempat, ketemu Nabi Idris.

Di langit kelima, ketemu Nabi Harun.

Di langit keenam, ketemu Nabi Musa.

Di langit ketujuh, ketemu Nabi Ibrahim.

Selesai sowan kepada para nabi terdahulu itu, Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntaha. “Sidrah” adalah gambaran tentang pohon. Dipilih jadi “pemeran” dalam adegan Mi’raj sebab pohon ini punya iyub-iyuban yang lebat, buahnya manis, aromanya wangi. “Al-Muntaha” artinya “batas akhir”. Sidratil Muntaha adalah gambaran “tempat terakhir” yang tidak terjangkau oleh satu makhluk pun, kecuali Nabi Muhammad. Hanya Nabi yang punya privilege bisa sampai di sana.

Di Sidratul Muntaha, Nabi menerima wahyu berupa shalat lima waktu, seperti yang kita tahu.

Dan, shalat lima waktu itu sebenarnya bukan satu-satunya “oleh-oleh” perjalanan Mi’raj Nabi.

Oleh-oleh Isra’ dan Mi’raj

Ada tiga “oleh-oleh” perjalanan Mi’raj yang Nabi peroleh.

Pertama, shalat lima waktu.

Kisahnya masyhur. Nabi mendapatkan wahyu shalat itu saat di Sidratul Muntaha. Awalnya, lima puluh shalat dalam sehari-semalam. Bayangkan saja, 50 waktu shalat … dan kita hanya punya waktu 24 jam dalam sehari semalam. Andai 50 itu dibagi 24, berarti, dalam setiap jam, kita mesti mengerjakan sekitar dua waktu shalat.

Bisa apa kita jika setiap jam mesti shalat?!

Berkah! Sepulang menerima wahyu shalat 50 waktu itu, Nabi Muhammad bertemu Nabi Musa yang visioner.

“Balik lagi saja. Temui Tuhanmu. Umatmu gak bakal kuat melaksanakan shalat sebanyak itu.”

فارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك

Begitu, kata Nabi Musa, menyarankan agar Nabi Muhammad memohon keringanan jumlah waktu shalat.

Nabi Muhammad sampai tiga kali bolak-balik menemui Tuhan atas anjuran Nabi Musa, sebab kortingan jumlah shalat masih terlalu sedikit.

Sampai ketika jumlah shalat itu menjadi lima waktu, Nabi Muhammad merasa cukup. Nabi Muhammad menolak usulan Nabi Musa untuk kembali minta korting jumlah shalat. Nabi malu. Masak, sudah dikasih lima waktu, dari awalnya lima puluh, masih minta dikurangi juga.

Sejak Isra’ Mi’raj itulah Nabi Muhammad dan umat Islam saat itu memiliki kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, seperti yang kita tahu saat ini.

Sebelum Isra’ Mi’raj, apakah Nabi dan para sahabat melaksanakan shalat?

Pasti! Yang masih diperdebatkan adalah apakah shalat sebelum Isra’ itu wajib atau tidak.

Menurut satu pendapat, sebelum shalat lima waktu, sudah ada kewajiban shalat pada dua waktu, sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam. Jika waktu shalat datang, para sahabat pergi ke lembah-lembah untuk mengerjakan shalat. Sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui oleh kaum musyrik. Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib pernah ketahuan mengerjakan shalat oleh Abu Thalib. Paman yang baik itu meneguhkan Nabi agar tetap menjalankan shalat mesti situasi tidak mendukung.

Itu “oleh-oleh” pertama Mi’raj Nabi.

Yang kedua, Nabi menerima wahyu berupa ayat-ayat akhir surah al-Baqarah.

Yang ketiga, Nabi menerima maklumat bahwa dosa-dosa besar bisa diampuni bagi orang yang tidak musyrik. Sebanyak dan sebesar apa pun dosa seseorang, Allah akan mengampuni jika seseorang itu mau bertobat.

Nah, jika di dua poin di atas (fakta Isra Mi’raj dan oleh-oleh shalat) hampir tidak ada perbedaan pendapat, di dua poin di bawah ini banyak perbedaan pendapat dan perdebatan.

Isra’ Mi’raj Nabi: Pengalaman Ruh atau Pengalaman Tubuh?

Minimal, ada tiga pendapat di poin ini.

Pertama, Isra’ Mi’raj Nabi adalah pengalaman ruh, bukan tubuh. Tidak terjadi secara lahiriah, tapi hanya secara batiniah dalam mimpi Nabi. Dan, mimpi para nabi adalah kebenaran dan jadi perantara wahyu.

Kedua, Isra’ Nabi dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha adalah pengalaman tubuh, sementara Mi’raj Nabi dari Masjidil Aqsha ke langit adalah pengalaman ruh.

Ketiga, Isra Mi’raj Nabi adalah pengalaman tubuh sekaligus pengalaman ruh. Terjadi secara lahiriah dan dalam kondisi terjaga.

Perbedaan pendapat tersebut muncul dari perbedaan dalam memahami nash-nash terkait Isra’ Mi’raj. Dan, nash-nash tersebut memang tidak menyebutkan secara jelas: Isra’ Mi’raj Nabi itu pengalaman ruh atau pengalaman tubuh. Orang-orang hanya bisa menafsirkan nash-nash itu lalu menyimpulkan bahwa Isra’ Mi’raj Nabi itu pengalaman ruh atau pengalaman tubuh.

Pendapat pertama di atas, bahwa Nabi Muhammad mengalami Isra’ Mi’raj secara ruh saja, didasarkan pada hadis Isra’ Mi’raj sendiri yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas bin Malik (dalam Shahih al-Bukhari).

Anas bin Malik mengawali riwayat hadis Isra’ Mi’raj Nabi dengan menjelaskan kondisi dan posisi Nabi Muhammad saat peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi. “Nabi lagi tidur di Masjidil Haram.”

وهو نائم في المسجد الحرام

Lalu, Anas bin Malik menutup riwayat hadis Isra’ Mi’raj itu dengan kalimat yang menyebutkan bahwa, setelah peristiwa Isra’ Mi’raj itu selesai, “Nabi Muhammad terbangun, dan tetap di Masjidil Haram.”

واستيقظ وهو في المسجد الحرام

Kalimat permulaan dan kalimat akhiran dalam hadis riwayat Anas bin Malik itu mengindikasikan bahwa pada malam Isra’ Mi’raj itu, tubuh Nabi tidak ke mana-mana. Nabi Tidur di Masjidil Haram.

Yang ke mana-mana, yang mengalami Isra’ Mi’raj, adalah ruh Nabi.

Sedangkan pendapat kedua bahwa Isra’ Nabi dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha adalah pengalaman tubuh dan Mi’raj Nabi dari Masjidil Aqsha ke langit adalah pengalaman ruh itu didasarkan pada ayat Isra’ yang terkenal itu.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (QS: al-Isra’ ayat 1).

Jika Isra’ Nabi memang pengalaman tubuh, terjadi secara lahiriah, maka ayat itu jelas menunjukkan bahwa pengalaman tubuh itu hanya sampai di Masjidil Aqsha. Tidak lebih.

Maka, berikutnya, Mi’raj Nabi, dari Masjidil Aqsha ke langit, adalah pengalaman ruh. Hanya ruh Nabi yang mengalami Mi’raj.

Yang terakhir, pendapat ketiga, bahwa Isra Mi’raj Nabi adalah pengalaman tubuh sekaligus pengalaman ruh itu pendapat mayoritas.

Argumentasi pendapat ini juga didasarkan pada ayat Isra’ di atas, terutama kalimat:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ

Ada dua poin argumentasi di kalimat itu.

Yang pertama, diksi tasbih (“subhanaladzi”).

Kata tasbih digunakan hanya untuk mengungkapkan sesuatu yang luar biasa hebat. Yaitu, perjalanan fisik Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu ke langit, lalu balik lagi ke Masjidil Haram.

Jarak Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lebih dari dua ribu kilo meter. Jalan kaki bolak-balik butuh waktu lebih dari 40 hari. Itu kalau jalannya konstan, gak berhenti-berhenti.

Jarak yang mustahil dan gak masuk akal ditempuh hanya dalam separuh malam.

Ketika sesuatu yang dianggap mustahil dan gak masuk akal tapi ternyata benar-benar terjadi maka di situlah sisi luar biasa hebatnya.

Maka, itulah rahasia kenapa Alquran menggunakan diksi “subhana” untuk menggambarkan Isra’ Mi’raj Nabi; bahwa ia peristiwa luar biasa hebat. Sebuah mukjizat.

Sementara, jika perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu ke langit, itu terjadi dalam mimpi—meski mimpi Nabi adalah kebenaran dan wahyu—maka itu tidak akan dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa hebat. Gampangnya, orang akan menilai: namanya juga mimpi. Mungkin saja. Dan, tidak perlu pakai diksi “subhana” untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi dalam mimpi.

Yang kedua, diksi “abdihi”, “hambanya”.

Abdun, hamba, kayak kita ini, tentu saja terdiri dari tubuh dan ruh. Begitu arti dasarnya. Ketika kata “abdun” digunakan maka mesti dipahami sebagai “hamba yang terdiri dari tubuh dan ruh”. Kecuali ada “istihalah” atau alasan yang mengharuskan kata itu ditakwil atau dipahami dengan arti selain arti dasar tersebut.

Nah, dalam ayat Isra’ di atas tidak ada “istihalah”. Jadi, kata “abdihi” di situ mesti diartikan “hamba-Nya” atau “Nabi Muhammad” yang terdiri dari tubuh dan ruh.

Maka, Isra’ Mi’raj adalah pengalaman tubuh sekaligus pengalaman ruh Nabi Muhammad.

Dan, andai Isra’ Mi’raj Nabi hanya pengalaman ruh, yang mengalami Isra’ Mi’raj hanya ruh Nabi dan terjadi dalam mimpi, diksi yang digunakan adalah

أَسْرَىٰ بِروح عَبْدِهِ

“… memperjalankan ruh hamba-Nya …”.

Intinya, Isra’ Mi’raj Nabi adalah peristiwa yang disepakati benar-benar terjadi.

Yang tidak disepakati adalah apakah ia terjadi secara lahiriah di alam nyata ataukah secara batiniah di alam mimpi; apakah ia pengalaman tubuh ataukah pengalaman ruh.

Kapan Isra’ Mi’raj Nabi?

Seperti sudah disebutkan di paragraf awal bahwa penetapan waktu Isra’ Mi’raj tanggal 27 Rajab itu debatebel. Bahkan, problematik.

Kenapa problematik?

Jadi, paling tidak, ada enam pendapat mengenai waktu terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi.

  1. Isra’ Mi’raj terjadi saat Nabi Muhammad menerima nubuwah. Pada tahun kenabian.
  2. Isra’ Mi’raj terjadi pada tahun ke-5 kenabian.
  3. Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.
  4. Isra’ Mi’raj terjadi pada enam belas bulan sebelum hijrah (bulan Dzulqa’idah tahun ke-12 kenabian).
  5. Isra’ Mi’raj terjadi pada empat belas bulan sebelum hijrah (bulan Muharram tahun ke-13 kenabian).
  6. Isra’ Mi’raj terjadi pada satu tahun sebelum hijrah (bulan Rabiul Awal tahun ke-13 kenabian).

Tiga pendapat pertama tertolak. Dasarnya adalah patokan data bulan dan tahun wafat Siti Khadijah. Istri pertama Nabi itu wafat pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian.

Dan, beliau wafat sebelum ada kewajiban shalat lima waktu. Sementara, kewajiban shalat lima waktu ditetapkan pada malam Is’ra’ Mi’raj Nabi. Berarti, Isra’ Mi’ra Nabi terjadi setelah Siti Khadijah wafat.

Kesimpulan, Isra’ Mi’raj Nabi tidak mungkin terjadi pada bulan Rajab (tanggal 27) tahun ke-10 kenabian (apalagi tahun-tahun sebelumnya). Sebab, pada masa-masa itu, Siti Khadijah masih hidup. Maka, karena tiga pendapat pertama di atas tertolak, kemungkinan waktu Isra’ Mi’raj ada pada tiga pendapat terakhir, meski tidak dapat dipastikan mana yang paling tepat, terutama soal detail tanggal.

Tetapi, menurut al-Qadhi Iyadh, tidak sedikit ulama yang menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj Nabi terjadi satu tahun sebelum Nabi hijrah. Berarti, tahun ke-13 kenabian. Ibnu Katsir juga mengutip pendapat itu. Nabi Muhammad hijrah ke Madinah bulan Rabiul Awal tahun ke-14 kenabian. Maka, andai satu tahun sebelum hijrah itu dihitung tepat berdasarkan bilangan bulan, berarti Isra’ Mi’raj Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal. Tapi, bisa saja satu tahun sebelum hijrah itu maksudnya tahun ke-13, tanpa memastikan bulan apa.

Maka, sebagai kesimpulan, tanggal 27 Rajab dijadikan tanggal merah oleh pemerintah sebagai peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, bisa tepat dan bisa tidak tepat. Tidak tepat: jika 27 Rajab itu merujuk ke tanggal 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.

Tepat: jika 27 Rajab itu merujuk ke tanggal 27 Rajab tahun ke-11 kenabian atau ke-12 kenabian atau ke-13 kenabian. Ketiga pilihan itu memungkinkan. Meski, barangkali, yang lebih kuat adalah tahun ke-13 kenabian.

Wallahu a’lam.