TANARA–Petang itu, Ahad 16 Rajab 1437 H/24 April 2016, saya bersama rombongan Khatulistiwamuda, mendaratkan jejak kaki di tanah kelahiran Sayyid l-‘Ulama Hijaz (Pemimpin Para Ulama Hijaz [Makkah-Madinah]), Syeikh Abdul Mu’thi Nawawi al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Semula, kampung kecil yang istimewa ini bernama Tanawara. Berasal dari bahasa Arab yang dalam Indonesia berarti bercahaya. Seiring perjalanan waktu, nama itu berubah menjadi Tanara.
Nama Tanawara muncul dalam mimpi para ulama Abad-19 tentang sebuah daerah entah di mana, yang kelak menjadi saksi kelahiran seorang ulama besar yang sulit ditandingi. Mimpi itu kelak terbukti. Dalam hal mengarang kitab saja, Syeikh Nawawi mampu menulis sambil mengajar santrinya di Makkah sebanyak 118 judul. Di pesantren, jumlah kitab kuning yang ia karang itu, sebagiannya masih terpakai & sisanya menyebar ke Asia Tenggara, Timur Tengah, sampai Afrika. Tak satu pun ulama Nusantara bahkan tingkat dunia, yang kitab karangannya tersebar sedemikian rupa.
Sebagai generasi pelanjut yang terus beritikad baik, kami pun menapaktilasi jejak mulia beliau. Allah memudahkannya dengan mengantar kami ke Mawlid Nawawi (Rumah Kelahirannya); Bait Nawawi, tempat ia mengajar dan mengarang kitab sebelum hijrah ke Makkah; Masjid Sultan Hasanuddin yang dibangun bebarengan dengan Masjid Demak. Masjid ini termasuk satu dari tujuh masjid di Nusantara yang dibangun para Wali dengan dibantu jin. Karena sempat kepergok manusia, masjid ini pun tak rampung dikerjakan. Petilasan yang juga sempat kami kunjungi adalah, pesarean Syeikh ‘Umar, Nyai Zubaidah, dan Syeikh ‘Arabi. Status ketiganya adalah ayah, ibu, dan kakek Syeikh Nawawi yang berada persis di tepi jalan raya.
Khusus pesarean Nyai Zubaidah, berada tak jauh dari mawlid Nawawi. Di tepian pemukiman. Ditumbuhi belukar. Di bawah sebuah pohon rindang. Jauh dari kesan megah. Malah tak terawat, dan seolah terlupakan sejarah. Beruntung kami dipandu Mang Saifi. Ia menuturkan bahwa kondisi pesarean Nyai Zubaidah itu memang sesuai kehendak ahl l-maqam. Ketawadhuan beliau sebagai ibunda seorang ulama besar melegenda, dibuktikan dengan wujud seperti itu. Kami gagal memahami bagaimana bisa perempuan mulia itu memilih tak tercatat ingatan manusia. Padahal Allah telah mengangkat derajat salah seorang anaknya hingga demikian tinggi. Subhanallah…
Semua kiyai, santri, dan siapa pun yang pernah bersinggungan dengan dunia pesantren, pasti bersanad guru-ilmu ke Syeikh Nawawi. Terutama kiyai yang membangun pesantren pada Abad-19. Dua nama besar sekelas Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ariy dan KH Ahmad Dahlan, sudah cukup jadi tolok ukur seberapa berhasil Syeikh Nawawi mendidik para santrinya di Makkah sana. Tak usah lagi kita bahas kitab apa saja yang pernah ia karang. Sosok Syeikh Nawawi terlampau besar untuk ditulis oleh seorang hina macam saya. Atas segala budi baik dan jasa tak terkira yang telah ia wariskan pada Islam & Muslim di Nusantara, mari hadiahkan kepada beliau hadiah dari bacaan al-Fatihah… []
Omah Prabata, 19 Rajab 1437 H