Selepas mewasiatkan taqwa, beberapa kali saya mendapati khatib shalat Jum’at harus berhenti menyampaikan nasehatnya karena tersendat isak tangisnya sendiri, barangkali oleh karena narasi yang ia bawakan, yakni soal: berakhirnya bulan Ramadhan dan segala vibes-nya.
Jamak kita pahami, akhir Ramadhan adalah momentum sentimentil buat sebagian besar masyarakat Muslim yang telah genap sebulan berpuasa. Ada perasaan campur aduk yang cukup rumit untuk dideskripsikan gambarannya: haru, bahagia, kecewa, sedih, harap-harap cemas, dan entah apalagi rasa yang muncul bergantian dalam dada ketika momentum Idul Fitri tiba.
Haru karena mungkin memantik memoti masa lalu, dimana nuansa Idul Fitri selalu menyenangkan ketika masa kanak-kanak bersama-sama orang tua dan sanak saudara yang barangkali sulit kita temui saat-saat ini. Kecewa dan sedih karena merasa pada titik tertentu tidak memaksimalkan kesempatan emas di bulan mulia yang telah lalu.
Barangkali ada juga sekeping dua keping kebanggaan yang tercecer karena berhasil menuntaskan puasa berikut ibadah-ibadah tambahan lainnya. Meskipun, diam-diam, banyak juga yang senang karena besok sudah tidak ada lagi beban menahan lapar dan dahaga.
Tapi isak tangis khatib kita tadi menunjukkan perasaan kehilangan yang amat sangat. Ledakan tangis yang tak bisa beliau bendung adalah contoh perwujudan nyata dari perasaan sejumlah Muslimin di Hari Kemenangan. Sebab bulan mulia memang menyajikan nuansa hidup yang berbeda dan kini ia telah meninggalkan kita.
Saya tidak sedang akan menghakimi Khatib atas penyampaiannya ataupun kesedihan yang ia lepaskan itu. Sebab, jujur saja, meskipun tidak sedramatis beliau, ada juga perasaan sedih yang saya rasakan atas kepergian bulan Ramadhan, meski intensitasnya hanya sekelebatan belaka.
Dan justru karena tidak ingin larut dalam kesedihan itulah, maka saya berusaha mencari-cari solusi. Bagaimana agar saya bisa tetap happy meski Ramadhan sudah berakhir, bahkan jikapun saya melewatkan moment-moment krusial didalamnya karena kebodohan dan kemalasan yang saya perbuat.
Ada dua persoalan pokok yang akhirnya saya pahami sebagai jalan keluar atas rundungan kesedihan tadi.
Pertama, Ramadhan akhirnya saya sadari sebagai romantisme dari Tuhan. Ia semacam cara Tuhan bercinta kepada hambaNya dengan memancing, memberi iming-iming, dan merangsang hamba untuk terus menerus mendekat kepadaNya. Habis gimana, kita semua tahu Allah sama sekali tak membutuhkan apapun dari hamba, lha tapi kok Ia memberikan satu periode ‘obral’ agar si hamba tertarik, mendekat-dekat, bermesraan denganNya.
Apa coba kepentingan Tuhan memberi hadiah Ramadhan kalau urusannya bukan karena cinta?
Bahkan Allah secara posesif mengatakan puasa yang dilakukan manusia itu adalah ‘untuk-Ku’; sebuah dialektika kelewat mesra dari Allah kepada hamba pelaku puasa. Allah ‘merendahkan diri’ dengan menggunakan terminologi manusia yang transaksional, seolah-olah Ia membutuhkan ibadah dari hamba.
Memangnya apa yang dibutuhkan oleh Sang Maha Kaya dari hamba yang faqir dan alpa?
Jadi, Ramadhan adalah buah cinta Allah. Urusan Ramadhan adalah urusan kemesraaan denganNya. Bahwa kemudian ada beberapa manusia yang malah rakus pada tawaran lipatganda pahala, janji penghapusan dosa, dan termakan syahwat beragama tanpa menyadari romantisme dengan Tuhan, barangkali tak perlu juga kita persalahkan.
Dengan demikian, berakhirnya Ramadhan seolah terasa juga seperti hilangnya kesempatan bermesraan dengan Tuhan. Setan-setan lepas dari belenggu, tiada lagi rangsangan pahala berlimpah, dan yang paling menyebalkan adalah bubarnya nuansa-nuansa kekhusyu’an ruhaniah yang selama Ramadhan bisa kita rasakan momentum dan roso-nya secara kolektif.
Tapi, menurut saya, kehilangan kesempatan bermesraan yang sebenar-benarnya hanya akan terjadi apabila kita kehilangan Sang Kekasih. Puasa, tadarus, tarawih, lailatul qadr, dan segala uba rampe Ramadhan adalah romantisme dan cinta tapi bukan Sumber Cinta itu sendiri.
Mudahnya, Ramadhan dan ragam ibadah didalamnya adalah jalan atau cara bercinta, tapi bukan Sang Maha Cinta. Maka, selama kita terus menjaga kedekatan denganNya, meski tidak dalam nuansa kekhusyu’an Ramadhan, semestinya tiada lagi perlu kita sedihkan berakhirnya bulan puasa sebagai suatu kehilangan.
Inilah yang kemudian mendorong saya menuju point kedua, bahwa pada akhirnya, yang terpenting adalah hubungan dengan Allah. Bercinta dan bermesra denganNya tidak perlu menunggu privilege pada waktu-waktu tertentu.
Sebab, Ia selalu ada, dan tidak kemana-mana. Tinggal kita saja yang mau atau tidak menemuiNya dengan bekal cinta.