Melawan Stigma dan Stereotipe Moderasi Beragama

Melawan Stigma dan Stereotipe Moderasi Beragama

Melawan Stigma dan Stereotipe Moderasi Beragama

“Apa sih Moderasi Beragama?”, “Hah?! Moderasi cuma buat orang lain jadi garis keras? Lucu!”, “Moderasi ini apa, ya? Apakah sekarang Islam tidak moderat? Ataukah Nabi tidak moderat?”, “Blass, moderasi ngetren program pemerintah!”, “Apa sebelumnya Islam tidak moderat, atau baru setelah sesuai maunya pemerintah baru dianggap moderat?”. “Kacau, kok moderasi bahas-bahas tradisi terus, Fix Islam Nusantara!”, “Dari pada mendanai Moderasi Beragama, mending pemerintah mendanai Papua dan Palestina.”.

Demikian lah beberapa pertanyaan dan pernyataan yang seringkali muncul dalam perbincangan masyarakat—secara konvensional dan digital—terkait moderasi beragama. Hal tersebut mengindikasikan masih banyaknya masyarakat yang gagal paham sehingga bermuara pada stereotipe bahkan stigma terhadap kampanye moderasi beragama—yang menjadi program unggulan Kemenag—saat ini. Bagaimana pun, fakta tersebut pantas dijadikan bahan evaluasi bagi siapa pun—kita—penggerak (promotor) moderasi beragama, khususnya Kementerian Agama.

Ternyata, setelah pertengahan tahun ini dana sejumlah 3,2 T yang dialokasikan untuk upaya pengarusutamaan Moderasi Beragama cenderung belum berdampak secara signifikan. Konten moderasi masih kalah jauh dengan konten provokasi, influencer Islam ramah masih kalah tenar dengan influencer Islam marah, bahkan ghirah dan kolaborasi antarlini dalam menyebarluaskan konten Moderasi cenderung statis sementara konten yang beraura eksklusif makin masif dan dinamis.

Oleh karena itu, upaya kampanye Moderasi Beragama harus senantiasa berusaha mengevaluasi diri untuk menganalisis secara faktual bagaimana realitas promosi tersebut, baik pada ranah konvensional mau pun ranah digital. Jangan sampai stereotipe Moderasi hanya program pemerintah semakin menjamur tanpa arah, apalagi hingga stigma bahwa Moderasi adalah pengaminan Proxy War barat yang hendak menyerang Islam.

Jalur Konvensional itu Krusial

Meski ranah digital hari ini menjadi primadona, namun melupakan ranah konvensional adalah kekeliruan. Perbincangan terkait dinamika ekonomi dan politik kebangsaan yang dinilai bobrok dan penuh intrik serta ketidakadilan, narasi keagamaan yang saklek dan cenderung intoleran, hingga upaya penyebaran khilafahisme adalah kenyataan yang masih terjadi di lapangan. Hal ini terjadi salah satunya karena masih banyak da’i—yang gaul—dengan kecenderungan eksklusif yang menjadi haluan di perkampungan.

Jalur konvensional menjadi langkah krusial yang perlu diperhatikan mengingat tipologi masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung kepatuhan dan kehormatan terhadap seseorang yang dianggap berpengaruh. Oleh karena itu, branding tokoh-tokoh potensial yang berprinsip wasathiyyah di perkampungan sangat dibutuhkan. Mimbar khutbah, majelis ta’lim, hingga setiap acara sosial budaya—seperti Agustusan, dll.—perlu menginternalisasi nilai-nilai moderasi. Sebut saja hal ini adalah upaya revitalisasi spirit kebangsaan dan keberagamaan yang memang merupakan modal sosial laten masyarakat Indonesia.

Langkah tersebut seharusnya menjadi fokus para promotor Moderasi Beragama yang dilakukan secara konvensional. Hal ini juga senada dengan keinganan Gus Men bahwa strategi kebudayaan dalam memperkuat kampanye Moderasi Beragama sangat urgen. Strategi kebudayaan ini tentunya berangkat dari memahami akar tipologi masyarakat sehingga kesan promosi menjadi lebih mengena dan menyenangkan. Hemat saya, alokasi dana yang cukup besar tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk penguatan Moderasi Beragama secara konvensional melalui strategi kebudayaan.

Jalur Digital itu Vital

Setali tiga uang dengan ranah konvensional, jalur promosi melalui ranah digital begitu penting bagi penguatan Moderasi Beragama. Jika secara konvensional target diproyeksikan kepada pengaruh orang sepuh, promosi melalui medium digital lebih menargetkan hegemoni kaula muda. Hal ini mengingat pengguna media digital di Indonesia sudah mencapai 220 juta jiwa yang didominasi oleh generasi Z. Sebab itu, promosi secara digital adalah hal vital untuk menjaga jantung Moderasi Beragama tetap berdenyut sehingga mengalirkan darah-darah rahmatan li al-‘alamin bagi seluruh tubuh bangsa.

Namun kini—sebagaimana dijelaskan di muka, konten keislaman terkait nalar Islam ramah masih kalah dengan konten keislaman yang provokatif dan konservatif. Habib Husein Ja’far, pegiat Islam ramah di media sosial, dalam diskusinya menyebut bahwa kekalahan ini terjadi bahkan bukan hanya dari segi kuantitas namun juga kualitas. Menurutnya, penyebab konten Moderasi Beragama masih sedikit yang terkemuka a.k.a viral (fyp) adalah karena minimnya inovasi dan kreativitas. Sementara konten intoleran begitu kreatif dan cenderung menyenangkan.

Hal tersebut mengindikasikan perlunya upaya pemerintah untuk lebih serius dalam membangun kultur rahmatan li al-‘alamin  di dunia digital. Bimbingan terhadap kader Islam Moderat betul-betul harus dilakukan secara maksimal, mulai dari teori hingga praktek yang aktif-dinamis dan berkelanjutan. Jangan sampai dana yang telah dikeluarkan menjadi nonsens dan sia-sia. Dengan kata lain, Moderasi Beragama membutuhkan para influencer yang aktif dan kreatif dalam menyebarkan nilai-nilai Islam Moderat di dunia digital.

Dengan demikian, upaya kampanye Moderasi Beragama yang dilakukan secara serius, tepat-potensial, dan mengutamakan efisiensi diharapkan dapat mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Alokasi dana bagi penguatan Moderasi Beragama yang cukup besar tersebut harus dimanfaatkan dan dibuktikan, sehingga kredo terhadap Moderasi Beragama dapat menjadi nalar utama masyarakat. Apalagi jika kita menatap bonus demografi Indonesia saat ini, andai kata para manusia—dengan usia—produktif menjadi pionir Moderasi Beragama maka Indonesia ke depan bukan hanya akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia, namun juga percontohan empirik kerukunan hidup antar masyarakat dengan berbagai kemajemukannya. (AN)

Wallahu a’lam.