Pada tulisan sebelumnya (Tafsir Yasin Ayat 26 – 27) diceritakan pada akhirnya lelaki mukmin bernama Habib dibunuh oleh kaumnya sendiri. Penduduk yang menolak ajaran para rasul itu tidak suka mendengar orang dari kaumnya sendiri malah megikuti para rasul dan mengajak mereka secara terang-terangan. Oleh karena perbuatan mereka, Allah SWT berfirman:
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِينَ () إِنْ كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ
Wa maa anzalna ‘ala qaumihii min ba’dihii min jundin min al-Samaa’i wa maa kunnaa munziliin. In kaanat illaa shayhatan waahidatan faidzaa hum khaamiduun.
Artinya:
“Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya (yakni kaum laki-laki mukmin itu) sesudah (meninggal)-nya bala tentara dari langit dan tidak (pula) Kami menurunkan (malaikat). Ia (siksa yang Kami jatuhkan atas mereka) hanyalah satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka mati.” (QS: Yasin Ayat 28-29)
Mengenai penafsiran atas kata jundun pada ayat ke-28 di atas, Ibnu Jarir al-Thabari merangkum dua pendapat berbeda. Riwayat yang berasal dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu ‘Ashim dari ‘Isa dari al-Harits dari al-Hasan dari Waraqa dari Ibnu Abi Najih dari Imam Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jundun min al-sama’ (tentara dari langit) adalah risalah kenabian. Sedangkan riwayat dari Ibnu Humaid dari Salamah dari Ibnu Ishaq dari sebagian sahabatnya, dari Abdullah bin Mas’ud, menafsirkan kata jundun dalam arti harfiah yakni pasukan. Artinya Allah SWT menghancurkan penduduk Anthiokia ini dengan hanya sekali hentakan saja.
Dari dua pendapat tersebut, al-Thabari cenderung memilih pendapat yang kedua. Karena menurutnya kata jundun tidak pernah berkorelasi dengan makna al-risalah, kecuali yang dimaksudkan oleh Imam Mujahid adalah para rasul dalam cerita. Jika demikian, penafsirannya menjadi lebih jauh dari dzahir ayat, karena rasul tidak turun dari langit.
Berbeda dengan al-Thabari Al-Qusyairi lebih menekankan penafsiran kedua ayat di atas dengan makna bahwasanya ketentuan Allah SWT atas mereka adalah dengan menimpakan siksa kepada mereka. Atas tindakan dan perbuatan mereka terhadap para rasul, keselamatan atas kehadiran para rasul berubah menjadi siksa (taghyiiyran min al-salamah ila washf al-bala).
Menurut al-Zamakhsyari tentang kedua ayat di atas bahwa Allah SWT membinasakan kaum-kaum terdahulu untuk diambil hikmah bagi umat Nabi Muhammad SAW sebagaimana QS al-‘Ankabut ayat 40. Lalu Al-Zamakhsyari mengajukan pertanyaan, “kemudian bagaimana dengan umat Nabi Muhammad yang pada perang Badr dan Khandaq Allah SWT menurunkan bala tentara malaikat sebagaimana dimuat dalam QS Ali Imran ayat 124, al-Anfal ayat 9, dan al-Ahzab ayat 9?”
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa turunnya bala tentara dari langit adalah salah satu bentuk keutamaan Nabi Muhammad SAW yang tidak diberikan kepada Nabi dan Rasul lainnya. Ia menilai hal ini berdasarkan bunyi ayat di atas “wa maa anzalna … wa maa kunnaa munzilin” yang secara tersurat hendak mengecualikan Nabi Muhammad SAW dengan utusan-utusan sebelumnya.
Sedikit berbeda dengan penjelasan al-Thabari di atas, M. Quraish Shihab lebih mengartikan kata jundun (tentara/pasukan) sebagai malaikat. Namun malaikat disini memiliki dua makna: pertama berarti malaikat pembawa wahyu dan kedua berarti malaikat pembawa siksa. Berkaitan dengan makna yang kedua, menurut Quraish, sebagian ulama menerangkan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW, Allah SWT pernah menurunkan malaikat sebagai tentara yang membinasakan kaum musyrikin, di antaranya pada saat perang Badr di tahun ke-2 H.
Quraish Shihab melanjutkan bahwa bila Allah SWT hendak membinasakan satu umat, Dia tidak menurunkan bala tentara yang banyak, tetapi cukup dengan satu malaikat. Oleh karena penduduk negeri pembangkang yang membunuh Habib seperti dalam ayat di atas hendak dibinasakan, maka Allah SWT tidak menurunkan malaikat berupa pasukan. Berbeda dengan kasus pada Nabi Muhammad SAW, karena umat beliau tidak dibinasakan secara total, maka malaikat yang turun bebentuk pasukan.
Adapun kata idza pada kalimat fa idza hum dari ayat 29, menurut Ibnu ‘Asyur menunjukkan makna fuza’iyyah (tak terduga). Yang menunjukkan bahwa siksa tersebut sangat cepat sehingga selesai dengan seketika akibat hentakan (shayhah) yang terjadi. Kemudian terkait dengan kata khamidun asal katanya adalah khamada, artinya api yang telah padam (inthifaa’ al-naar). Menurut Ibnu ‘Asyur bahwa kata ini digunakan untuk menggambarkan kematian setelah sebelumnya yang bersangkutan dalam keadaan segar bugar dan kuat bagaikan bara api, dan kematian mereka bagaikan api yang padam. Wallahu A’lam.