Tafsir Yasin Ayat 43 – 44: Kuasa Allah SWT atas Kapal di Lautan

Tafsir Yasin Ayat 43 – 44: Kuasa Allah SWT atas Kapal di Lautan

Tafsir Yasin Ayat 43 – 44: Kuasa Allah SWT atas Kapal di Lautan
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Meskipun kuasa Alllah SWT telah begitu jelas, dan begitu banyak anugerah-Nya disajikan bagi manusia sebagaimana diterangkan pada ayat-ayat sebelumnya, tetapi keangkuhan kaum musyrik Mekah tetap tidak berkurang. Mereka tetap tidak bergeming untuk mengakui Nabi Muhammad SAW. Bila pada ayat 41-42 pada artikel terdahulu telah dijelaskan kuasa Allah SWT untuk membawa manusia berlayar dengan perahu Nabi Nuh AS, kini pada ayat 43-44 umat manusia diingatkan bahwa Allah SWT kuasa untuk membinasakan siapa pun dengan perantara alat-alat transportasi yang digunakan tersebut. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ نَشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنْقَذُونَ () إِلَّا رَحْمَةً مِنَّا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ

Wa in nasya‘ nughriqhum falaa shariikha lahum wa laa hum yunqadzuun. Illaa rahmatan minnaa wa mataa’an ilaa hiiin.

Artinya:

“Dan jika Kami menghendaki, pasti Kami (dapat) menenggelamkan mereka; maka tidak ada bagi mereka (satu) penolong (pun), dan tidak (pula) mereka diselamatkan. (dan jika Kami menolong mereka, maka itu bukan berarti ada keuntungan yang Kami harapkan), tetapi karena rahmat dari Kami dan untuk (memberi) kesenangan hidup (sementara) sampai batas waktu yang ditentukan (bagi mereka).” (QS: Yasin Ayat 43-44)

Bedasarkan riwayat dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, Ibnu Jarir al-Thabari menerangkan bahwa kata sharikh pada ayat 43 di atas semakna dengan kata mughits yang mengandung arti seorang penolong. Terkait kata wa laa hum yunqadzuun masih pada ayat yang sama, al-Thabari berpendapat bahwa ungkapan tersebut termasuk kalam kiasan yang berarti tidak diselamatnya kecuali dengan Rahmat Allah SWT. Adapun kalimat mata’an ilaa hiin (kesenangan hidup hingga waktu tertentu) menurut al-Thabari dengan merujuk pendapat Qatadah, berarti waktu kematian.

Menurut Imam al-Qusyari, kedua ayat ini hendak menegaskan jika bukan kasih sayang dan anugerah Allah SWT,  maka hamba-hamba-Nyan akan hanyut terbawa arus gelombang kenikmatan duniawi.

Dalam kitab Mafatih al-Ghayb Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa ayat 41 dapat mengisyaratkan pada dua penjelasan. Pertama terkait dengan nikmat yang perlu disyukuri ketika Allah SWT memberikan keamanan bagi orang-orang yang mengendarai transportasi. Kedua sebagai jawaban atas pertanyaan imajiner (jawab su‘al muqaddar) bahwa Allah SWT Maha Kuasa untuk menenggelamkan kapal-kapal. Artinya baik kapal yang selamat maupun yang tenggelam semuanya adalah atas kuasa Allah SWT.

Terkait dengan ayat ke-42, al-Razi menafsirkan bahwa ayat ini juga mengisyaratkan bahwa ada dua istilah bagi dua klasifikasi kelompok manusia yang mendapatkan anugerah Allah SWT berupa keselamantan. Pertama sebagai rahmat (al-rahmah) dan kedua sebagai nikmat duniawi (al-mata’). Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT dan diselamatkan, maka ia mendapatkan rahmat, sedang bagi orang yang tidak beriman dan mendapatkan keselamatan, maka baginya adalah nikmat.

Menurut Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Tafsir al-Munir atau dikenal dengan nama Tafsir Marah Labid yang dimaksud dengan kata laa yunqidzuun (tidak diselamatkan) adalah bentuk keselamatan di dunia, bukan keselamatan akhirat. Ia menambahkan bahwa al-Quran seringkali memakai ungkapan sebagai ancaman (al-indzar) semisal ‘ittaquu maa bayna aydiikum wa maa khalfakum’ (berhati-hatilah atas apa yang ada dihadapan dan di belakang kalian), terkait kata aydiikum artinya adalah urusan akhirat ayang akan kalian hadapi, sedangkan kata khalfakum berarti urusan dunia yang akan kalian tinggalkan.

Dalam Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab menerangkan bahwa kata sharikh dalam penggalan ayat 43 diambil dari kata sharakha yang berarti berteriak meminta pertolongan. Kata ini berfokus pada objek yang diteriaki, yaitu orang yang diminai pertolongan. Dengan kata lain, tiada penolong dan tidak ada sesuatu pun di tengah-tengah amukan ombak dan gelombang, yang dapat mereka (orang-orang dalam perahu) teriyaki untuk dimintai pertolongan. Quraish mengambil contoh peristiwa kapal Titanic untuk menggambarkan ayat ini. Menurutnya, kapal Titanic pada saat diluncurkan yang oleh produsennya diyakini tidak akan tenggelam, tetap dalam kuasa Allah SWT. Akhirnya kapal itu pun tetap dapat tenggelam, sebagai bukti kelemahan manusia tidak bisa menentang kuasa Allah SWT.