Fenomena alam seringkali terjadi di sekitar kita. Termasuk di antaranya adalah hujan. Hujan turun bisa sebagai berkah atau malah menjadi musibah. Berkah bagi para petani untuk kesuburan tanamannya. Pun juga bisa berubah menjadi musibah. Dari hujan lalu menjadi banjir yang bisa merenggut nyawa dan menghanyutkan hunian manusia.
Dalam surat Ar-Rum ayat 24, Allah dalam firman-Nya menjelaskan.
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ يُرِيكُمُ ٱلۡبَرۡقَ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَيُحۡيِۦ بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَآۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia memperlihatkan kilat kepadamu untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan air (hujan) bumi dihidupkan setelah mati (kering). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti”
Dari ayat di atas, Allah ingin menjelaskan bahwa ketakutan dan harapan saat melihat dan mendengarkan gemuruh petir sebelum hujan turun, merupakan tanda keagungan-Nya. Seakan Allah menjelaskan air hujan dapat memberi kemanfaatan dan juga membawa kekhawatiran (malapetaka).
Berawal dari melihat dan mendengarkan gemuruh petir, perasaan manusiawi muncul secara tiba-tiba, baik berupa kekhawatiran maupun harapan. Apa hikmahnya? Saat kita dapat melihat dan mendengarkan gemuruh petir, ini sebagai tanda akan turunnya air hujan, seperti penjelasan Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib (1420 H: 25, hal 94). Sehingga memudahkan kita untuk mengantisipasi dan mempersiapkan saat hujan akan turun, terlebih saat beraktifitas di luar rumah.
Ar-Razi menambahkan penjelasan gemuruh suara petir berasal dari gesekan ataupun benturan keras antara angin yang lembut dan air yang padat, sama halnya saat bagian satu dan bagian lain mengalami gesekan dengan keras, kemudian api muncul sebagai hasil gesekan tersebut. Layaknya gesekan antara batu dan besi, akan terlihat percikan api saat terjadi gesekan kuat (1420 H: 25, hal 94).
Lantas apa pentingnya hujan dibahas dalam Alquran? Alquran ingin menyampaikan bahwa kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari air, air merupakan sumber kehidupan. Bukti bahwa air merupakan sumber kehidupan seperti kutipan Ali al-Shobuni dalam al-Shofwa al-Tafasir (1994: 2. Hal. 476) bahwa air hujan turun untuk menghidupkan perkara yang sudah mati.
Apa artinya menghidupkan perkara yang mati, bahwa air hujan dapat menumbuhkan tumbuhan dari tanah gersang yang tidak bisa untuk bercocok tanam dan dapat menghidupkan tumbuhan yang kering. Bayangkan saja jika tidak ada air, bagaimana bisa tumbuhan bisa hidup subur, bagaiamana kita dapat hidup tanpa air!
Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah Zuhaili (1418 H: 21. Hal 71) menambahkan saat air hujan turun tumbuhan yang kering akan segar dan hidup kembali, seperti dalam surah al-Hajj ayat 5, Allah berfirman:
وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡ وَأَنۢبَتَتۡ مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ
Artinya: “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah.” Masih menurut Wahbah, Hikmah dari tumbuhan yang dapat kembali hidup, sebagai bukti kuasa Allah bahwa, ada kehidupan setelah kematian, juga adanya hari kiamat.
Berkaitan dengan redaksi bagi kaum yang mengerti, sedang diksi ayat sebelumnya tidak dengan diksi akal, Sha’rawi dalam Tafsir al-Sha’rawi (1991: 19. Hal 11377) menjelaskan, hikmah yang terkandung bahwa kita diperintah untuk berfikir, berangan-angan, sampai menjadi orang yang mengerti sekaligus menyadari apa yang terjadi di sekitar kita. Oleh karena itu, saat kita mendalami suatu perkara, tetap Allah sebagai inti dari seluruh perkara, artinya adalah untuk sebuah keimanan. Bagaimana tidak? Mari kita telaah kembali.
Fenomena petir, hujan dan perasaan harap-harap cemas manusia, ada keterkaitan apa ketiganya? Gejala alam berupa petir dan hujan sebagai siklus air merupakan fenomena alam semesta, sedang manusia hanya makhluk lemah yang tidak bisa terlepas dari perasaan baik takut atau sekadar berharap.
Menurut Ar-Razi (1420 H: 25, Hal 94), Ada pelajaran yang ingin disampaikan, manusia dan alam berbeda. Manusia berkembang biak, bermula dari bayi menjadi anak kecil, lanjut berkembang menjadi orang dewasa, memiliki warna kulit dan suara yang berbeda. Sedangkan alam, tidak ada perkembangan dan perubahan layaknya manusia secara signifikan. Langit dan bumi tidak berkembang dari suatu yang kecil menjadi besar, tapi keduanya tetap. Alam memiliki gejala, petir yang menggelegar dan hujan sebagai siklus air di bumi. Lantas siapa yang mengatur sedemikian rupa gejala alam tersebut, kalau bukan Allah?
Artinya bagaimanapun, kita sebagai manusia tergolong makhluk yang lemah, tidak dapat mengatur alam semesta beserta gejalanya, apalagi mengatur Dzat Maha Kuasa yang mengatur semuanya. Kita setidaknya manusia dibekali perasaan naluri, baik berupa kekhawatiran dan harapan merupakan keniscayaan. Bolehlah kita berharap, tetapi jangan lupa, kita tidak bisa terlepas dari kekhawatiran dan ketakutan, demikian itulah manusia diciptakan oleh-Nya. Wallahu A’lam.