Sepemahaman saya, Salafi adalah kelompok Islam yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama Islam. Kerap kali saya mendengar para penceramah Salafi mengolok-olok beragam tradisi nusantara. Ini yang mereka katakan sebagai bid’ah ataupun sesat. Apakah antara Salafi dengan tradisi nusantara ini bisa berdamai atau setidaknya menemukan jalan tengah?
Jawab:
Khaled Abou El Fadl dalam tulisannya yang berjudul The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremsts menyebut kelompok salafi sebagai kelompok puritan, yakni mereka yang ingin memurnikan ajaran agama Islam sesuai dengan ajaran salafus-salih. Istilah salafus-salih ini merujuk pada tiga generasi awal Islam, yakni generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabiin yang disebutkan oleh Nabi sebagai “generasi terbaik”.
Mereka beranggapan bahwa pada saat ini, Islam sudah dipraktekkan secara salah kaprah. Tercampur dengan berbagai macam hal, diantaranya ialah tercampur dengan budaya-budaya lokal. Ide mereka adalah mengembalikan praktik keislaman sebagaimana yang terjadi di generasi awal islam tersebut.
Untuk mewujudkan hal tersebut, mereka mempropagandakan sebuah gerakan, yakni “kembali kepada Al-Qur’an dan hadis”. Segala macam praktik keislaman yang bagi mereka tidak menemukan referensinya di Al-Qur’an dan hadis maka akan mereka anggap sebagai bid’ah. Hal yang sebetulnya utopis karena di zaman sekarang, bagaimana mungkin kita akan bisa langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis jika pemahaman kita bergantung pada penafsiran para ulama-ulama terdahulu.
Sebagaimana kelompok lain, dalam memahami sebuah permasalahan, nyatanya mereka tidak bisa secara umum merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan hadis. Mereka tetap membutuhkan penafsiran para Ulama, diantaranya ialah Imam Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, bin Baz, al-Utsaimin, dan lain-lain.
Anggapan mereka bahwa Islam sekarang dipraktekkan tidak sesuai dengan generasi awal Islam membuat mereka mempropagandakan gerakan berikutnya yakni pemurnian ajaran Islam. Roel Meijer dalam tulisannya, Global Salafism menyebutnya sebagai gerakan purifikasi. Karena mereka beranggapan bahwa Islam sudah tercemar dengan berbagai macam budaya asing di luar Islam, maka yang menjadi sasaran utama bagi mereka ialah budaya atau tradisi-tradisi lokal yang masih di lakukan oleh orang Islam.
Di Indonesia, beberapa hal yang paling disorot oleh kelompok Salafi ialah tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya. Salafi menganggap bahwa hal-hal tersebut merupakan bid’ah, syirik dan khurafat yang bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sehingga harus dihindari.
Di sisi lain, terdapat sebuah kelompok keislaman, yakni NU yang beranggapan bahwa integrasi antara budaya dan ajaran Islam selama itu tidak bertentangan dengan syariat, maka boleh saja hukumnya. Kalaupun itu dianggap bid’ah, maka mereka menyebutnya sebagai bid’ah hasanah atau sebuah pembaharuan dalam Islam namun baik.
Maka sudah bisa kita prediksikan bahwa Salafi menemukan musuh utamanya di Indonesia, yakni NU. Puncak ketegangan antara keduanya terjadi ketika NU mengemukakan gagasan Islam Nusantara. Salafi menentang keras hal tersebut bahkan menyebut Islam Nusantara sebagai liberal dan syiah. Di sisi lain, ide Islam Nusantara ini menjadikan orang-orang yang ingin mempertahankan budaya Nusantara merapat semuanya ke NU.
Dari sini kemudian Salafi menjadi pihak penyerang, yang menyatakan bahwa semua tradisi tersebut adalah sesat dalam Islam, dan NU menjadi pihak yang bertahan, yang menyatakan bahwa hal itu diperbolehkan. Pertentangan pun kemudian menjadi liar di mana masing-masing pihak tidak saling membuka diri terhadap kemungkinan kebenaran lawan bicaranya.
Apakah pertentangan antara keduanya tidak bisa didamaikan? Tentu saja bisa, dan hal tersebut bukanlah hal mustahil jika saja antara keduanya saling mau membuka diri. Satu sisi, NU ingin melestarikan tradisi, dan di sisi lain, Salafi ingin memurnikan ajaran Islam. Sebenarnya keduanya bisa disatukan dengan jalan komunikasi.
NU mengkomunikasin apa saja yang ada dalam tradisi yang mereka lakukan. Jika NU berhasil menjelaskan bahwa yang mereka baca di acara tahlilan adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka bukan tidak mungkin jika Salafi menerima penjelasan tersebut dan akhirnya menerima keberadaan tradisi yang ada di Nusantara ini.
Mesti kita ingat juga bahwa pada asal mulanya, penyebaran Islam di Indonesia tidak dilakukan dengan jalan penaklukan atau fath melainkan dengan infiltrasi budaya. Maka wajar apabila di Indonesia ini terjadi integrasi antara budaya dengan Islam. Banyak sekali budaya di Nusantara ini yang kemudian di-Islam-kan oleh para penyebar Islam terdahulu. Pesoalan terkait hal ini sepertinya harus dipahami lebih dalam oleh kelompok Salafi agar tidak terlalu alergi dengan tradisi yang ada.
Dalam praktiknya, sudah ada gelagat saling memahami antara kedua kelompok ini. Perlahan, Salafi mulai bisa menerima keberadaan tradisi dan budaya asalkan tidak terjadi penyimpangan di dalamnya. Contohnya ialah persoalan hukum maulid Nabi. Salafi menentang keras hal ini.
Namun, dalam sebuah ceramahnya yang diunggah di kanal youtube, Khalid Basalamah, seorang tokoh penceramah Salafi Indonesia menyebutkan bahwa sebenarnya boleh-boleh saja seseorang bahagia dengan kelahiran Nabi, dan caranya ialah dengan mengikuti semua apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Nabi. Salafi hanya khawatir bahwa berbagai macam ritual yang ada dalam tradisi-tradisi Nusantara malah menjadikan kita cenderung menambah-nambah apa yang sudah diamalkan oleh Nabi.
Semoga kedamaian selalu tercipta di bumi kita tercinta ini, dan semoga Allah memberikan keberkahan di dalamnya. Wallahu a’lam bi shawab.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT