Dua bulan terakhir, di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda Indonesia, publik Indonesia dibuat mengelus dada karena “inovasi” dan “rekayasa” yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Pertama adalah soal “Kalung Anti Covid-19” yang diperkenalkan oleh Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian). Contoh kedua dari pemerintah yang membuat publik Indonesia geleng-geleng kepala adalah pernyataan dari Rektor Universitas Airlangga atas hasil penelitian bersama yang dilakukan oleh UNAIR, BIN, dan TNI yang mengklaim berhasil menemukan obat Covid-19 pertama di dunia.
Celakanya, keanehan inovasi dan rekayasa yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak hanya terjadi di bidang sains-teknologi, medika, dan agro, tetapi juga terjadi dalam inovasi sosial dalam bentuk kebijakan publik yang mereka ambil.
Beberapa contohnya antara lain: program bela negara yang disebut untuk menyaingi K-Pop, tidak transparannya anggaran penggunaan jasa dan kriteria pemilihan influencer di media sosial untuk sosialisasi kebijakan, kontroversi kebijakan pemberian dana Program Organisasi Penggerak (POP) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan diteruskannya pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang pasal-pasalnya masih bermasalah di tengah pandemi Covid-19.
Di sisi lain, inovasi sosial yang seharusnya dilakukan untuk melindungi hak rakyat Indonesia malah tidak dilakukan sama sekali contohnya seperti berhentinya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Inovasi dan rekayasa sosial yang dilakukan oleh pemerintah secara sembrono dampaknya bisa sangat buruk. Tidak lain karena keluarannya adalah kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup ratusan juta rakyat Indonesia. Lebih berbahaya lagi karena orang sering tidak sadar bahwa inovasi dan rekayasa sosial pemerintah yang sembrono berpengaruh pada kehidupan mereka.
Contoh Inovasi dan Rekayasa Sosial dalam Sejarah Indonesia
Inovasi dan rekayasa sosial didefinisikan secara sederhana sebagai suatu bentuk perubahan sosial yang direncanakan. Secara lebih detail, inovasi dan rekayasa sosial dapat diartikan sebagai campur tangan atau seni menggunakan bukti-bukti ilmiah untuk mendukung visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Salah satu contoh paling populer (populer bukan berarti baik) dari inovasi dan rekayasa sosial di Indonesia adalah “Orde Baru”.
Ketika berkuasa, Orde Baru merekayasa kondisi sosial-politik yang lebih menekankan pada ide-ide pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, program oriented, pembangunan oriented dan sebagainya. Di bidang politik misalnya, inovasi dan rekayasa sosial Orde Baru dilakukan dengan kebijakan massa mengambang atau floating mass yang diinisiasi oleh Ali Moertopo dan think tank yang didirikannya, Center for Strategic and International Studies (CSIS). Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Pemahaman tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, Ali Moertopo (1972) menyatakan bahwa:
“…sudah selayaknya bila rakyat, yang sebagian besar terdiri atas rakyat di pedesaan, dialihkan perhatiannya dari masalah politik dan ideologi sempit dan diarahkan kepada usaha pembangunan nasional antara lain melalui pembangunan masyarakat desanya masing-masing. Untuk itu wajarlah bila kegiatan politik dibatasi sampai daerah tingkat II. Di sinilah letak makna dan tujuan dari proses depolitisasi dan deparpolisasi bagi desa-desa.”
Selanjutnya menurut Ali Moertopo, rakyat di desa alih-alih menghabiskan pikiran, tenaga, dan waktunya untuk politik, tetapi malah menyibukan dirinya dalam usaha-usaha untuk menyukseskan kebijakan pembangunan Orde Baru (Dhakidae, 2003):
“…sehingga didapatlah apa yang dapat disebut sebagai “floating mass” yang tidak terikat secara permanen dalam keanggotaan sesuatu partai politik. Disamping dapat diarahkan kepada usaha-usaha pembangunan, “floating mass” ini akan merupakan dorongan pula bagi kekuatan-kekuatan sosial politik untuk mempersiapkan program pembangunan yang akan ditampilkan dan dinilai dalam pemilihan umum, dan golongan yang mempunyai program pembangunan yang menyangkut kepentingan umum akan menang dalam pemilihan umum.”
Praktik inovasi dan rekayasa sosial dalam bentuk kebijakan publik tidak melulu jelek seperti yang dilakukan oleh rezim otoritarian Orde Baru. Salah satu contoh baik praktik inovasi dan rekayasa sosial dalam bentuk kebijakan publik adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa. Turunan dari undang-undang tersebut adalah dikucurkannya dana desa. Sejauh ini, pengucuran dana desa sedikit banyak telah membantu menurunkan jumlah desa tertinggal.
Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Desa pada 2017 menemukan jumlah “desa tertinggal” merosot 17 persen menjadi 7.941, jumlah “desa berkembang” meningkat 10 persen menjadi 58.313 desa, dan desa mandiri bertambah 7 persen menjadi 7.839 desa. Meskipun demikian, tetap perlu dicatat bahwa ukuran indeks pembangunan desa tersebut masih bersifat fisik (infrastruktur) yang mudah dilihat dan belum menyentuh aspek kemampuan atau kapasitas pemerintahan, kualitas demokrasi, dan kemampuan pemberdayaan (LIPI, 2020).
Mengapa Ilmu Sosial-Humaniora Penting untuk Inovasi dan Rekayasa Sosial?
Perjalanan sejarah membuktikan bahwa inovasi dan rekayasa sosial sangat dipengaruhi oleh perspektif ilmu sosial-humaniora yang dipakai oleh para pembuat kebijakan publik. Contohnya menurut Hadiz dan Dhakidae (2006) kebijakan Orde Baru yang anti dengan kontestasi politik, berkaitan erat dengan adanya hegemoni teori-teori modernisasi dari Amerika Serikat. Teori-teori tersebut sangat cocok dengan keinginan rezim Orde Baru untuk menampilkan dirinya sebagai rezim yang teknokratis dan paling tahu apa yang dibutuhkan (bahkan tanpa harus mendengar) rakyatnya.
Oleh karena itu, perlu perspektif ilmu sosial-humaniora yang kritis dan emansipatoris sehingga inovasi dan rekayasa sosial yang inklusif dapat terwujud. Sayangnya, meskipun sudah ada usaha untuk mengarusutamakan ilmu sosial-humaniora lewat Badan Riset dan Inovasi Nasional, elite-elite di dalam pemerintahan sendiri sering menganggap ilmu sosial-humaniora tidak terlalu penting.
Contohnya adalah pernyataan Menko PMK beberapa bulan yang lalu dan kebijakan Menteri Keuangan tentang beasiswa LPDP (ironisnya keduanya adalah lulusan program studi ilmu sosial-humaniora). Kalaupun dilibatkan, peranan ilmu sosial-humaniora dengan perspektif kritis semata-mata bersifat klinis. Artinya kalau ada masalah-masalah sosial yang muncul akibat suatu kebijakan, para ilmuwan sosial-humaniora baru dilibatkan. Padahal, masalah-masalah sosial tersebut mungkin sekali dapat dicegah dari awal seandainya pendapat dan perspektif kritis-emansipatoris para ilmuwan sosial-humaniora sudah didengar sejak awal perencanaan kebijakan.
Ilmu sosial-humaniora yang punya perspektif kritis-emansipatoris bisa memberi manfaat dalam proses-proses inovasi dan rekayasa dalam bentuk kebijakan. Mulai dari agenda setting, formulasi kebijakan, impelementasi kebijakan, monitoring kebijakan, sampai evaluasi kebijakan.
Ambil contoh kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Ilmu Ekonomi, Akuntansi, dan Manajemen dapat menyusun kebijakan pengelolaan dan mitigasi kerugian yang dialami UMKM selama pandemi. Lalu Ilmu Pariwisata bisa menyusun kebijakan paket wisata daring dan optimalisasi produk dari desa wisata.
Ilmu Komunikasi bisa membantu komunikasi publik pemerintah agar misinformasi selama pandemi dapat diminimalisir. Kemudian dari bidang Hubungan Internasional dapat memberi informasi contoh baik pengelolaan wabah di negara lain dan mendorong pemerintah menginisiasi kerja sama lintas bangsa dalam menghadapi wabah. Ilmu Politik dapat membantu masyarakat, ilmuwan, dan tenaga medis untuk mengorganisir kekuatan dan menemukan saluran politik yang tepat sehingga mereka punya daya tekan politik untuk mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat guna.
Birokrasi yang cepat tanggap dan tepat guna di tengah pandemi bisa dirumuskan oleh para ilmuwan bidang Administrasi Publik. Sosiologi dan Pembangunan Sosial bisa merumuskan konsep dan praktik ketahanan serta pemberdayaan masyarakat selama pandemi. Bidang keilmuan Psikologi tentu saja akan mengingatkan pemerintah agar menciptakan suasana yang kondusif sehingga kesehatan mental tiap-tiap individu selama pandemi bisa terjaga dengan baik.
Bidang ilmu Hukum dapat menjaga agar pemerintah terus memperhatikan hak asasi manusia dan mengawasi potensi korupsi selama pandemi. Kriminologi mampu membantu pemerintah dan masyarakat memitigasi agar tidak terjadi luapan kriminalitas selama pandemi. Filsafat berguna untuk merumuskan etika tepat guna dan menjaga logika berpikir selama pandemi. Antropologi, Arkeologi, dan Sejarah dapat mengumpulkan pengetahuan lokal dari masyarakat dan contoh dari masa lalu untuk membantu penanganan wabah. Bidang ilmu Geografi Manusia bisa menyusun hubungan yang tepat antara manusia dan ruang hidupnya sehingga pemerintah bisa menerapkan penanganan wabah yang benar.
Bidang Sastra bisa mengumpulkan contoh baik dari berbagai karya sastra baik lokal, nasional, maupun global untuk mendukung penanganan wabah yang tepat. Studi Seni, Film, dan Musik bisa membantu memformulasikan kebijakan agar para pelaku budaya tetap bisa berkarya selama pandemi. Kemudian bidang ilmu Desain Grafis dapat memberi saran agar poster atau infografis penanganan wabah mudah dipahami berbagai pihak.
Alih-alih menganjurkan untuk berdoa dan pasrah, para sarjana Studi Agama bisa membantu mengurangi benturan yang tidak perlu antara agama dan sains dengan mendukung tafsiran agama yang pro terhadap penanganan wabah secara saintifik. Lalu bidang ilmu Pendidikan bisa membantu mencari cara kreatif, kontekstual, dan aman agar pendidikan bisa tetap berjalan selama pandemi.
Pada akhirnya perlu ditekankan kembali bahwa inovasi dan rekayasa tidak hanya ada di bidang sains-teknologi, medika, dan agro, tetapi juga ada di bidang sosial dan ilmu sosial-humaniora yang kritis-emansipatoris adalah hal yang wajib ada untuk mewujudkan inovasi dan rekayasa sosial yang terintegrasi.
Walhasil, tanpa pelibatan dan integrasi di bidang ilmu sosial-humaniora, rekayasa pemerintah dalam merespon pandemi Covid-19 jadi sekadar gimik yang dangkal. Apa pemerintah tidak capek, kebijakannya hanya berujung jadi meme dan bulan-bulanan di sosial media?