Assalamu’alaikum Min, ada ungkapan, “Harta suami ada hak istri, sedangkan harta istri sepenuhnya hak istri”, ini berkaitan dengan harta warisan atau juga berhubungan dengan penghasilan istri hasil bekerja/usaha? Bagaimana riwayat dan situasi saat munculnya ayat tersebut? Terima kasih
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh
Bapak/Ibu penanya yang baik, pertama kalau ditanya apakah ungkapan, harta suami ada hak istri, sementara harta istri sepenuhnya milik istri, ada sumbernya dalam al-Qur’an dan hadis? Secara redaksional, tidak ada ayat al-Qur’an yang bunyinya persis seperti itu. Namun menurut hemat kami, ungkapan tersebut adalah gabungan pemahaman dari setidaknya dua ayat yang berbeda. Pertama, surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
Dan kewajiban seorang ayah adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka (anak dan istri) dengan cara yang baik.
Dan yang kedua surat Al-Nisa’ ayat 32 yang berbunyi :
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah Swt kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mintalah kepada Allah Swt sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat pertama mengandung pengertian bahwa istri dan anak merupakan tanggungan yang wajib dinafkahi oleh suami, sementara ayat kedua menyebutkan bahwa masing-masing dari laki-laki dan perempuan mempunyai hak atas apa yang mereka usahakan. Terkait dengan ayat pertama, terlihat jelas bahwa sebagian dari harta suami merupakan hak istri, karena istri merupakan salah satu tanggungan yang wajib dinafkahi oleh suami selain anak-anaknya. Hal ini juga dijelaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhayli (W. 2015 M) dalam salah satu karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu :
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية : وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة والعدل
Artinya :
Istri mempunyai hak-hak yang berkaitan dengan harta seperti mahar dan nafkah dan hak-hak yang tidak berhubungan dengan harta seperti perlakuan yang baik dan interaksi sosial yang santun serta adil.
Bahkan dalam hal ini, seorang istri berhak mengambil sebagian harta suami jika sang suami tidak memberikan nafkah sebagaimana yang diwajibkan kepadanya. Hal ini berdasarkan sebuah hadis shahih riwayat Bukhari di mana ada seorang perempuan yang bernama Hindun melaporkan suaminya, Abu Sufyan, kepada Nabi SAW karena ia tidak memenuhi kebutuhan Hindun, lalu Nabi SAW menyarankan kepadanya untuk mengambil harta suaminya sekedar untuk kebutuhannya dan anak-anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa benar bahwa sebagian harta suami adalah milik istri, namun tidak semuanya, karena suami juga mempunyai hak pribadi terhadap harta yang ia miliki.
Kemudian bagaimana dengan harta istri, apakah Islam mengakuinya dan suami tidak boleh menggunakannya? Sebagai jawabannya adalah berdasarkan ayat kedua yang penulis kutipkan di awal bahwa seorang istri atau perempuan secara umum mempunyai hak terhadap harta yang dia miliki, baik harta yang bersumber dari warisan orangtuanya, nafkah suaminya, ataupun usaha pribadinya (khususnya bagi perempuan yang bekerja) dan suami tidak berhak untuk menggunakannya tanpa seizinnya. Karena seperti yang diketahui bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang perempuan untuk menafkahi suaminya. Sehingga dalam hal ini harta istri memang miliknya secara utuh.
Namun jika suami dalam kondisi yang sulit karena kemampuannya yang terbatas dalam mencari nafkah atau sakit yang menimpanya yang menyebabkannya tidak mampu menyempurnakan nafkah untuk istrinya, sementara itu sang istri mempunyai kelebihan rizki dari harta pribadinya, maka dalam kondisi yang seperti ini suami boleh saja menggunakan harta istrinya dengan seizin yang bersangkutan. Begitu juga istri, sangat dianjurkan untuk membantu suaminya jika saat itu ia mempunyai kelebihan harta dan kondisi suami yang benar-benar sulit karena keadaan yang menimpanya, bukan karena malas atau alasan yang dibuat-buat untuk tidak berusaha.
Hal ini dulu juga pernah dicontohkan oleh Sayyidah Khadijah yang tidak segan dan berat hati menafkahkan hartanya untuk kepentingan dakwah Nabi SAW. Hal ini diakui sendiri oleh Nabi Muhammad SAW ketika menceritakan kemuliaan Sayyidah Khadijah kepada istrinya yang lain, yaitu Sayyidah Aisyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, di mana Rasulullah Saw bersabda :
وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ
Artinya :
Dan dia (Sayyidah Khadijah) membantuku dengan hartanya di saat orang-orang tidak ada yang membantu.
Terlihat jelas di sana betapa hubungan suami istri itu sebenarnya adalah hubungan yang dilandaskan kepada cinta dan kasih sayang tulus karena Allah Swt, bukan hanya urusan materi semata-mata. Harta hanyalah salah satu dari faktor kebahagian sepasang suami dan istri, sehingga dalam hal ini juga berlaku konsep saling tolong-menolong antar suami dengan istri. Idealnya nafkah dipenuhi oleh sang suami, tapi dalam kondisi-kondisi tertentu yang membuat suami berhalangan untuk mencari nafkah maka sang istri dianjurkan untuk membantunya dan ia akan mendapatkan pahala dari bantuan yang ia berikan sekalipun kepada suaminya sendiri.