Tahun Toleransi: Momentum Belajar Toleransi dari Nabi Muhammad

Tahun Toleransi: Momentum Belajar Toleransi dari Nabi Muhammad

Tahun toleransi adalah momentum untuk kembali belajar toleransi dari nabi.

Tahun Toleransi: Momentum Belajar Toleransi dari Nabi Muhammad

Kementrian Agama Republik Indonesia memilih tahun 2022 sebagai tahun toleransi. Pencanangan tahun toleransi ini dirasa penting untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam merawat toleransi, baik sosial, agama maupun politik, sebagai modal sosial sangat penting untuk membangun bangsa. Namun, sepenting itu kah toleransi hingga dibuatkan tahun khusus?

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleransi berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dalam konteks sosial, budaya, dan agama, toleransi kerap didefinisikan sebagai sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau berseberangan dengan arus mayoritas dalam suatu masyarakat. Bentuk toleransi beragama di antaranya ialah penganut agama mayoritas dalam suatu masyarakat mau menerima terhadap keberadaan agama-agama lain yang minoritas.

Rasulullah SAW senantiasa mendorong umatnya agar selalu merawat semangat toleransi, pada suatu kesempatan beliau pernah bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا

“Permudahlah dan jangan mempersulit. Sampaikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang-orang berpaling.” (H.R. Bukhori)

Sikap toleran Rasulullah SAW juga tampak tatkala beliau hidup di tengah-tengah masyarakat Madinah yang terdiri dari Muhajirin, Anshar, Yahudi dan sekutunya. Pada tahun 622 M. Rasulullah Saw. merumuskan Konstitusi Madinah (Dustur Al-Madinah) yang kemudian dikenal dengan “Piagam Madinah” dalam pasal ke-25 Sahifah Madinah tersebut tertera:

وَإِنَّ يَهُوْدَ بَنِيْ عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ، وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ، إلَّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ

“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf merupakan satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri. Kecuali bagi mereka yang zalim dan jahat.”

Pasal di atas secara eksplisit memberikan kebebasan bagi para penduduk Madinah untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Melalui butir-butir pasal Piagam Madinah inilah Rasulullah SAW kemudian akhirnya dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat Madinah, baik muslim maupun non-muslim.

Perihal sikap toleransi Rasulullah SAW terdapat kisah menarik yang diungkapkan oleh Ibn Qayyim Al-Jauziyyah (W. 751 H). Pada suatu hari di Kota Madinah dan Nabi SAW kedatangan rombongan umat Nasrani, berjumlah sekitar 60 orang. Mereka sampai di sana tatkala Rasul sedang melaksanakan salat Ashar. Usai shalat, Nabi menyambut dengan hangat dan menemui mereka di Masjid Nabawi. Tak lama kemudian, tibalah waktu kebaktian mereka. Rombongan umat Nasrani itu lalu bersiap guna melaksanakan ibadah mereka.

Namun para sahabat keberatan jika mereka melaksanakannya di masjid. Pada kondisi demikian Nabi SAW justru berkata, “Biarkanlah mereka melaksanakan ibadahnya di Masjid.” Mereka lalu berdiri menghadap ke Timur dan melakukan kebaktian.

Usai melaksanakan ibadah, mereka mengajak sang Rasul untuk berdiskusi perihal ajaran agama. Nabi menyambutnya dengan senang hati dan pikiran terbuka. Saat mereka kalah diskusi, Nabi SAW tidak memaksa mereka masuk Islam. Beliau memberikan mereka kebebasan memilih. [Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zad Al-Ma’ad fî Hadyi Khair Al-‘Ibad (Beirut: Muassasah Ar-Risalah), vol. 3, h. 680.]

Kisah yang diungkapkan oleh Ibn Qayyim di atas menunjukkan betapa Rasulullah SAW merupakan sosok yang menjunjung toleransi kepada penganut agama lain. Nabi mempersilahkan mereka melaksanakan ritual peribadatan menurut kepercayaannya, bahkan hal itu dilakukan di tempat yang dinilai sakral oleh umat Islam.

Sikap toleran Rasulullah SAW berlaku terhadap siapapun, tak terkecuali pada meraka yang pernah menyakiti dan memusuhi beliau. Tatkala mereka meminta perlindungan kepada beliau, Allah Swt. berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.” (Q.S. At-Taubah [9]: 6)

Mufassir terkemuka Imam Ibn Katsir (W. 774 H) menilai bahwa ayat ini mengandung lanskap yang mengagumkan dan indah. Sepanjang sejarah tak pernah ada seorang publik figur atau raja yang memiliki sikap dan akhlak yang ditampilkan oleh Nabi Saw. Sehingga, masyarakat yang melihatnya pulang dengan membawa berita mengagumkan kepada kaumnya. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor terbesar mayoritas masyarakat memeluk agama Islam kala itu. [Abu Al-Fida Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibn Katsir  (Kairo: Maktabah Ash-Shaffa), vol. 4 h. 66]

Toleransi dalam konteks sosial dan budaya diartikan sebagai sikap yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Sebab, perbedaan sendiri merupakan sunnatullah. Toleransi antarumat beragama yang berkembang di tengah keberagaman masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang tak lepas dalam sendi kehidupan.

Untuk membangun kerukunan di tengah keberagaman itulah, Rasulullah SAW mengajarkan agar selalu berbudi pekerti baik terhadap seluruh manusia tanpa memilah dan memilih, baik seagama maupun tidak, salih atau pun sebaliknya.

Sikap toleran hari ini dapat dipraktikkan dengan menjalin mu’amalah zahirah (interaksi secara zahir) atau dalam istilah kebanyakan ulama kontemporer disebut dengan mujamalah (bersopan santun) yang baik antar umat beragama, seperti memberikan jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak mengusik atau mengganggu ritual peribadatan keyakinannya selama tidak mengganggu. Hal ini dilandasi firman Allah Swt:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.” (Q.S. Al-Mumtahanah [60] :8)

Mengingat Indonesia adalah bangsa yang sangat multikultural, maka tahun toleransi ini sangat penting sebagai momentum untuk kembali belajar bahwa perbedaan adalah rahmat dan sikap toleransi merupakan sikap arif yang harus ditunjukkan dalam konteks tersebut. Perbedaan di antara manusia tak akan sirna di muka bumi ini, termasuk di antaranya perbedaan pendapat dan keyakinan. Dengan demikian, menjadi suatu keharusan bagi setiap warga negara untuk menyadari akan betapa pentingnya persaudaraan sesama makhluk sosial dengan mengedepankan budi pekerti yang luhur. (AN)

Wallahu A’lam Bisshawab.